Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tiga Cara agar Dicintai oleh Allah SWT Menurut Imam Abu Laits Assamarqandi

Selasa, 27 Agustus 2024 | 13:37 WIB Last Updated 2024-08-27T06:38:00Z

TintaSiyasi.id -- Menurut Imam Abu Laits Assamarqandi, terdapat tiga cara utama agar dicintai oleh Allah SWT:

1. Meningkatkan Ketaatan kepada Allah.
Menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah kunci utama untuk mendapatkan cinta Allah SWT. Dengan menjaga ketaatan, seseorang menunjukkan ketundukan dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Hal ini meliputi shalat, puasa, zakat serta amalan lainnya yang diwajibkan atau disunnahkan.

2. Bersikap Baik kepada Sesama Makhluk
Cinta Allah bisa didapat dengan menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhluk lain. Imam Abu Laits menekankan pentingnya sikap kasih sayang, kedermawanan, dan kesediaan untuk membantu orang lain. Dalam Islam, sikap ramah dan membantu kepada sesama termasuk salah satu bentuk ibadah.

3. Bersabar dalam Menghadapi Ujian dan Cobaan
Allah mencintai hamba-Nya yang bersabar dalam menghadapi segala ujian dan cobaan hidup. Imam Abu Laits mengingatkan bahwa kesabaran adalah sifat yang harus dimiliki oleh setiap mukmin, karena kehidupan di dunia adalah tempat ujian. Dengan bersabar dan tetap berserah diri kepada Allah SWT, seseorang bisa mendapatkan rida dan cinta dari-Nya.

Ketiga cara tersebut menekankan pentingnya hubungan baik dengan Allah, sesama makhluk, serta sikap sabar dalam kehidupan sehari-hari.

“Siapa yang meninggalkan kesenangan dunia, dia akan dicintai oleh Allah SWT.” Kata Syeikh Nawawi Al-Bantani.

Ungkapan ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya zuhud, yaitu sikap meninggalkan kesenangan duniawi demi meraih cinta Allah SWT. Sikap zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya atau hidup dalam kemiskinan, tetapi lebih kepada mengendalikan diri dari keterikatan berlebihan terhadap dunia. Mereka yang zuhud hanya memprioritaskan apa yang benar-benar penting dan diridai oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu." (HR. Ibnu Majah).

Dari hadis ini, jelas bahwa orang yang tidak terlalu mengejar kesenangan dunia dan lebih fokus pada amal untuk akhirat, akan dicintai oleh Allah SWT. Mereka memahami bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara dan tidak sebanding dengan kebahagiaan yang abadi di akhirat.

Siapa yang menghindari dosa-dosa, dia akan dicintai para malaikat.

Ungkapan ini mengandung makna bahwa orang yang berusaha menjauhi dosa dan menjaga dirinya dari perbuatan maksiat akan mendapatkan cinta dari para malaikat. Dalam Islam, malaikat adalah makhluk suci yang selalu taat kepada Allah SWT dan tidak pernah berbuat dosa. Mereka mencintai orang-orang yang juga menjaga kesucian dirinya dengan menjauhi dosa.

Orang yang menghindari dosa menunjukkan ketakwaan dan keimanan yang kuat. Para malaikat yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mencatat amal perbuatan manusia tentunya akan mencintai hamba yang berusaha menjaga diri dari dosa dan terus berusaha memperbaiki dirinya. Dengan menjauhi dosa, seseorang menjadi dekat dengan kesucian, suatu sifat yang disukai oleh malaikat.

Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT karena dengan demikian, selain mendapatkan cinta dari Allah SWT, seseorang juga akan dicintai oleh makhluk-makhluk Allah yang mulia seperti para malaikat.

Siapa yang menyingkrkan sifat tamak dari milik umat Islam, dia akan dicintai oleh mereka.

Ungkapan ini mengajarkan bahwa seseorang yang menyingkirkan sifat tamak atau serakah terhadap harta dan hak milik orang lain, terutama milik sesama umat Islam, akan dicintai oleh mereka. Sifat tamak seringkali menjadi sumber perselisihan, iri hati, dan ketidakharmonisan dalam hubungan sosial. Sebaliknya, orang yang tidak rakus dan tidak berambisi terhadap harta orang lain akan dihormati dan dicintai oleh masyarakat.

Menghindari sifat tamak menunjukkan keluhuran budi, kedermawanan, dan ketulusan. Seseorang yang tidak tamak cenderung berperilaku adil, jujur, dan menghargai hak-hak orang lain. Ini membuatnya mendapatkan cinta dan rasa hormat dari orang-orang di sekitarnya.

Sikap tidak tamak juga selaras dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kepedulian sosial, persaudaraan, dan saling menghormati antarumat. Dengan menghilangkan sifat tamak, seseorang akan lebih fokus pada berbagi, membantu orang lain, dan menjaga hubungan yang baik dengan sesama, sehingga mereka dicintai oleh umat Islam.

Dari sekian banyak nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmat bagimu.

Ungkapan ini mengandung pesan bahwa di antara berbagai kenikmatan dunia yang banyak dan beragam, nikmat terbesar yang seharusnya disyukuri adalah nikmat Islam. Islam adalah petunjuk hidup yang membawa seseorang kepada kebenaran, keselamatan, dan kebahagiaan di dunia serta akhirat.

Islam mengajarkan nilai-nilai yang membentuk akhlak yang baik, mengarahkan kehidupan agar selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan memberikan harapan akan kehidupan yang abadi di surga. 

Dalam Islam, kenikmatan dunia bersifat sementara, sementara hidayah dan keimanan adalah bekal yang paling berharga dan kekal.

Ungkapan ini juga mengajarkan bahwa jika seseorang diberikan nikmat Islam, itu sudah lebih dari cukup dibandingkan nikmat dunia lainnya. Karena dengan Islam, seseorang memiliki panduan yang benar, sumber kebahagiaan sejati, dan jaminan keselamatan di akhirat yang jauh lebih berharga daripada kekayaan, kedudukan atau kemewahan dunia yang bersifat fana.

Dengan demikian, menghargai dan bersyukur atas nikmat Islam menjadi bentuk syukur tertinggi yang semestinya kita jaga dan pelihara sepanjang hidup.

Dari sekian banyak kesibukan, cukuplah ketaatan sebagai kesibukan bagimu.

Ungkapan ini menekankan pentingnya menjadikan ketaatan kepada Allah SWT sebagai prioritas utama di tengah berbagai kesibukan dunia. Dalam kehidupan, manusia seringkali disibukkan dengan berbagai urusan seperti pekerjaan, bisnis, hobi, dan aktivitas lainnya. Namun, ungkapan ini mengingatkan bahwa di antara semua kesibukan tersebut, ketaatan kepada Allah SWT adalah kesibukan yang paling penting dan seharusnya menjadi fokus utama.

Ketaatan kepada Allah mencakup menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, zakat serta menjaga akhlak dan amal perbuatan yang sesuai dengan tuntunan agama. Ketika seseorang menjadikan ketaatan sebagai kesibukan utamanya, itu menunjukkan bahwa ia menyadari tujuan hidupnya di dunia, yaitu untuk beribadah dan mencari keridhaan Allah SWT.

Ungkapan ini mengajarkan bahwa meskipun kita terlibat dalam banyak kesibukan duniawi, kita harus memastikan bahwa ketaatan kepada Allah SWT tidak terabaikan. Ketaatan adalah bentuk kesibukan yang membawa berkah, kedamaian hati, serta kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Dari sekian banyak pelajaran, cukuplah kematian sebagai pelajaran bagimu.

Ungkapan ini mengandung pesan mendalam bahwa di antara sekian banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari berbagai pengalaman dan peristiwa, kematian adalah pelajaran yang paling kuat dan cukup untuk menjadi pengingat bagi manusia. Kematian adalah kenyataan yang pasti akan dihadapi oleh setiap makhluk hidup, dan tidak ada yang bisa menghindarinya. Mengingat kematian seharusnya mendorong seseorang untuk selalu introspeksi diri dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan." (QS. Al-Ankabut: 57).

Mengingat kematian membuat seseorang lebih berhati-hati dalam menjalani hidup, menjaga ketaatan, dan meninggalkan maksiat. Kematian mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini sementara, dan bahwa kebahagiaan sejati ada di akhirat. Pelajaran dari kematian seharusnya cukup untuk membuat seseorang selalu sadar akan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah SWT dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari penghisaban.

Dengan menjadikan kematian sebagai pelajaran, kita akan terdorong untuk hidup dengan lebih bermakna, menghindari kesia-siaan, dan lebih fokus pada amal-amal yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat.

Dr. Nasrul Syarif M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual. 
Dosen Psikologi Pendidikan Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update