Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Subsidi LPG Jadi BLT, Solusi atau Masalah Baru?

Jumat, 02 Agustus 2024 | 22:24 WIB Last Updated 2024-08-02T15:25:07Z
TintaSiyasi.id -- Susah yang bertubi menimpa kehidupan masyarakat bawah. Nafas masih ngos-ngosan membiayai kebutuhan anak-anak sekolah, kebutuhan pokok yang harganya makin menjulang tinggi, kini kita dihadirkan berita tentang rencana penghapusan subsidi LPG.

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan adanya perubahan skema pemberian Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari yang saat ini berlaku subsidi pada produk, diubah menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada warga yang berhak. Kelak, masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori penerima subsidi LPG 3 kilogram (kg) bisa menerima bantuan berupa nominal uang hingga Rp100 ribu per bulan (cnbcindonesia.com, 23/07/2024).

Masalah ini wajib diangkat karena jika disahkan pencabutan subsidi dan digantikan menjadi BLT atau bantuan langsung tunai maka akan menuai beberapa konsekuensi. Efek domino yang diakibatkan dari regulasi ini akan merembet terutama pada masyarakat menengah ke bawah. Diprediksi akan banyak UMKM yang tutup dan bangkrut.

Perekonomian yang makin sulit malah diperparah dengan kenaikan harga barang yang kemungkinan besar akan terjadi jika kebijakan ini disahkan dan pasti akan menurun daya beli karena melambungnya harga-harga. Belum lagi potensi korupsi para pejabat terkait. Serta kerumitan implementasi.

Beginilah potret buram sistem hari ini. Di mana penguasa hanya sebagai regulator dan bukan sebagai pelayan rakyat. Pemerintah hanya berpikir pragmatis tanpa memikirkan efek yang diakibatkan regulasi yang mereka buat. Terutama yang paling terasa adalah rakyat menengah dan rakyat jelata.

Hari ini lesunya perekonomian rakyat mungkin tidak dirasakan oleh para pejabat kita. Seluruh kebutuhan para pejabat kita dibiayai oleh patungan rakyat yang dikutip dari segala macam pajak. Begitu pun mereka terus menzalimi kehidupan rakyat.

Rakyat muak dengan penguasa yang selalu membuat rakyat sengsara. Sistem kapitalisme membuat situasi yang buruk menjadi lebih buruk dan terus menerus buruk. Tidak ada obat selain daripada mengganti sistem dan ganti rezim. Karena sistem yang rusak akan melahirkan peraturan yang rusak pula. Serta rezim yang korup akan menambah beban rakyat lagi.

Negara bertanggung jawab penuh akan kebutuhan rakyatnya. LPG adalah kebutuhan pokok rakyat untuk memasak atau mengolah makanan di rumah. Sehingga, negara wajib menyediakan LPG secara gratis, atau disubsidi oleh negara dan kemudian rakyat membelinya dengan harga yang murah. Karena bahan baku berupa gas alam adalah kepemilikan umum yang manfaatnya harus diserahkan pada masyarakat secara umum.

Negara wajib mengelola gas alam dan kemudian dikemas menjadi LPG, dan hasil pengelolaannya diserahkan kembali untuk kemaslahatan umat. Rakyat akan terpenuhinya kebutuhan dasarnya, berupa terjangkaunya kebutuhan pokok. Nah, ini bisa saja negara menyubsidi bahan kebutuhan pokok kepada para pedagang dan para pedagang pun menjualnya murah kepada pembeli.

Kemudian, pendidikan dan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat. Bangsa yang kuat adalah bangsa di mana masyarakatnya cerdas dan sehat. Jadi fasilitas pendidikan dan kesehatan wajib disediakan secara gratis dan berkualitas. Rakyat mudah mengakses untuk jadi sehat dan pintar. Sehingga orang tua tidak sibuk lagi memikirkan setoran BPJS maupun uang sekolah anak.

Negara dalam Islam sangat memperhatikan setiap individu rakyat akan kebutuhannya, terutama kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan juga keamanan. Semua itu adalah tanggung jawab negara.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang berpikir untung rugi kepada rakyatnya. Islam sangat menekankan bahwa penguasa adalah pelayan dan pelindung rakyat. Tidak dibenarkan rakyat dijadikan subjek bisnis oleh penguasa yang berorientasi keuntungan semata.

LPG merupakan salah satu tambang yang konsep kepemilikannya adalah kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kemaslahatan umum. Indonesia dianugerahkan Yang Maha Kuasa negeri yang kaya raya, berbagai hasil bumi yang ada tidak boleh dikuasai oleh individu atau kopertis karena akan menyengsarakan umat.

Sehingga pengelolaan ini wajib diambil alih oleh negara. Tidak ada ruang bagi individu atau swasta untuk mengelola air, tambang galian, hutan dan sebagainya karena itu merupakan kepemilikan umum yang hasilnya untuk umat. Sehingga dari pengelolaan hasil bumi ini, negara akan membuat mekanisme menggratiskan atau menyubsidi berbagai kebutuhan rakyat.

Penguasa dalam Islam wajib amanah. Mereka tidak boleh menggunakan wewenangnya hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Mahkamah madzalim akan menindak tegas penguasa dan pegawai negara yang melakukan kezaliman kepada rakyatnya, termasuk dalam hal membuat kebijakan pencabutan subsidi LPG yang sangat berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat. Rakyat tidak membutuhkan BLT jika seluruh kebutuhan primernya ditanggung oleh negara.

Dalam Islam pun negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Akses memiliki harta yang halal sangat mudah bagi rakyat. Jadi rakyat dididik untuk mandiri, tidak hanya sekedar mengharapkan BLT dari pemerintah. Dengan mekanisme ini kesejahteraan mudah digapai oleh seluruh lapisan rakyat. Islam adalah rahmat untuk seluruh alam. Bagi siapa yang menerapkannya pasti akan merasakan keberkahannya.

Namun, mustahil Islam dicampur dalam sistem hari ini. Karena sistem hari ini berasaskan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Jadi sistem Islam yang paripurna ini harus berada dalam institusi negara Islam pula agar penerapan hukum-hukumnya terlaksana secara sempurna. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 208).

Wallahualam bissawab.

Oleh: Endah Sefria, S.E
Pemerhati Ekonomi

Opini

×
Berita Terbaru Update