Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Benarkah Khilafah Islamiyah Tidak Realistis Bagian II?

Kamis, 19 September 2024 | 21:43 WIB Last Updated 2024-09-19T14:43:57Z
TintaSiyasi.id -- Berikut ini lanjutan bahasan dari tulisan sebelumnya, tentang tuduhan bahwa sistem pemerintahan global yang menjadi salah satu ciri khas Khilafah tidak realistis di zaman sekarang ini.

๐—ž๐—ฒ๐˜๐—ถ๐—ด๐—ฎ : ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ฐ๐—ถ๐˜๐—ฎ-๐—ฐ๐—ถ๐˜๐—ฎ, ๐—ฒ๐˜๐˜‚๐—ฝ๐—ถ๐—ฎ ๐—ฎ๐˜๐—ฎ๐˜‚ ๐—ถ๐—บ๐—ฝ๐—ผ๐˜€๐˜€๐—ถ๐—ฏ๐—น๐—ฒ

Banyak yang menganggap bahwa tegaknya kembali satu sistem pemerintahan global umat Islam seperti di masa lalu itu seperti hal yang sangat tidak realistis bahkan dianggap mustahil dengan menimbang fakta yang ada sekarang ini. Padahal harapan atau keinginan pada dasarnya terbagi menjadi tiga: ada yaitu keinginan yang berupa cita-cita, ada yang utopia (khayalan), dan memang ada yang mustahil untuk diwujudkan (impossible). Dan kita harus bisa membedakan dengan jelas antara ketiganya tersebut.

Pengertian cita-cita adalah sesuatu yang secara realitas bisa untuk diraih atau diwujudkan, meski mungkin berat dan butuh perjuangan yang tidak ringan untuk mewujudkannya. Contohnya; bila ada seorang anak yang berkeinginan menjadi pilot, maka itulah cita-cita.

Sedangkan utopia (khayalan) adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya untuk diwujudkan. Contohnya; bila ada anak lumpuh lagi buta berkeinginan ingin jadi presiden atau pemimpin besar, tidak salah apabila kita katakan, “dia sedang berkhayal.”

Karena ini hampir tidak mungkin, tapi bukan berarti mustahil, karena fakta telah terjadi bahwa Ahmad Yasin, seorang yang lumpuh, pernah memimpin satu organisasi yang sangat berpengaruh dalam dunia perjuangan, dan juga sosok Gus Dur, seorang yang buta lagi lumpuh pernah jadi presiden RI.

Contoh selanjutnya misalnya, kalau ada seorang anak, yang dia berkeinginan di usia yang belum genap 40 tahun bisa menjadi wapres, maka tak keliru juga kalau kita katakan dia sedang berkhayal, kecuali…eh, skip.

Lalu yang terakhir pengertian keinginan yang bersifat impossible adalah sesuatu yang mustahil untuk terjadi. Misalnya saja, jika ada seorang nenek usia 81 tahun yang ingin kembali muda belia seperti saat masih usia 18 tahun, atau ada manusia biasa ingin menjadi malaikat yang sempurna tanpa cacat oleh dosa dan kesalahan, maka contoh-contoh ini tidak pernah terjadi dan tidak akan mungkin terjadi.

Dan karena tipisnya perbedaan antara utopia dan sesuatu yang sifatnya impossible, sering orang menyamakan antara keduanya.

Maka di sini kemudian, kita tinggal menempatkan, apakah khilafah itu sebuah cita-cita, utopia (khayalan), atau keinginan yang mustahil? Jelas bahwa ia bukan sesuatu yang mustahil (impossible), karena ia pernah terjadi dan perangkat penunjang terwujudnya kembalinya juga masih ada. Persoalannya tinggal; apakah ia cita-cita ataukah utopia.

Bila dikatakan cita-cita mungkin bukan karena – sebagaimana gambaran dari penanya – untuk menyatukan gerakan dakwah saja sangat sulit. Apalagi menyatukan masyarakat antar pulau, negara dan dunia. Mungkin dapat dikatakan terwujudnya persatuan politik umat Islam dalam satu wadah pemerintahan global belum dalam taraf cita-cita dengan melihat realitas saat ini.

Sehingga mungkin tidak sepenuhnya salah jika ada yang menuduh ia hanya semacam utopia, barulah nanti akan beralih secara drastis ataupun gradual menjadi sebuah cita-cita yang akan terwujud, bila perangkat umat berupa kualitas dan kuantitas sudah memungkinkan.

๐—ž๐—ฒ๐—ฒ๐—บ๐—ฝ๐—ฎ๐˜ : ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป๐˜†๐—ฎ ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ ๐—ต๐—ฎ๐—ฑ๐—ถ๐˜๐˜€ ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐˜†๐—ฒ๐—ฏ๐˜‚๐˜๐—ธ๐—ฎ๐—ป๐—ป๐˜†๐—ฎ

Ada beberapa hadits yang dipahami oleh sebagian ulama telah menyebutkan akan munculnya kekhalifahan Islam di akhir zaman. Di bahasan kali ini kita fokuskan dulu mencantumkan bunyi haditsnya dan kedudukannya, tanpa membahas perbedaan ulama tentang maksud dari hadits ini.

Hadits pertama: Khilafah di akhir zaman

ุชَูƒُูˆู†ُ ุงู„ู†ُّุจُูˆَّุฉُ ูِูŠูƒُู…ْ ู…َุง ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฃَู†ْ ุชَูƒُูˆู†َ، ุซُู…َّ ูŠَุฑْูَุนُู‡َุง ุฅِุฐَุง ุดَุงุกَ ุฃَู†ْ ูŠَุฑْูَุนَู‡َุง، ุซُู…َّ ุชَูƒُูˆู†ُ ุฎِู„ุงูَุฉٌ ุนَู„َู‰ ู…َู†ْู‡َุงุฌِ ุงู„ู†ُّุจُูˆَّุฉِ، ูَุชَูƒُูˆู†ُ ู…َุง ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฃَู†ْ ุชَูƒُูˆู†َ، ุซُู…َّ ูŠَุฑْูَุนُู‡َุง ุฅِุฐَุง ุดَุงุกَ ุฃَู†ْ ูŠَุฑْูَุนَู‡َุง، ุซُู…َّ ุชَูƒُูˆู†ُ ู…ُู„ْูƒًุง ุนَุงุถًّุง، ูَูŠَูƒُูˆู†ُ ู…َุง ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฃَู†ْ ูŠَูƒُูˆู†َ، ุซُู…َّ ูŠَุฑْูَุนُู‡َุง ุฅِุฐَุง ุดَุงุกَ ุฃَู†ْ ูŠَุฑْูَุนَู‡َุง، ุซُู…َّ ุชَูƒُูˆู†ُ ู…ُู„ْูƒًุง ุฌَุจْุฑِูŠَّุฉً، ูَุชَูƒُูˆู†ُ ู…َุง ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฃَู†ْ ุชَูƒُูˆู†َ، ุซُู…َّ ูŠَุฑْูَุนُู‡َุง ุฅِุฐَุง ุดَุงุกَ ุฃَู†ْ ูŠَุฑْูَุนَู‡َุง، ุซُู…َّ ุชَูƒُูˆู†ُ ุฎِู„ุงูَุฉً ุนَู„َู‰ ู…ِู†ْู‡َุงุฌِ ุงู„ู†ُّุจُูˆَّุฉِ، ุซُู…َّ ุณَูƒَุชَ

Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadits 17680. Sanad hadits: Imam Ahmad dari Syaiban, dari Awf, dari Abu Dhamrah, dari Huzaifah bin Al-Yaman.

Diriwayatkan oleh Imam al Hakim dalam Al Mustadrak dengan nomor hadits 8468. Sanad Hadits: Imam Hakim dari Abdillah Muhammad bin Ya'qub, dari Al-Hasan bin Ali bin Affan, dari Zaid bin Hubab, dari Husain bin Waqid, dari Abdullah bin Buraidah, dari Buraidah bin al Hushaib al Aslami radhiyallahu 'anhu.

Kualitas Hadits: Al Hafidz al Iraqi mengatakan hadits ini shahih.[1] Dan al Haitsami juga menshahihkannya.[2]

Hadits kedua: Kemunculan Imam Mahdi setelah perang saudara anak khalifah

ูŠَู‚ْุชَุชِู„ُ ุนِู†ْุฏَ ูƒَู†ْุฒِูƒُู…ْ ุซَู„ุงَุซَุฉٌ، ูƒُู„ُّู‡ُู…ُ ุงุจْู†ُ ุฎَู„ِูŠูَุฉٍ، ุซُู…َّ ู„ุงَ ูŠَุตِูŠุฑُ ุฅِู„َู‰ ูˆَุงุญِุฏٍ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ، ุซُู…َّ ุชَุทْู„ُุนُ ุงู„ุฑَّุงูŠَุงุชُ ุงู„ุณُّูˆุฏُ ู…ِู†ْ ู‚ِุจَู„ِ ุงู„ู…َุดْุฑِู‚ِ، ูَูŠَู‚ْุชُู„ُูˆู†َูƒُู…ْ ู‚َุชْู„ุงً ู„َู…ْ ูŠُู‚ْุชَู„ْู‡ُ ู‚َูˆْู…ٌ

Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, dengan nomor hadits 4084. Sanad Hadits: Ibnu Majah dari Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Yusuf, dari Abdur Razaq, dari Sufyan ats Tsauri, dari Khalid bin Khida’, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma’ ar Raji, dari Tsauban radhiyallahu’anhu.

Kualitas Hadits: Menurut sebagian ulama, hadits ini shahih atau hasan. Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Bushiri menyatakan periwayat hadits ini semuanya tsiqah. Demikian juga Imam Hakim telah menshahihkan dengan syarat Bukhari Muslim. Sedangkan Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Al-Mizan berpendapat salah satu rawi hadits ini yang bernama Abu Qilabah adalah seorang mudalis.[3]

๐—ž๐—ฒ๐—น๐—ถ๐—บ๐—ฎ : ๐—ง๐—ฒ๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐˜๐—ฒ๐—ฟ๐˜‚๐—ท๐—ถ ๐˜€๐—ฒ๐—ธ๐—ถ๐—ฎ๐—ป ๐—น๐—ฎ๐—บ๐—ฎ

Sistem kekhalifahan Islam pernah ada dan berfungsi selama lebih dari 1000 tahun lamanya. Dari zaman Khulafaur Rasyidin (632–661 M), berlanjut masa Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), lalu Abbasiyah (750–1258 M), hingga yang terakhir Kekhalifahan Utsmaniyah (1299–1924 M). 

Sistem kekhalifahan menjadi model pemerintahan yang tidak hanya diterima, tetapi juga berkembang dan memimpin wilayah yang sangat luas dari Timur Tengah, Afrika Utara, hingga sebagian Eropa dan Asia. 

Kekhalifahan juga mengalami pasang surut peradaban, berganti-ganti dinasti dan bangsa yang menjadi penopangnya, namun terbukti bisa dilaksanakan secara umum dengan baik, meski tentu dengan segala kekurangannya, karena memang ini hanyalah peradaban manusia, bukan para malaikat.

Kekhalifahan barulah lenyap belakangan ini, belum genap 100 tahun. Hari ini memang kita hidup dengan tatanan yang baru. Banyak negara termasuk Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Di sini biasanya kita akan berdebat sangat panas tentang hukum menerapkannya. Ada yang tegas bersuara haram, ada yang memilah termasuk ada yang membela dengan alasan ia serupa dengan sistem syura dalam Islam.

Padahal, kita jangan lari dulu dari subtansi.  Tentang apa itu Khilafah apa demokrasi. Okelah, menyamakan demokrasi dengan syura mungkin ada benarnya karena memang ada beberapa kesamaannya, tapi satu hal yang jelas kelirunya bila ada yang menyamakan khilafah dengan sistem pemerintahan tertentu seperti monarki absolut atau model pemerintahan seperti kerajaan dari masa lalu. 

Karena inti dari kekhalifahan Islam yang disepakai itu bukan tentang monarki atau bukan monarki. Tapi tentang persatuan umat dan tegaknya syariat.

Lagian logikanya kalau kita baru memakai barang “baru” yang belum teruji kualitasnya, koq agak janggal rasanya kemudian sok tahu dan mengomentari sesuatu yang telah teruji sekian lama dan juga telah terbukti kehandalannya.

Bersambung point 6, 7 dan 8…
________
[1] Muhjah al Qarb (2/17)
[2] Majma’ az Zawaid (5/189)
[3] Jami’ al Masannid wa Sunan (1/648)


Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq

Opini

×
Berita Terbaru Update