TintaSiyasi.id -- Menanggapi wacana pemerintah akan berlalukan pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Pakar Ekonomi Islam Dr. Arim Nasim mengatakan problem minyak dan gas (migas) di Indonesia bukan subsidi atau pengurangan pertalite, namun paradigma pengelolaan APBN yang kapitalistik.
"Saya lihat ini problemnya itu sebenarnya bukan di subsidi atau pengurangan pertalite, problemnya itu memang paradigma pengelolaan APBN Pemerintah ini yang kapitalistik yang akhirnya menyebabkan rakyat yang jadi korban," ungkapnya dalam Jangan Kaget, Pembatasan Pertalite Bisa Bikin Kalangan Ini Babak Belur Habis-Habisan di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (24/8/2024).
Dia menjelaskan, terkait dengan subsidi dan pembatasan BBM atau pertalite sebenarnya tidak ada kaitannya dengan APBN secara langsung. Kemudian juga subsidi tidak tepat sasaran. Kalau dilihat sebenarnya ini adalah agenda yang dirancang secara terstruktur dan sistematis oleh para kapitalis kalau bahasa sekarang oligarki lewat IMF maupun world bank agar liberalisasi sumber daya alam terutama migas ini tuntas baik di sektor hulu maupun di sektor hilirnya.
"Justru kalau kita lihat dua hal yang berbeda sebenarnya cuman ini jadikan alasan aja oleh pemerintah itu kan, jadi kalau kita bicara terkait dengan apakah subsidi ini dianggap membengkak karena memang istilahnya itu pemerintah harus menombok Ini juga masih diragukan betulkan memang ada subsidi karena faktanya kalau kita lihat ini sudah diserahkan ke harganya pasar," terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, liberalisasi di sektor hilirlah yang membuat pembatasan pertalite dimasyarakat. Karena alasan mendasarnya yaotu liberalisasi terutama di sektor hilir. Untuk menuntaskan liberalisasi migas di sektor hilir setelah pemerintah lewat tekanan oligarki dan para kacungnya yaitu para agen di pemerintahan ikut saja meliberalisasi di sektor hulu. Sampai kemudian Pertamina disejajarkan dengan perusahaan asing dan swasta bahkan akhirnya Pertamina sekarang hanya bagian kecil dari pengelolaan migas.
"Sekarang yang masih tersisa itu adalah di sektor hilirnya di mana walaupun sudah dibuka ya liberalisasi di sektor hilir ini dengan memberikan izin kepada kuasa untuk membuka SPBU itu belum menggembirakan karena masih ada yang istilahnya murah gitu kan yang pertalite tadi itu kan," tambahnya.
Ia memberikan contoh sejak tahun 2004 sudah ada 105 perusahaan yang mendapat izin untuk main di sektor hilir SPBU, tetapi belum optimal. Sehingga sasaran mereka di liberalisasi sektor hilir ini agar semua bisa masuk Pertamina tidak dominan lagi. Maka yang mereka tuntut itu adalah sesuai dengan grand strategi awal agar subsidi itu betul-betul dihapuskan. Maka harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Saya kira ini sebuah kezaliman sebuah pembohongan public seolah-olah APBN itu kemudian dibebani oleh subsidi atau oleh penjualan pertalite tadi padahal faktanya APBN itu dibebani yang jadi beban terbesar dari APBN kita itu pertama utang dan bunganya yang kedua tadi liberalisasi sumber daya alam termasuk migas ini sehingga dia negara tidak mendapatkan hasil dari sumber daya alam kecuali hanya secuil pajak," pungkasnya. [] Alfia Purwanti