TintaSiyasi.id -- "Bahagia itu sederhana" adalah ungkapan yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar atau mewah. Seringkali, kebahagiaan bisa ditemukan dalam momen-momen kecil dan sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kebahagiaan bisa datang dari menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari, tertawa bersama teman, atau merasakan kedamaian saat membaca buku favorit.
Inti dari kebahagiaan sederhana ini adalah kesadaran dan rasa syukur atas hal-hal kecil yang sering kita anggap biasa. Bahagia bukan tentang memiliki segalanya, tetapi tentang mampu melihat dan merasakan keindahan dalam hal-hal yang mungkin terlihat sederhana, tetapi sangat berarti.
Bahagia dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, kebahagiaan (سعادة, sa'ādah) tidak hanya terkait dengan kesenangan duniawi, tetapi juga mencakup kebahagiaan spiritual dan akhirat. Islam memandang kebahagiaan sebagai keseimbangan antara kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual manusia, serta hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan alam.
Berikut adalah beberapa prinsip tentang kebahagiaan menurut Islam:
1. Kebahagiaan yang Hakiki Berasal dari Dekatnya dengan Allah (Taqwa)
Kebahagiaan sejati dalam Islam terkait erat dengan hubungan seorang hamba dengan Allah. Semakin dekat seseorang kepada Allah, semakin besar rasa ketenangan dan kedamaian yang dirasakan.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
— (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dengan mengingat Allah, melakukan ibadah, dan mengikuti ajaran-Nya, seorang Muslim akan merasakan kebahagiaan batin yang tidak tergantung pada keadaan duniawi.
2. Syukur dan Qana'ah (Rasa Cukup)
Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan berasal dari banyaknya harta atau kedudukan, tetapi dari rasa syukur dan kepuasan atas apa yang dimiliki.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang kaya bukanlah yang banyak hartanya, tetapi orang kaya adalah yang hatinya merasa cukup.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syukur atas nikmat Allah, baik besar maupun kecil, mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, karena orang yang bersyukur akan selalu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
3. Sabar dalam Menghadapi Ujian
Ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan manusia, tetapi Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan dalam kesabaran saat menghadapi kesulitan.
Allah menjanjikan bahwa setiap kesulitan akan disertai dengan kemudahan: "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah: 6)
Sabar dan tawakkal (berserah diri kepada Allah) membuat seseorang tidak terlalu terbebani dengan masalah duniawi, sehingga bisa merasakan ketenangan dan kebahagiaan meski dalam kesulitan.
4. Menjalin Hubungan yang Baik dengan Sesama
Kebahagiaan juga terkait erat dengan bagaimana seseorang memperlakukan sesama manusia. Islam sangat menekankan pentingnya akhlak yang baik, seperti berbuat baik kepada keluarga, tetangga, dan sesama Muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
(HR. Thabrani)
Membantu orang lain, berbuat kebaikan, dan bersedekah adalah sumber kebahagiaan dalam Islam, karena selain mendatangkan pahala, juga membuat hati merasa tenang dan damai.
5. Menjaga Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak hanya dicari di dunia, tetapi juga dipersiapkan untuk akhirat. Seorang Muslim yang seimbang dalam mengejar urusan dunia dan mempersiapkan bekal akhirat akan merasakan kebahagiaan yang utuh:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia...”
(QS. Al-Qashash: 77)
Islam mendorong umatnya untuk hidup seimbang: memenuhi kebutuhan jasmani di dunia, tetapi juga tidak melupakan akhirat.
6. Ridha dan Ikhlas
Kebahagiaan dalam Islam juga datang dari ridha dan ikhlas menerima takdir Allah. Ridha adalah menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, sementara ikhlas berarti melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah. Ketika seorang Muslim ikhlas dan ridha, ia tidak akan merasa gelisah terhadap apa yang hilang atau belum tercapai, sehingga ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang mendalam.
Secara keseluruhan, kebahagiaan dalam Islam adalah keadaan hati yang damai, tenang, dan penuh rasa syukur, yang diperoleh dari ketaatan kepada Allah, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan kebaikan kepada sesama. Kebahagiaan sejati tidak hanya terbatas di dunia, tetapi juga merupakan harapan untuk kebahagiaan abadi di akhirat.
Prinsip Kebahagiaan dalam Pandangan Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar Islam, memiliki pandangan yang mendalam tentang kebahagiaan yang dikenal melalui karya-karyanya, terutama dalam bukunya "Ihya Ulumuddin" (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama). Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dari kehidupan manusia, namun kebahagiaan yang hakiki tidak terletak pada hal-hal duniawi, melainkan pada hubungan dengan Allah dan pemahaman terhadap hakikat kehidupan.
Berikut adalah prinsip kebahagiaan menurut Al-Ghazali:
1. Kebahagiaan Sejati Berasal dari Kedekatan dengan Allah
Al-Ghazali menekankan bahwa kebahagiaan yang hakiki bukanlah dari kesenangan duniawi atau materi, tetapi dari hubungan yang mendalam dengan Allah. Menurutnya, hati manusia hanya akan merasa tenang dan bahagia jika dekat dengan Penciptanya, karena segala kenikmatan duniawi bersifat sementara dan fana.
"Kebahagiaan manusia dalam mengenal Allah, mencintai-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya."
— (Ihya Ulumuddin)
Makin seorang hamba mengenal Allah dan mendekat kepada-Nya melalui ibadah dan refleksi, semakin dalam kebahagiaan yang dirasakan.
2. Kebahagiaan Duniawi Bersifat Sementara
Al-Ghazali menyebutkan bahwa segala bentuk kesenangan duniawi (harta, kekuasaan, popularitas) hanya memberikan kebahagiaan sementara, karena semua itu akan hilang seiring waktu. Seseorang yang mengejar kesenangan duniawi semata akan selalu merasa kurang dan tidak puas. Oleh karena itu, manusia harus sadar bahwa kebahagiaan dunia tidak dapat memberikan kepuasan yang mendalam dan abadi.
"Dunia hanyalah sarana sementara, dan kebahagiaan yang berasal darinya adalah kebahagiaan yang fana."
Menurutnya, meskipun hal-hal duniawi itu penting untuk kehidupan, mereka seharusnya tidak menjadi tujuan utama, melainkan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan sejati di akhirat.
3. Pembersihan Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
Salah satu jalan utama menuju kebahagiaan menurut Al-Ghazali adalah melalui pembersihan jiwa dari sifat-sifat buruk seperti keserakahan, iri hati, dan kebencian. Jiwa yang bersih dari penyakit-penyakit hati akan lebih mudah menerima cahaya petunjuk dari Allah dan merasakan kedamaian batin. Dalam "Ihya Ulumuddin", Al-Ghazali menguraikan secara mendalam tentang pentingnya muhasabah (introspeksi) dan jihad melawan hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan spiritual. "Barang siapa yang membersihkan hatinya dari segala kotoran, maka hatinya akan merasakan kebahagiaan yang sejati."
4. Ilmu sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
Al-Ghazali percaya bahwa ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan. Ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia untuk mengenal Allah dan hakikat hidup. Tanpa ilmu, seseorang tidak akan bisa membedakan mana yang benar dan salah, baik dalam aspek duniawi maupun ukhrawi.
Ilmu yang dimaksud bukan hanya ilmu dunia, tetapi terutama ilmu yang mendekatkan seseorang kepada Allah dan membimbing pada kebijaksanaan. Kebahagiaan sejati tidak dapat diraih tanpa pengetahuan tentang apa yang benar dan salah dalam kehidupan ini.
5. Keseimbangan antara Hawa Nafsu dan Akal
Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara hawa nafsu dan akal. Manusia memiliki kecenderungan nafsu yang bisa membawa kepada kesenangan sesaat, namun ia harus dikendalikan oleh akal dan petunjuk wahyu. Jika nafsu tidak dikendalikan, ia akan membawa manusia kepada kebinasaan dan menjauhkan dari kebahagiaan yang hakiki.
“Hati manusia adalah medan pertempuran antara akal dan nafsu. Jika akal menang, manusia akan mencapai kebahagiaan. Jika nafsu yang menang, ia akan mengalami penderitaan.”
Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan, seseorang harus mengendalikan nafsunya melalui disiplin, ibadah, dan penyerahan diri kepada Allah.
6. Amal Saleh sebagai Kunci Kebahagiaan
Selain ilmu, Al-Ghazali juga menekankan pentingnya amal saleh sebagai jalan menuju kebahagiaan. Ilmu tanpa amal tidak akan membawa manfaat. Al-Ghazali mengingatkan bahwa tindakan baik, seperti ibadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia, adalah kunci penting dalam meraih kebahagiaan sejati. Amal saleh akan mendekatkan seseorang kepada Allah dan menciptakan ketenangan dalam hati.
7. Kontemplasi dan Zikir
Al-Ghazali juga menekankan pentingnya kontemplasi (tafakkur) dan zikir dalam mencari kebahagiaan. Dengan merenungkan kebesaran Allah, kebesaran ciptaan-Nya, dan tujuan hidup, manusia akan menyadari betapa kecilnya urusan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Zikir kepada Allah memberikan ketenangan hati dan membawa kebahagiaan yang hakiki.
“Zikir adalah makanan bagi hati, dan hati yang selalu berdzikir akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian.”
8. Kebahagiaan di Akhirat sebagai Tujuan Tertinggi
Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan sejati tidak akan sepenuhnya dirasakan di dunia, tetapi di akhirat. Dunia adalah tempat ujian, sementara kebahagiaan yang abadi hanya dapat diraih di surga, ketika seseorang bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, setiap Muslim harus berusaha menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai tujuan tertinggi dalam hidup, dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulan:
Dalam pandangan Al-Ghazali, kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual, yang hanya bisa diraih melalui hubungan yang dekat dengan Allah, pembersihan jiwa, pengetahuan, amal saleh, dan kesadaran akan kehidupan akhirat. Kebahagiaan duniawi hanyalah sementara dan tidak boleh menjadi tujuan utama. Seorang Muslim harus menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan akhirat, dengan fokus utama pada kebahagiaan abadi di akhirat.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Whiz Hotel Malioboro Yogjakarta. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo