Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Utang dan Pajak Adalah Paradigma Kapitalisme dalam Pembiayaan Pembangunan, Bagaimana dengan Islam?

Jumat, 23 Agustus 2024 | 08:22 WIB Last Updated 2024-08-23T01:22:37Z

TintaSiyasi.id -- Utang Indonesia semakin meningkat, menjadi topik hangat dalam diskusi ekonomi nasional. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan pembangunan infrastruktur, utang negara sering kali menjadi pilihan utama untuk membiayai proyek-proyek besar.

Namun, semakin tingginya jumlah utang dapat memicu kekhawatiran tentang kestabilan ekonomi jangka panjang dan beban fiskal di masa depan.

Baru-baru ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah kembali mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun.

Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 57,82 triliun atau meningkat 0,68% dibandingkan posisi utang pada akhir Juni 2024 yang sebesar Rp 8.444,87 triliun.

Pembangunan suatu negara merupakan salah satu elemen penting yang menentukan kesejahteraan rakyatnya. Cara sebuah negara membiayai pembangunan tersebut mencerminkan paradigma ideologis yang dipegang oleh negara tersebut. Di era ini paradigma yang dipakai dalam pembiayaan adalah sistem kapitalisme. Paradigma kapitalisme memiliki pendekatan tertentu dalam hal pembiayaan pembangunan, yang pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara signifikan.


Paradigma Pembiayaan Pembangunan dalam Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, paradigma pembiayaan pembangunan terutama didasarkan pada pajak dan utang. Pajak adalah sumber dana terbesar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang kemudian dialokasikan untuk berbagai proyek pembangunan. Namun, meskipun pajak sering dianggap sebagai sumber pendapatan yang sah dan berkelanjutan bagi negara, kenyataannya adalah beban pajak ini sering kali jatuh pada rakyat.

Sumber daya alam (SDA) memang memberikan sumbangan besar bagi pendapatan negara, namun, sebagian besar SDA ini sering kali dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi dengan prinsip kapitalis. Keuntungan besar yang diperoleh dari eksploitasi SDA ini sebagian besar mengalir ke perusahaan-perusahaan tersebut, sementara negara memperoleh bagian melalui pajak dan royalti. Namun, dalam banyak kasus, masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam tersebut justru tidak menikmati manfaat yang sebanding dengan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka rasakan.

Pajak, sebagai sumber dana utama, dikenakan kepada rakyat dalam berbagai bentuk, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pengenaan pajak ini kerap memberatkan rakyat, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah. Pajak PPh, misalnya, secara langsung memotong pendapatan pekerja, sementara PPN meningkatkan harga barang dan jasa yang harus dibayar konsumen. Sementara itu, PBB juga memberatkan pemilik lahan dan bangunan, terutama di wilayah perkotaan yang harga tanahnya semakin mahal. Semua ini menunjukkan bahwa paradigma kapitalisme, meskipun bertujuan untuk meningkatkan pembangunan, sering kali melibatkan pengorbanan besar dari rakyat.

Selain pajak, utang juga menjadi instrumen utama dalam pembiayaan pembangunan ala kapitalisme. Negara-negara kapitalis sering kali meminjam dana dari lembaga-lembaga keuangan internasional atau menerbitkan obligasi untuk menutupi defisit anggaran mereka. Meskipun utang ini mungkin tampak seperti solusi jangka pendek untuk menutupi kebutuhan pembangunan, dalam jangka panjang, hal ini justru menimbulkan masalah besar. Utang yang terus menumpuk harus dibayar kembali dengan bunga, yang pada akhirnya menjadi beban bagi generasi mendatang. Ketergantungan pada utang ini membuat negara rentan terhadap tekanan ekonomi dan politik dari kreditor, yang sering kali memiliki agenda tersendiri.


Paradigma Pembiayaan Pembangunan dalam Islam

Sebaliknya, dalam paradigma Islam, pembangunan dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab negara sebagai "raa’in" atau pengurus rakyat. Paradigma ini menempatkan negara dalam peran yang lebih proaktif dalam mengelola sumber daya dan memastikan kesejahteraan rakyat tanpa membebani mereka secara berlebihan.

Dalam sistem Islam, sumber daya alam dianggap sebagai milik umum yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Eksploitasi SDA tidak diserahkan kepada korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan, melainkan dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan. Hasil dari pengelolaan SDA ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan layanan publik, sehingga rakyat dapat menikmati manfaat dari kekayaan alam yang ada di negeri mereka.

Salah satu ciri khas dari pembiayaan pembangunan dalam Islam adalah adanya penolakan terhadap riba atau bunga. Oleh karena itu, utang sebagai instrumen pembiayaan yang umum dalam kapitalisme tidak digunakan dalam sistem Islam. Negara tidak akan membiayai pembangunannya melalui utang yang berbasis riba, melainkan melalui pengelolaan zakat, kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak bagi non-Muslim yang dilindungi oleh negara Islam), dan harta-harta lainnya yang telah diatur dalam hukum Islam. Instrumen-instrumen ini tidak membebani rakyat secara berlebihan, karena zakat misalnya, hanya dikenakan kepada mereka yang mampu dan telah mencapai nisab (ambang batas minimal kepemilikan harta).

Dalam paradigma Islam, pajak-pajak yang memberatkan seperti PPN dan PPh tidak diterapkan. Rakyat dilindungi dari beban finansial yang berlebihan, karena negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan kebutuhan dasar mereka tanpa harus dibebani oleh pajak yang tidak adil. Negara sebagai raa’in harus memastikan bahwa kekayaan negara digunakan secara adil untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang atau untuk membayar utang yang terus bertambah.

Lebih jauh lagi, dalam paradigma Islam, pembangunan tidak hanya dilihat dari segi materi atau fisik saja, tetapi juga mencakup pembangunan moral dan spiritual rakyat. Negara berkewajiban untuk tidak hanya membangun infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga untuk membangun manusia yang berakhlak mulia, beriman, dan beramal shalih. 

Pembangunan dalam Islam adalah pembangunan yang holistik, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.


Khatimah

Perbandingan antara paradigma pembiayaan pembangunan dalam kapitalisme dan Islam menunjukkan perbedaan mendasar dalam cara kedua sistem ini melihat peran negara dan kesejahteraan rakyat. Kapitalisme cenderung membebankan biaya pembangunan kepada rakyat melalui pajak dan utang, yang sering kali memberatkan dan menimbulkan ketidakadilan. Di sisi lain, Islam menempatkan negara sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan alam dan sumber daya dengan adil dan tanpa membebani rakyat secara berlebihan. 

Paradigma Islam menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan adil dalam membiayai pembangunan, yang pada akhirnya bertujuan untuk kesejahteraan seluruh rakyat tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial.

Maka pertanyaanya, apakah kita mau hidup dalam naungan negara yang menerapkan aturan Islam yang memberikan kebaikan dunia akhirat ataukah hidup dalam cengkeraman kapitalisme yang tidak membawa kesejahteraannya bagi kita? []


Oleh: Ema Darmawaty
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update