TintaSiyasi.id -- Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr. Dewi Inong Irana memgatakan, ngeri bila Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja diberlakukan.
"Kalau sampai kondom dibagikan di sekolah, istigfar. Ini ngeri banget," ujarnya dalam Fokus: Pro Kontra PP Pemberian Alat Kontrasepsi untuk Remaja, Ahad (11/8/2024) di kanal YouTube UIY Official.
Jangankan akan disediakan untuk pelajar dan remaja, terhadap penjualan alat kontrasepsi di minimarket pun ia mengaku tidak setuju. "Begitu kemarin keputusan dari pemerintah itu, kaget, 'hah, mau dibagiin, di minimarket aja saya dan teman-teman enggak setuju'," imbuhnya.
Hal itu ia katakan, sebab, berdasarkan pengalamannya 37 tahun menangani penyakit kulit dan kelamin ia membeberkan, infeksi menular seksual (IMS) terjadi bukan hanya pada WTS (wanita tuna susila) atau PTS (pria tuna susila), tetapi semua bisa kena akibat perbuatan zina, sekalipun yang dikira aman dengan kondom.
Menyanggah alasan penyediaan alat kontrasepsi dalam PP Nomor 28 tahun 2024 sebagai salah satu upaya mencegah kehamilan di usia dini, dr. Inong menyatakan, permasalahan kehamilan yang timbul akibat seks bebas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Ia menyebutkan, ada 23 macam penyakit kelamin IMS (infeksi menular seksual) akibat dari perbuatan seks bebas/zina, 5 di antaranya belum ada obatnya, yaitu HIV/AIDS, kondiloma akuminata, herpes simpleks genital, hepatitis C, dan sarcoma-kaposi.
"Data yang ada di Indonesia ini mengerikan sekali. Pernikahan dini, kehamilan usia dini, itu sedikit sekali dibandingkan HIV dan IMS. Itu seperti puncak gunung es," tuturnya
Ia mengungkapkan, berdasarkan data dari Ditjen P2P Kemenkes RI 2020, kasus HIV di Indonesia paling banyak kelompok umur 25-49 tahun (71,6 persen), 20-24 tahun (14,1 persen), artinya usia 20-49 tahun yang merupakan usia produktif sebesar 85,7 persen. Sementara untuk penderita AIDS (ada gejala sakit), menurut kelompok umur terbanyak umur 20-29 tahun (31,9 persen), pada rentang usia produktif 20-49 tahun sebesar 77 persen.
Ia juga mengungkapkan, berdasarkan data tahun 2021, jumlah orang dengan HIV (ODIV) Indonesia menempati urutan tertinggi di Asean sebanyak 540.000 ODIV, disusul Thailand 520.000 ODIV dan Myanmar 270.000 ODIV.
"Usia produktif paling banyak menderita AIDS (artinya) yang sudah ada gejala sakit. Berarti ketularannya 3-10 tahun sebelumnya, waktu SMP/SMA sudah lakukan zina. Mungkin mereka pakai kondom, sudah merasa aman. Lah, sekarang aja di minimarket di sebelah permen, kok," sesalnya.
Tingginya kasus IMS-HIV/AIDS menurutnya karena sejatinya hanya sedikit mengurangi risiko. Prof. Dr. J. Mann dari Havard University, USA, menyatakan bahwa kondom hanya mampu mengurangi risiko tertular AIDS sekitar 26 persen saja. Dr. Inong juga mengatakan, pada konferensi AIDS Asia Pasifik III, 16-21 September 1995, Chiang Mai, Thailand disebutkan bahwa pori-pori kondom lebih besar (1/160μ) dari virus HIV (1/250μ).
"Kondom itu untuk KB. Keberhasilannya 80 persen bukan 100 persen Ukuran pori-porinya lebih kecil daripada ukuran sperma, jadi sperma tidak bisa lewat. Sedangkan ukuran virus HIV dan IMS lebih kecil dari pori-pori kondom. Bisa tembus. (Kondom) Bukan untuk pencegahan penularan IMS-HIV/AIDS," tegasnya.
Lebih lanjut, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat menurutnya juga menuliskan bahwa jika menghendaki 100 persen tidak terkena IMS, maka jangan berzina.
"Nah, kok malah disuruh dibagiin? Menghalalkan zina?" ujarnya.
dr. Inong khawatir pemberian kondom akan membuat remaja mengira seks bebas aman, padahal sudah jelas itu perbuatan haram dan laknat yang tidak boleh dilakukan sama sekali. Ia menilai hal ini sebagai proxy war.
"Free sex dibilangnya enggak apa-apa yang penting pakai kondom. Enggak bisa. Ini termasuk proxy war. Kondom dijual di minimarket waktu itu. Sekarang kok mau dibagiin? Ya enggak bisa, dong. Enggak setuju," pungkasnya.[] Saptaningtyas