Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Benarkah Rakyat Kelas Menengah Turun Kelas Karena Konsumsi Air Galon?

Rabu, 11 September 2024 | 16:47 WIB Last Updated 2024-09-11T09:47:44Z
Tintasiyasi.id.com -- Dilansir dari Money Talk (01-09-2024), Bambang Brodjonegoro menjelaskan konsumsi galon dan air minum kemasan menjadi salah satu faktor yang mendorong kelas menengah jatuh ke jurang kemiskinan.

Pernyataan dan pendapat mantan Menteri Keuangan di pemerintahan Jokowi  sungguh menyedihkan, sama sekali tidak ada artinya dan menggelikan, kata Anthony Budiawan, Direktur Eksekutif PEPS (Riset Kebijakan Politik dan Ekonomi).

Sebelumnya, Bambang beralasan konsumsi air minum dalam kemasan tidak terjadi di semua negara. Bambang mengatakan masyarakat kelas menengah di negara maju sudah terbiasa meminum air  yang disediakan pemerintah di tempat umum.

Dari pernyataan Bambang terlihat ada upaya mengkambinghitamkan ketidakmampuan dan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan yang jelas tidak adil. 

Anthony Budiawan menegaskan, kebiasaan mengonsumsi air minum kemasan adalah bukan kesalahan masyarakat. Justru pernyataan tersebut bertujuan untuk membela kegagalan pemerintahan Jokowi dengan mencari kambing hitam dengan dalih “konsumsi air minum dalam kemasan”.

Faktanya, pemerintah juga tidak bisa menyediakan  air siap minum di tempat umum sehingga masyarakat tidak bisa meminumnya atau mengkonsumsinya untuk kebutuhan lainnya.  Anthony Budiawan menyimpulkan bahwa hal ini berarti masyarakat mengonsumsi air kemasan karena tidak punya pilihan lain, karena pemerintah  gagal menyediakan air bersih dan aman di tempat umum. 

Tidak hanya masalah air galon yang menjadi salah satu “penyebab” turun kastanya kelas menengah ke kelas miskin disini. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi terkait pernyataan dari mantan Menteri Keuangan Bambang  Brodjonegoro terkait turunnya kelas menengah menjadi kelas miskin seperti dikutip dalam CNBC (31-08-2024):

1. Pandemi Covid-19
2. PHK massal akibat Covid-19
3. Bisnis gulung tikat akibat Covid-19
4. Tingginya suku bunga
5. Judi online
6. Konsumsi air galon

Menurutnya, beberapa hal di atas merupakan faktor variatif yang mendorong kelas menengah turun kelas. Terkait pandemi Covid-19, yang menyebabkan ia menjadi problem berlarut adalah disebabkan kelambanan pemerintah dalam merespon peringatan darurat pada awal waktu terdeteksinya orang yang sudah terinfeksi virus dari luar negeri yang masuk ke Indonesia dari jalur bandara dan pelabuhan. 

Apabila pemerintah bergerak cepat, maka proses karantina wilayah tidak akan lama dan menyebar luas. Hanya saja demi alasan ekonomi tetep berjalan, akses yang menghubungkan orang terinfeksi dan yang belum terinfeksi masih dibuka hingga menyebabkan jumlah korban yang terkontaminasi semakin melebar. 

Belum lagi kebijakan PPKM berjilid yang dirasa tidak konsisten karena terkesan setengah hati. Lagi-lagi, semua demi kepentingan ekonomi tetap berjalan. Dengan adanya larangan demi larangan yang berubah ubah, ditambah situasi yang benar-benar mencekam di luar sana, akhirnya membuat roda kehidupan menjadi terhambat semuanya. 

Banyak petugas medis yang juga menjadi korban di saat membludaknya jumlah pasien rawat yang terinfeksi Covid-19, dimana jumlah faskes yang sangat sedikit juga menjadi faktor pemicu banyaknya pasien yang tidak tertangani meninggal dunia. 

Perekonomian yang digadang-gadang penjagaannya agar tetap berjalan pun terkena imbas. Jumlah karyawan yang terkena PHK sangatlah banyak. Di saat jumlah lapangan pekerjaan yang minim di negeri ini, badai PHK justru terjadi sehingga menambah keruwetan krisis yang terjadi akibat banyaknya perusahaan yang merugi. 

Tentunya, hal ini terjadi karena perusahaan sekelas BUMN dan MNC yang menjadi penggerak roda perekonimian negara ini dan negara-negara lain berporos pada ekonomi non-riil. Dimana ekonomi non-riil ini adalah perekonomian yang berpusat pada jual beli surat-surat berharga, saham, dan obligasi dimana tidak ada barang atau jasa yang secara langsung diperjual-belikan.

Semua berdasarkan suku bunga bank yang fluktuatif, tergantung dari situasi politik dan ekonomi suatu negara dan hubungannya dengan negara-negara asing. Jika negara sedang krisis, maka bisa dipastikan ekonomi non-riil akan sangat terdampak dan berimbas pada ekonomi negara. 

Tingginya suku bunga bank ini disebabkan oleh penggunaan mata uang fiat (fiat money) berbentuk uang kertas yang mana nilai intrinsiknya lebih besar daripada nilai ekstrinsiknya. Hal ini sebetulnya sangat beresiko, mengingat nilai intrinsik suatu mata uang negara sangat dipengaruhi oleh situasi politik, ekonomi, dan hubungan internasional dengan negara adidaya semacam Amerika. 

Hal ini disebabkan oleh masih tergantungnya nilai mata uang negara-negara seperti Indonesia kepada situasi eksternal semacam politik luar negerinya AS dan negara yang termasuk dalam G7. 

Di lain sisi, Indonesia juga masih memiliki utang kepada bank asing seperti IMF yang menyebabkan tingginya ketergantungan suku bunga dalam negeri kepada asing. Artinya, perekomonian Indonesia yang masih menginduk kepada suku bunga IMF dan bank asing lainnya ini tidak akan bisa sepenuhnya bebas karena nilai mata uang rupiah masih di bawah bayang-bayang dollar Amerika Serikat. 

Dengan pengaruh nilai suku bunga yang di luar kuasa pemerintah, inflasi pun niscaya terjadi kapan saja. Akibatnya, ketika suku bunga tinggi, daya beli masyarakat menurun yang menyebabkan pemerintah harus “bakar uang” untuk menggerakkan roda perekonomian.

Namun di sisi lain, masyarakat yang didorong melakukan daya beli ini tidak memiliki sumber pendapat yang menyebabkan ia tidak bisa berdaya dan memutar roda perekonimian. Alhasil, daya beli masyarakat tetap rendah, sementara perputaran ekonomi hanya terjadi pada sektor non-riil. 

Inilah penyebab utama krisis ekonomi global yang dampaknya sampai ke hampir seluruh negara dunia termasuk Indonesia. 

Belum lagi persoalan judi online dan galon seperti yang disebutkan oleh Bambang, tentunya ini merupakan masalah cabang yang tidak akan selesai ketika tidak dilihat dari sudut padang mendalam dan mencari akar permasalahan. 

Kembali kepada persoalan air galon. Rakyat kembali dikambinghitamkan oleh pejabat publik atas ketidakmampuan mereka mengatur dan menyelenggarakan negara. Warga masyarakat bukan tidak mau mengkonsumsi air yang disediakan pemerintah, karena memang faktanya pemerintah tidak menyediakan air bersih gratis bagi rakyat. Dengan menggabungkan analsis di atas dan melihat kemampuan Indonesia untuk menyediakan air bersih secara gratis, hal ini mustahil terlaksana. 

Masyarakat negara ini terpaksa beralih pada air galon lantaran kekurangan air bersih, kekeringan, atau ada air namun kurang bersih seperti air yang terkena limbah industri di beberapa wilayah di Indonesia. Akhirnya, konsumsi air galon pun menjadi besar dan berdampak pada pengeluaran yang menghantarkan masyarakat turun kelas. 

Di sisi lain, air yang seharunya menjadi hak setiap warga negara justru sumber-sumber mata airnya dikuasai oleh perusahaan swasta yang menyebabkan terjadi kapitalisasi air kemasan oleh pihak swasta. 

Tidak tepat apabila pemerintah menyalahkan rakyatnya akibat konsumsi air galon, karena pada dasarnya pemerintahlah yang gagal dalam menyediakan sumber mata air dan mendistribusikannya secara gratis kepada warga negaranya. Ketidakmampuan ini juga dilatarbelakangi dari tidak adanya anggaran penyediaan air bersih untuk seluruh warga negara akibat negara yang tidak memiliki pos pemasukan selain dari utang dan pajak yang mencekik.

Selain itu, pemerintah juga mengizinkan perusahaan swasta mengelola sumber-sumber mata air pegunungan dan komersialisasi air dalam kemasan. Jadilah masyarakat sebagai konsumen atas kebutuhan dasar yang harusnya diselenggarakan oleh pemerintah.

Di dalam Islam, negara wajib mengatur dengan seksama agar air yang tersedia adalah air yang layak untuk memenuhi kebutuhan manusia bahkan layak dikonsumsi. Khilafah mendorong adanya inovasi pengelolaan air agar layak dan aman dikonsumsi.

Negara juga akan mengatur perusahaan yang mengemas air agar keberadaannya tidak membuat rakyat susah mendapatkan haknya, karena air adalah milik umum. Wallahu’alam bishshowwab.

Oleh: Prayudisti Shinta P
(Aktivis Muslimah)


Opini

×
Berita Terbaru Update