TintaSiyasi.id -- Menilik karut-marut perpolitikan dalam negeri, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa politik sekuler yang saat ini sedang berlangsung adalah politik nir-moral (tidak ada lagi moralitas).
"Politik ini hari, politik sekuler, itu adalah bahwa di dalam politik ini hari itu nir-morality, nir-spiritualism. Jadi, sudah tidak ada lagi moralitas yang berbasis spiritualitas, yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan," tuturnya di kanal YouTube UIY Official: Politik Sekuler vs Politik Islam, Selasa (27/8/2024).
Hilangnya rasa atau kesadaran bahwa setiap perbuatan, termasuk dalam berpolitik akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, dinilai UIY menjadikan seseorang saat ini berpolitik tanpa rasa takut.
"Makanya kita lihat itu orang itu bermain politik seperti seolah-olah sudah tidak ada takutnya pada Tuhan. Tidak ada lagi pikiran bahwa itu semua kelak akan diungkap di akhirat," ungkapnya.
Di samping itu, hilangnya kesadaran tersebut menurutnya juga membuat seseorang tidak lagi malu karena menganggap semuanya bisa diatur. Orang seperti sudah tidak ada takutnya, tidak ada sungkannya, tidam ada malunya, karena merasa bahwa semua itu sudah bisa diatur oleh dia, bisa. Dengan iming-iming, ancaman pemenjaraan, jabatan maupun uang, seolah-olah selesai.
Selain itu, tidak adanya spiritualisme dalam politik sekuler menurut UIY melahirkan pilihan bagi seseorang untuk menjadi seorang politikus yang bermoral tetapi kalah atau menang walaupun menang dengan cara tidak baik. Hal ini menurutnya lahir dari adagium apa pun bisa dilakukan, yang penting menang.
"Ini sebenarnya lahir dari adagium bahwa apa pun bisa dilakukan yang penting menang. Justru adagium ini yang harus kita persoalkan. Ini lahir dari politik yang nir-spiritualism tadi itu. Mengapa? Bagi seseorang yang sadar betul tentang pertanggungj awaban di akhirat nanti, jangan lagi melakukan kecurangan yang besar, kesalahan yang kecil pun akan terungkap, kok," ujarnya.
Berbeda
UIY menjelaskan, nir-morality dan nir-spiritualism pada politik sekuler itu menjadi pembeda secara diametral dengan politik Islam. Dalam politik sekuler saat ini, lanjutnya tidak ada kesadaran berpolitik untuk beribadah, yang ada hanya kepentingan.
"Kita tahu bahwa hidup kita itu diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Ketika hidup untuk beribadah maka ketika kita berpolitik ya untuk beribadah. Nah, ibadah itu yang sudah tidak ada, semua sudah serba kepentingan," sesalnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ciri politik untuk beribadah ialah terikat kepada ketentuan halal dan haram, ketentuan etika ketentuan morality, ketentuan boleh tidak boleh menurut pandangan Islam.
"Mengapa penting untuk memperhatikan halal haram boleh tidak boleh (berdasarkan) ukuran Islam? Karena ini semua, hidup kita, termasuk dalam berpolitik itu akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala," tegasnya.
UIY menerangkan, politik Islam memandang bahwa jabatan (kepemimpinan) adalah amanah yang bisa membawa kehinaan dan menjadi penyesalan ketika tidak kapabel ataupun diperoleh dengan cara tidak benar. Hal ini berdasarkan nasihat Baginda Rasulullah kepada Abu Dzar Al-Ghifari ketika datang untuk meminta tanggung jawab jabatan tetapi nabi menolak.
"Innaka dha'ifun. Engkau lemah. Jadi tidak punya kapabilitas, tidak punya ability. Nabi sedang mengajari kita sesuatu yang sangat penting, ini yang harus disadari, the right man on the right place. Kemudian yang kedua, wa innaha amanatun. Bahwa jabatan itu, jabatan politik termasuk di dalamnya adalah amanah. Wa innaha yaumal kiyamati hizzun wa nadamah. Dan di hari kiamat nanti jabatan itu hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Illa man akhodza bil haqqi. Kecuali mereka yang mendapatkan jabatan itu dengan benar. Wa adalladzi ilaihi biha. Dan orang yang melaksanakan amanah itu," kata UIY.
Hilangnya kesadaran bahwa jabatan politik adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat sebagaimana dinasihatkan Rasulullah tersebut menurut UIY menjadi pembeda paling prinsip antara politik sekuler dengan politik Islam.
Ia mengingatkan, politik sekuler pasti akan berakibat buruk. Buruk bagi politisinya, juga buruk bagi masyarakat luas. Dalam politik sekuler, lanjutnya, seseorang bisa dengan cepat meraih kekuasaannya, tetapi akan jatuh dengan terhina.
"Jadi sebenarnya tidak akan baik di dalam politik sekuler itu. Lihatlah itu mereka-mereka yang mengagungkan kekuasaan, kan jatuhnya terhina semua, mulai dari Hitler, mulai Mussolini, Jengis Khan, Polpot, atau yang agak sedikit baru belakangan itu apa namanya Kadafi dan lain-lain itu kan semua jatuh sekarang," ungkapnya.
Sementara itu, lanjutnya, politik sekuler hari ini mengakibatkan ketidakadilan hukum, ekonomi, dan politik bagi masyarakat. "Ini hari kekuasaan demi kepuasan. Akibatnya apa? Akibatnya kekacauan, ketidakadilan, ketidakadilan hukum, ketidaadilan ekonomi, politik," tandasnya.
Kekuasaan dalam Islam
UIY menjelaskan bahwa Islam memandang kekuasaan sebagai amanah untuk amar makruf nahi mungkar, untuk melaksanakan ketentuan Allah SWT. Sebab, imbuhnya, untuk melaksanakan syariah secara kaffah diperlukan individu yang bertakwa, juga sekumpulan orang karena ada banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan sendiri, di samping itu negara. Ketika bicara negara inilah, menurutnya pasti bicara pemimpin, bicara kekuasaan.
"Kekuasaan dalam Islam itu, itu amanah. Untuk apa? Untuk amar makruf nahi mungkar, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau melaksanakan syariah secara kafah. Karena itulah memang diperlukan kekuasaan," ujarnya.
Ia menegaskan, substansi dari kekuasaan untuk menerapkan syariah dan amar makruf nahi mungkar ini akan mewujudkan kebaikan bagi seluruh masyarakat.
"Kepemimpinan negara lebih luas lagi itu diperlukan oleh Islam untuk apa? Untuk mengatur masyarakat itu dengan penerapan syariah secara kaffah yang dengan penerapan itu akan terwujud kebaikan bagi seluruh masyarakat yang ada di situ, muslim maupun nonmuslim. Itu yang disebut rahmatan lil alamin," pungkasnya.[] Saptaningtyas