Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Timbang Tambang Ormas Keagamaan Berharap Tidak Tumbang: Mampukah Ormas Menjaga Kemandirian Melayani Umat?

Kamis, 01 Agustus 2024 | 08:36 WIB Last Updated 2024-08-01T01:37:24Z
TintaSiyasi.id -- Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Muhammadiyah ikut "nambang." Mengikuti jejak Nahdlatul  Ulama (NU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi memutuskan menerima tawaran konsesi tambang atau izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah. Hal ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat konferensi pers di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad (28/7/2024) (liputan6.com, 28/7/2024). 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada 30 Mei 2023. Beleid anyar ini mengizinkan ormas dan organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan. Pasal 83A Ayat (1) menjelaskan, demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas dan organisasi keagamaan. WIUPK tersebut merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) (kompas.com, 10/6/2024).

Sungguh ironis! Bila ormas justru menjadi bagian dari industri ekstraktif, ia tak lagi berada di posisi yang melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara atau korporasi pengelola tambang. Alih-alih mengawal proses konservasi dan advokasi demi melindungi sumber daya alam, justru ormas keagamaan menambang keuntungan. Selanjutnya, kemandirian dalam mengontrol kinerja pemerintah diduga bakal tumbang.

"Ormas Tambang": Antara Bisnis Hitam dan Sparring Partner Pemerintah Nirlaba

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyebut organisasinya menerima IUP karena membutuhkan dana untuk membiayai operasional berbagai program dan infrastruktur NU. Seperti untuk membangun sarana prasarana ponpes dan menggaji guru di sekolah NU secara layak (tempo.co, 6/6/2024). 

Adapun Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengungkapkan, menerima IUP salah satunya karena komitmen memperluas dan memperkuat dakwah ekonomi termasuk pengelolaan tambang yang sesuai ajaran Islam, konstitusi, dan tata kelola yang profesional, amanah, penuh tanggung jawab, seksama, berorientasi pada kesejahteraan sosial, menjaga kelestarian alam secara seimbang, serta melibatkan sumber daya insani yang handal dan berintegritas tinggi (cnnindonesia.com, 28/7/2024).

Kesediaan NU dan Muhammadiyah menerima IUP dari pemerintah wajar bila menuai kritikan. Mengingat pendirian ormas keagamaan tentu bukan untuk aktivitas industri ekstraktif. 

Terlebih, realitas selama ini menunjukkan penerima dan penggarap konsesi pertambangan adalah enam kelompok berikut. Pertama, perusahaan tambang besar multinasional. Kedua, organisasi tambang nasional. Ketiga, badan usaha milik negara (BUMN).Keempat, penambang mikro. Kelima, komunitas lokal. Keenam, kemitraan beberapa aktor tersebut. Sehingga sangat tidak lazim ormas menerima konsesi tambang.

Sangat disayangkan bila ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah "terjebak" dalam tawaran bisnis tambang (batubara). Mengapa? Pertama, batubara terkonfirmasi sebagai penyebab utama kerusakan alam dan suhu bumi hingga terjadi perubahan iklim. Saat yang lain meninggalkan batubara, ormas keagamaan justru masuk menjerumuskan diri dalam bisnis itu. Ini tak sejalan dengan semangat ormas yang berupaya melestarikan lingkungan.

Kedua, berisiko menjadi bancakan para pemain tambang yang secara keahlian teknis dan tata niaganya telah berpengalaman. Dan ormas keagamaan tidak memiliki kemampuan tersebut. Kekosongan kemampuan ini menjadi celah bagi pemain lama bisnis tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan dari IUPK yang diberikan prioritasnya pada ormas keagamaan. Pada akhirnya, operasi bisnis tambang tetap berisiko tinggi, memicu kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Alih-alih meraih tambahan kesejahteraan, ormas keagamaan justru mendapatkan getah lunturnya nama baik mereka akibat dampak dari bisnis tambang ini.

Ketiga, dengan tambang dikelola ormas tidak mengubah daya rusaknya. Selama ini tambang berdampak negatif bagi masyarakat. Tambang beroperasi di ruang hidup masyarakat, sumber air warga, atau kawasan hutan yang lekat dengan sendi kehidupan masyarakat. Pun bersifat destruktif dan merusak, nampak dari prosesnya seperti mengangkut material tambang dan operasi tambang batubara berpindah-pindah.

Keempat, tambang memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang dan pemerintah pemberi izin. Ketika ormas keagamaan masuk sebagai pengelola tambang, konfliknya jadi multidimensi atau bertambah lagi satu aktor konflik. Ormas keagamaan bisa berkonflik dengan masyarakat. Ini sangat berbahaya.

Kelima, rentan terjebak mafia tambang. Sudah rahasia umum, tambang batubara adalah bisnis hitam yang dikendalikan oleh para oligarki taipan. Memasuki bisnis ini artinya siap tutup mata dan telinga atas segala penyimpangan yang terjadi. Selanjutnya bersiap masuk jaringan mafia yang kotor; permainan kongkalingkong, legalitas, suap, mark up, dan seterusnya. 

Dengan demikian, sangat memungkinkan, ormas keagamaan yang memiliki spirit amar makruf nahi mungkar bakal terjebak dalam permainan kotor dan barang haram. Tak hanya merusak citra ormas Islam yang berusaha halal dan syar'i, dikhawatirkan juga berimbas pada mandulnya fungsi kontrol, baik terhadap kinerja pemerintah maupun pada aktivitas hitam tambang itu sendiri. 

Tugas sebagai sparring partner pemerintah yang mandiri dan nirlaba pun akan sulit dilakukan. Bila ormas keagamaan telah menjadi bagian dari lingkaran hitam tersebut, mampukah menjalankan fungsi idealnya?

Dampak "Ormas Tambang" terhadap Kemandirian

Fungsi ormas keagamaan (Islam) yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan pembinaan berbasis Islam, berkhidmat pada umat, mengontrol kinerja pemerintah, serta memberikan kritik bila tidak memenuhi hak umat. Fungsi tersebut dijalankan secara mandiri dan nirlaba. 

Ketika ormas keagamaan menerima konsesi tambang dari pemerintah, maka ditengarai akan berdampak terhadap kemandirian mengontrol kinerja pemerintah dalam melayani rakyat. Dampaknya antara lain;

Pertama, memandulkan spirit amar makruf nahi mungkar khususnya pada rezim berkuasa. Pemberian konsesi tambang cenderung memunculkan rasa segan (enggan) bagi si penerima (ormas) untuk memberikan kritik terhadap sang pemberi (pemerintah/presiden). Jadilah ormas "mingkem" saat melihat kemungkaran penguasa di depan mata. Selama ini penguasa menutup mulut para oposan atau ormas kritis dengan dua cara; ditekan (hard power) atau diberi jabatan/kemudahan (soft power).

Kedua, citra baik ormas keagamaan sebagai pelayan umat akan luntur. Selanjutnya menimbulkan trust issue di tengah masyarakat. Bahkan andai ormas tersebut bersungguh-sungguh dalam statement pembelaannya terhadap hak-hak umat pun, publik belum tentu mempercayainya seperti sebelumnya.

Ketiga, ada dugaan bahwa tawaran bisnis tambang pada ormas Islam sebagai perangkap Jokowi agar setelah lengser tidak ada tuntutan hukum kepadanya dan keluarganya, terkait berbagai masalah yang muncul dari praktik kotor dalam bisnis tambang. Bila dugaan ini terbukti, maka ormas telah terjebak pada ketidakmandirian dalam menjalankan fungsinya.

Demikianlah dampak buruk pemberian konsesi tambang terhadap kemandirian ormas mengontrol kinerja pemerintah dalam melayani rakyat. Diduga, pemberian tersebut akan menurun daya kritis ormas pada (kebijakan) penguasa hingga melunturkan amar makruf nahi mungkar sebagai spirit utama eksistensinya.

Strategi Menjaga Kemandirian Ormas Keagamaan

Perlu disadari bahwa pengelolaan tambang oleh ormas hakikatnya; pertama, merampas hak rakyat. Karena keuntungannya dinikmati oleh (warga) ormas yang memperoleh konsesi tambang dari pemerintah. Tidak lagi dinikmati oleh rakyat secara menyeluruh.  

Kedua, merampas hak ormas lainnya. Karena perbedaan kesiapan SDM, permodalan, jaringan, dan pengalaman, menyebabkan hanya ormas tertentu yang menikmati manfaat hasil tambang, sementara ormas lainnya tidak dapat menikmati harta kekayaan karunia Allah SWT yang merupakan hak seluruh rakyat.

Ketiga, mematikan peran kritis ormas. Di tengah peran legislatif yang mandul dalam menjalankan fungsi kontrol kepada eksekutif, "ormas tambang" yang bukan peran dan fungsinya, akan berdampak pada tumpul bahkan hilangnya fungsi dakwah amar makruf nahi mungkar kepada pemerintah. Karena merasa berutang jasa kepada pemerintah atau lalai pada kewajiban dakwah karena sibuk menambang.

Oleh karena itu, agar ormas keagamaan tetap mampu menjaga kemandirian menjalankan fungsinya, berikut strategi yang bisa dilakukan. Pertama, menyadari bahwa rezim tidak sedang berbaik hati pada ormas tapi diduga tengah menjadikan ormas keagamaan sebagai bumper bagi rezim dan oligarki tambang atas korupsi dan kolusi, serta berbagai kerakusan mereka. Pun bencana yang timbul sebagai dampak aktivitas tambang. 

Kedua, mendorong agar negara melalui BUMN mengambil alih seluruh tambang yang ada (bukan hanya eks PKP2B). Agar limpahan tambang sebagai karunia Allah SWT di negeri ini dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Selain itu, keuntungannya akan menjadi pemasukan APBN sehingga pemerintah tak perlu zalim menarik pajak dari rakyat lagi. Pun kontrol negara juga akan lebih maksimal sehingga aktivitas tambang tidak destruktif. 

Ketiga, sebagai ormas Islam semestinya menjelaskan pada pemerintah konsep tata kelola barang tambang dalam pandangan syariat. Bukan justru ikut menikmati bancakan para oligarki. Tambang itu milik umum (umat). Bukan milik dan untuk kemakmuran korporasi atau ormas. Hanya negara yang berwenang mengelolanya dan mengembalikan manfaatnya kepada sang pemilik yaitu rakyat. Melalui program pemerintah seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan, subsidi energi dan pangan, dan seterusnya.

Keempat, menolak konsesi tambang berpijak pada idealitas fungsi ormas dan pertimbangan kemaslahatan umat. Dalih menerima IUP untuk memberi contoh pengelolaan tambang yang baik tak serta-merta menghapus siapa pihak yang sejatinya berwenang mengelola tambang. Bagaimana pun ormas keagamaan hadir bukan dalam rangka menambang. Pun justru akan menurunkan marwah sebagai ormas Islam dan keagungan Islam bakal luntur. 

Demikian langkah yang bisa dilakukan ormas Islam agar kemandirian berkhidmat pada umat dan mengontrol kinerja pemerintah bisa terjaga. Ingatlah pesan Rasulullah SAW,

إذا عظمت أمتي الدنيا؛ نزعت منها هيبة الإسلام؛ ) رواه الحكيم)

"Jika umatku membesarkan dunia, akan hilanglah wibawa Islam."

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update