TintaSiyasi.id -- Pendahuluan
عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ – (صحيح البخاري - (ج 6 / ص 2614))
قال العلامة الشيخ الملا على القاري الحنفي: وهو غاش…. أي خائن لهم أو ظالم بهم لا يعطي حقوقهم ويأخذ منهم ما لا يجب عليهم إلا حرم الله عليه الجنة أي دخولها مع الناجين أو محمول على المستحل أو زجر وكيد ووعيد شديد أو تخويف بسوء الخاتمة نعوذ بالله من ذلك (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح - (ج 11 / ص 322))
Politik Ekonomi Migas di Indonesia
Regulasi Migas di Indonesia adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebelumnya, adalah Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
UU ini telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para pemohon materi Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33. Ayat (2) dan (3) pasal ini menyebutkan bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebenarnya pasca-amandemen, pada pasal 33 ini mendapat dua tambahan ayat. Yakni ayat 4 berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Sementara tambahan ayat 5 berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.” Tambahan pasal ini membuka ruang Kerjasama dengan swasta.
Alasan lainnya adalah UU Migas kental pengaruh asing sebagaimana terlihat dari adanya (dugaan) aliran dana Rp. 200 miliar dari USAID dalam bentuk reformasi sektor energi ke berbagai pihak di Indonesia (Republika, 4 September 2008). Perubahan ditujukan pada sejumlah pasal krusial yang dinilai bermasalah. Pasal-pasal dimaksud adalah (i) Pasal 8 ayat (1); (ii) Pasal 11 ayat (2); (iii) Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3); (iv) Pasal 14 ayat (1); (v) Pasal 22 ayat (1); dan (vi) Pasal 28 ayat (2).
Upaya merevisi UU tersebut juga jalan di tempat. Walaupun revisi sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010 lalu, sampai saat ini perkembangan revisi belum menunjukkan arah yang jelas.
Di dalam UU Migas, pembinaan dan pengawasan hulu migas berpindah tangan dari PT Pertamina (Persero) ke badan lain. Termasuk, kewenangan Pertamina sebelumnya yang bisa mengikat kontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pun harus lenyap.
Setahun kemudian, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menjadi cikal bakal BP Migas. Hanya saja, selang beberapa tahun berlalu, keberadaan BP Migas dipertanyakan. Banyak pihak menggugat kehadiran BP Migas ke MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kehadiran BP Migas dianggap pro asing dan tidak mengutamakan kedaulatan negara. Permohonan ini dikabulkan MK.
Untuk menggantikan BP Migas, Presiden SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi membentuk SKK Migas.
UU Nomor No 22 Tahun 2001 Tentang Migas sedianya sudah tak lagi utuh. Compang-camping lantaran beberapa pasal sudah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Sedianya sudah empat kali MK menerbitkan putusan judicial review UU Migas. (https://www[dot]portonews[dot]com/2019/laporan-utama/basa-basi-revisi-uu-migas/)
Membaca UU Minerba No. 4 Tahun 2009
Mengeliminasi peran negara. Padahal dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya UU Minerba berpotensi hanya menguntungkan kemakmuran investor.
Pada Pasal 169A dan 169B pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya.
Pasal 47 (a) menyebut jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga perusahaan di PKP2B bisa "menguasai" tambang batu bara sampai dua dekade.
Terdapat definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan tetap juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adanya perubahan dalam Pasal 100 yang membuat reklamasi dan pascatambang dimungkinkan untuk tidak dikembalikan sebagaimana zona awal.
Pasal 102 dalam revisi UU Minerba juga menghilangkan kewajiban pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri batubara.
Pasal 93 memungkinkan IUP & IUPK dipindahtangankan atas izin menteri. Kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi peertambangan diragukan masyarakat.
Sebagai tambahan, UU Minerba yang disahkan sangat investor friendly, dengan memberikan berbagai kemudahan memperoleh IUPK dan jaminan perpanjangan IUPK. UU Minerba juga tidak mendorong dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan ketersediaan Minerba dalam jangka panjang. UU Minerba juga tidak mendorong pengolahan minerba di Smelter dalam negeri untuk meningkatkan nilai bagi negeri. Paradigmanya masih tetap gali-jual. Akibatnya, investor akan meraup keuntungan besar, sedangkan kemakmuran rakyat diabaikan.
(https://mediaindonesia[dot]com/read/detail/312675-baru-disahkan-uu-minerba-yang-baru-langsung-panen-kritik)
Hadis tentang Barang yang Menjadi Hajat Hidup Orang Banyak
Teks Hadis:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ »
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram. (HR. Ibn Majah)
Takhrij:
Posisinya dalam kitab induk hadits, di antaranya:
أخرجه ابن ماجه في "سننه" (3 / 528) برقم: (2472) والطبراني في "الكبير" (11 / 80) برقم: (11105)
Syawahid:
وله شواهد من حديث أحد الصحابة، وحديث ثور بن يزيد الكلاعي
فأما حديث أحد الصحابة، أخرجه أبو داود في "سننه" (3 / 295) برقم: (3477) وأحمد في "مسنده" (10 / 5475) برقم: (23551) وابن أبي شيبة في "مصنفه" (11 / 669) برقم: (23655) والبيهقي في "سننه الكبير" (6 / 150) برقم: (11950) ، (6 / 150) برقم: (11952)
وأما حديث ثور بن يزيد الكلاعي، أخرجه البيهقي في "سننه الكبير" (6 / 150) برقم: (11951)
Kedudukan:
Hadits dengan sanadnya yang shahih adalah hadits yang pada matannya tanpa redaksi “wa tsamanuhu haramun”. Namun demikian hadits ini secara makna maqbul dan bisa dikategorikan hasan karena diterima para ulama dan digunakan para fuqaha’.
Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
(1) Sanad hadits ini muttashil (bersambung);
(2) Pada hadits riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani dari Ibnu Abbas ada rawi yang dhaif, yakni Abdullah bin Khirasyi. Abu Hatim, al-Bukhari, Abu Zur’ah dll, menilainya dhaif,
في الزوائد عبد الله بي خراش . قد ضعفه أبو زرعة والبخاري وغيرهما
Adapun hadits lain riwayat Abu Daud dan yang lainnya dari seorang shahabat adalah maqbul (haditsnya shahih). Semua rawinya tsiqah. Riwayat tersebut tanpa redaksi, “wa tsamanuhu haramun”. Ziyadah tsb munkar (sehingga dhaif), namun maknanya bisa diterima (maqbul);
(3) Sanad hadits yang shahih adalah riwayat Abu Daud, dll dari salah seorang shahabat. Semua rawinya tsiqah. Mubhamnya shahabat (tidak diketahui namanya) tidak memadharatkan hadits karena semua shahabat adalah adil;
(4) Madar sanad hadits dari jalur Ibnu Abbas adalah pada Abdullah bin Khirasyi. Adapun madar sanad hadits dari jalur “salah seorang shahabat” adalah pada Hariz bin Utsman.
Di antara penilaian para ulama terhadap rawi bernama Abdullah bin Khirasyi:
- فيه عبد الله بن خراش قال فيه أبو حاتم ذاهب الحديث. نصب الراية لأحاديث الهداية: (4 / 294)
- فيه عبد الله بن خراش ضعفه أبو زرعة. نصب الراية لأحاديث الهداية: (4 / 294)
- عبد الله بن خراش قد ضعفه أبو زرعة والبخاري وغيرهما وقال محمد بن عمار الموصلي كذاب. حاشية السندي على بن ماجه: (2 / 91)
- وَقَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ السَّكَنِ. التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير: (3 / 143)
- فيه عبد الله بن خراش قال فيه أبو حاتم ذاهب الحديث وأقره ابن القطان عليه. نصب الراية لأحاديث الهداية: (4 / 294)
- هَذَا طَرِيق ضَعِيف. البدر المنير في تخريج الأحاديث والآثار الواقعة في الشرح الكبير: (7 / 76)
- عبد الله بن خراش لا أعلم أنه يروي عن غير العوام أحاديث وعامة ما يرويه غير محفوظ. الكامل في الضعفاء: (5 / 347)
- قَالَ الْبُخَارِيُّ: عبد الله بن خراش عن العوام بن حوشب منكر الحديث. نصب الراية لأحاديث الهداية: (4 / 294)
Kritik Matan (Naqd al-Matn)
(1) Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran;
(2) Matan hadits ini selaras dengan banyak Hadits shahih;
(3) Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam;
(4) Berdasarkan data takhrijnya, matan hadits ada perbedaan redaksi, yakni tambahan “wa tsamanuhu haramun” pada riwayat Ibnu Majah dan al-Thabarani dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Jalur inilah yang mendapatkan catatan kritik, sedangkan jalur yang lainnya shahih. Secara keseluruhan, hadits ini layak dijadikan sebagai hujjah.
Perbandingan Matan
- مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ غَزَوْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ « الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ ». سنن أبى داود (10/ 306)
- عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ ». سنن ابن ماجه (7/ 439)
- عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ ». مسند أحمد (50/ 290)
- أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلاً مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ :« الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ » سنن البيهقى (2/ 194)
- عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ : " الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي الْكَلَأِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ . أَرْسَلَهُ الثَّوْرِيُّ عَنْ ثَوْرٍ ، وَإِنَّمَا أَخَذَهُ ثَوْرٌ عَنْ حَرِيزٍ . سنن البيهقي الكبرى (6/ 150)
Syarah (Penjelasan)
( المسلمون شركاء في ثلاث ) من الخصال قال البيضاوي : لما كان الأسماء الثلاثة في معنى الجمع انتهى بهذا الاعتبار فقال في ثلاث ( في الكلأ ) الذي ينبت في الموات فلا يختص به أحد ( والماء ) أي ماء السماء والعيون والأنهار التي لا مالك لها ( والنار ) يعني الحطب الذي يحتطبه الناس من الشجر المباح فيوقدونه أو الحجارة التي توري النار ويقدح بها إذا كانت في موات أو هو على ظاهره قال البيضاوي : المراد من الاشتراك في النار أنه لا يمنع من الإستصباح منها [ ص 272 ] والإستضاءة بضوئها لكن للموقد أن يمنع أخذ جذوة منها لأنه ينتقصها ويؤدي إلى إطفائها. فيض القدير (6/ 271)
( المسلمون شركاء في ثلاث ) من الخصال ( في الكلا ) النابت في الموات فلا يختص به أحد ( والماء ) أي ماء السماء والعيون والانهار التي لا مالك لها ( والنار ) يعني الشجر الذي يتحطبه الناس من المباح فيوقدونه والحجارة التي يقدح بها. التيسير بشرح الجامع الصغير ـ للمناوى (2/ 884)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم «المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ والنار» ورواه أنس من حديث ابن عباس وزاد فيه: «وثمنه حرام». وما روي عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «لا يمنع الماء والنار والكلأ». فهذا الحديث بيّن أن هذه الأشياء ملك عام. إلا أن القرائن الشرعية المتعلقة بهذا الموضوع تري أن هذه الأشياء قد جعلت ملكية عامة لصفة معينة فيها تستوجب ذلك. وليس إيرادها في الحديث ثلاثة من قبيل تحديد عددها، بدليل أن الرسول صلى الله عليه وسلم أباح للناس امتلاك الماء ملكية فردية في الطائف وخيبر. فقد ملكوا الماء ملكية فردية واختصوا به لسقي زرعهم وبساتينهم، وهذا يدل على أن الشركة في الماء هي من حيث صفته لا من هو ماء، أي من حيث كونه من مرافق الجماعة. السياسة الاقتصادية المثلى (ص: 67)
(المسلمون شركاء في ثلاث: الماء والكلأ والنار)، وثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه أقرّ أهل الطائف وأهل المدينة على ملكية الماء ملكية فردية، وفُهم من حال المياه التي سمح بها ملكة فردية أنها لم تكن للجماعة حاجة فيها، فكانت علة كون الناس شركاء في الثلاث كونها من مرافق الجماعة، فالدليل دل على حكم ودل على العلة. أي دل على الحكم ودل على شيء آخر كان سبب تشريع الحكم فاستُنبطت منه قاعدة "كل ما كان من مرافق الجماعة كان ملكية عامة". وهكذا جميع القواعد الكلية. الشخصية الإسلامية الجزء الثالث (1/ 466)
وفي هذا دليل على أن الناس شركة في الماء والكلأ والنار، وأن الفرد يُمنع من ملكيتها. إلاّ أن الملاحَظ أن الحديث ذكرها ثلاثاً وهي أسماء جامدة ولم تَرِد عِلّة للحديث. فالحديث لم يتضمن علة، وهذا يوهم أن هذه الأشياء الثلاثة هي التي تكون ملكية عامة لا وصفها من حيث الاحتياج إليها. ولكن المدقق يجد أن الرسول صلى الله عليه وسلم أباح الماء في الطائف وخيبر للأفراد أن يمتلكوه، وامتلكوه بالفعل لسقي زروعهم وبساتينهم، فلو كانت الشركة للماء من حيث هو لا من حيث صفة الاحتياج إليه لَما سمح للأفراد أن يمتلكوه. فمن قول الرسول: {المسلمون شركاء في ثلاث: الماء...} الخ، ومن إباحته عليه السلام للأفراد أن يمتلكوا تُستنبَط علة الشراكة في الماء والكلأ والنار، وهي كونه من مرافق الجماعة التي لا تستغني عنها الجماعة. فيكون الحديث ذَكَر الثلاث ولكنها معلَّلة لكونها من مرافق الجماعة. وعلى ذلك فإن هذه العلة تدور مع المعلول وجوداً وعدماً. فكل شيء يتحقق فيه كونه من مرافق الجماعة يعتبر ملكاً عاماً سواء أكان الماء والكلأ والنار أم لا، أي ما ذُكر في الحديث وما لم يُذكر. وإذا فقد كونه من مرافق الجماعة ولو كان قد ذُكر في الحديث كالماء فإنه لا يكون ملكاً عاماً بل يكون من الأعيان التي تُملك ملكاً فردياً. النظام الإقتصادي في الإسلام (ص: 201)
(المسلمون شركاء في ثلاث: في الماء والكلأ والنار)، فالإمام يعطيها لجميع المسلمين محتاجاً وغير محتاج، وليست هي موكولة لرأي الإمام يصرفها برأيه واجتهاده، بل هي لعامة المسلمين. ولذلك توضع في باب وحدها، لأن ما جُعل مصرفه موكولاً لرأي الإمام واجتهاده هو الموارد الثابتة كالجزية والخراج والفيء والضرائب التي تُجمع من المسلمين وهو ما يدخل تحت ملكية الدولة، أمّا ما هو لجميع المسلمين فإنه يُصرف لجميع المسلمين فيعطى المحتاج وغير المحتاج، إلاّ أن مقدار ما يعطى لا يشترط أن يكون متساوياً فإن هذا راجع لرأي الإمام في المقدار فقط لا في التوزيع، وذلك لأن أبا بكر اجتهد فأعطى الناس بالتساوي، وعمر اجتهد فأعطى الناس بالتفاضل، واجتهاد كل منهما حكم شرعي يصح تقليده، ولأن ما هو داخل في الملكية العامة كالماء مثلاً يأخذه الناس بالتفاضل حسب حاجتهم لا بالتساوي، فللخليفة أن يعطي بالتساوي وله أن يعطي بالتفاضل، ولكن ليس له أن يصرفه برأيه بل مصرفه معين بالشرع وهو لجميع المسلمين. مقدمة الدستور (ص: 365)
Dengan demikian, hadits ini menjelaskan barang-barang yang terkategori kepemilikan umum, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi tidak terbatas pada tiga jenis barang yang disebutkan dalam hadits tersebut. Alasannya karena Rasulullah pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang, dimana air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Sifat ketiga jenis barang tersebut ketika merupakan marafiq al-jama’ah (suatu yang dibutuhkan publik atau merupakan fasilitas publik), maka termasuk dalam kepemilikan umum.
Kenyataan Rasulullah pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar mengindikasikan bahwa hadits berserikatnya umat Islam pada tiga jenis barang tersebut menunjukkan adalanya illat larangan penguasaan atas ketiga jenis barang tersebut. Illat adalah barang tersebut sebagai marafiq al-jamaah. Dari sini lahirlah kaidah kulliyyah,
كل ما كان من مرافق الجماعة كان ملكية عامة
“Setiap apa yang keberadaannya dibutuhkan publik, maka ia adalah kepemilikan umum”.
Berdasarkan kaidah العلة تدور مع المعلول وجوداً وعدماً maka ada atau tidak adanya hukum tergantung pada illatnya. Artinya semua yang terkategori barang yang dibutuhkan publik (marafiq al-jama’ah), maka keberadaannya sebagai kepemilikan umum, apakah barang tersebut air, hutan, api, atau yang lainnya. Sebaliknya, jika tidak terkategiri marafiq al-jama’ah, meskipun tercantum dalam hadits tersebut, maka boleh dimiliki oleh individu.
Barang yang termasuk kepemilikan umum dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga tertentu yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, karena negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut. Hal ini berbeda dengan kepemilikan negara, dimana khalifah memiliki kewenangan berdasarkan ijtihadnya dalam pengelolaan dan pendistribuasian barang milik negara.
Contoh barang yang termasuk kepemilikan umum selain air, padang rumput (termasuk hutan), dan api (energi), adalah berbagai bentuk energi seperti minyak dan gas, listrik, juga termasuk sarana transportasi publik, fasilitas kesehatan, dll.
Minyak dan gas ketika keduanya sebagai barang yang dibutuhkan publik (artinya sebagai marafiq al-jama’ah), maka keduanya adalah barang miliki umat. Haram dimiliki individu (privatisasi), baik swasta asing maupun dalam negeri.
Ketika minyak dan gas juga sebagai barang tambang yang depositnya melimpah, maka juga termasuk dalam bahasan hadits barang tambang dari riwayat Abyadh bin Hammal, sehingga keberadaannya juga sebagai kepemilikan umum.
Dalam hal ini, posisi penguasa adalah sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Maka pos pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini menempati pos tersendiri di Batul Mal. Semuanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Hadis tentang Tambang Garam
Teks Hadits
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.
“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan meminta beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencabut embali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”. (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi)
Takhrij:
Posisinya dalam kitab induk hadits, di antaranya:
أخرجه ابن حبان في "صحيحه" والنسائي في "الكبرى" وأبو داود في "سننه" والترمذي في "جامعه" والدارمي في "مسنده" وابن ماجه في "سننه" والبيهقي في "سننه الكبير" والدارقطني في "سننه" وابن أبي شيبة في "مصنفه" والطبراني في "الكبير"
Syawahid:
وَفِي الْبَابِ عَنْ وَائِلٍ وَأَسْمَاءَ اِبْنَةِ أَبِي بَكْرٍ
Kedudukan:
Hadits ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah al-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadits hasan (dengan beberapa catatan kritik sanad),
حَدِيثُ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. تحفة الأحوذي (4/ 9)
Kritik Sanad (Naqd al-Sanad)
(1) Sanad hadits ini muttashil (bersambung);
(2) Secara umum rawinya maqbul. Secara rinci, kriteria rawi beragam mulai tsiqah tsabat, tsiqah, shaduq, wahm, hingga majhul hal. Kelemahan pada beberapa rawi dikuatkan dengan adanya jalur lain;
(3) Madar sanad hadits ini pada Syumair dan Sumay bin Qais.
Kritik Matan (Naqd al-Matn)
(1) Matan hadits ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran;
(2) Matan hadits ini selaras dengan Hadits shahih lainnya;
(3) Lafazhnya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam;
(4) Berdasarkan data takhrijnya, matan-matan hadits tersebut tidak saling bertentangan (bukan hadits mukhtalif).
Syarah (Penjelasan)
( وَفَدَ ) أَيْ قَدِمَ. ( اِسْتَقْطَعَهُ ) أَيْ سَأَلَهُ أَنْ يُقْطِعَ إِيَّاهُ. ( الْمِلْحَ ) أَيْ مَعْدِنَ الْمِلْحِ. ( فَقَطَعَ لَهُ ) لِظَنِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْرِجَ مِنْهُ الْمِلْحَ بِعَمَلٍ وَكَدٍّ. ( فَلَمَّا أَنْ وَلَّى ) أَيْ أَدْبَرَ. ( قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ ) هُوَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ عَلَى مَا ذَكَرَهُ الطِّيبِيُّ ، وَقِيلَ إِنَّهُ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ. ( الْمَاءَ الْعِدَّ ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ وَتَشْدِيدِ الدَّالِ الْمُهْمَلَةِ ، أَيْ الدَّائِمُ الَّذِي لَا يَنْقَطِعُ وَالْعِدُّ الْمُهَيَّأُ. تحفة الأحوذي (4/ 9)
( الْمَاء الْعِدّ ): بِكَسْرِ الْعَيْن وَتَشْدِيد الدَّال الْمُهْمَلَتَيْنِ أَيْ الدَّائِم الَّذِي لَا يَنْقَطِع . قَالَ فِي الْقَامُوس : الْمَاء الَّذِي لَهُ مَادَّة لَا تَنْقَطِع كَمَاءِ الْعَيْن . وَالْمَقْصُود أَنَّ الْمِلْح الَّذِي قُطِعَتْ لَهُ هُوَ كَالْمَاءِ الْعِدّ فِي حُصُوله مِنْ غَيْر عَمَل وَكَدّ. ( فَانْتَزَعَ ): أَيْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْمِلْح. ( مِنْهُ ): أَيْ مِنْ أَبْيَض .قَالَ الْقَارِي : وَمِنْ ذَلِكَ عُلِمَ أَنَّ إِقْطَاع الْمَعَادِن إِنَّمَا يَجُوز إِذَا كَانَتْ بَاطِنَة لَا يُنَال مِنْهَا شَيْء إِلَّا بِتَعَبٍ وَمُؤْنَة كَالْمِلْحِ وَالنِّفْط وَالْفَيْرُوزَج وَالْكِبْرِيت وَنَحْوهَا وَمَا كَانَتْ ظَاهِرَة يَحْصُل الْمَقْصُود مِنْهَا مِنْ غَيْر كَدّ وَصَنْعَة لَا يَجُوز إِقْطَاعهَا ، بَلْ النَّاس فِيهَا شُرَكَاء كَالْكَلَأِ وَمِيَاه الْأَوْدِيَة ، وَأَنَّ الْحَاكِم إِذَا حَكَمَ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ الْحَقّ فِي خِلَافه يُنْقَض حُكْمه وَيُرْجَع عَنْهُ اِنْتَهَى . عون المعبود (7/ 48)
Hadits ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Dan tidak boleh dimiliki oleh individu. (Abdul Qadim Zallum, al-Amwal, hlm. 54-56).
Karena dalam hadits tersebut beliau shalallahu 'alaihi wa sallam yang menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah, maka tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu, dan merupakan milik kaum muslimin.
Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja –seperti dalam hadits diatas- tapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut , yakni “layaknya air yang mengalir”, maka semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir” –depositnya melimpah- tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).
قال الامام ابن قدامة المقدسي: وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ ، كَالْقَارِ ، وَالنِّفْطِ ، وَالْمَاءِ ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا ، لَا يَمْلِكُهَا.... (المغني - (ج 12 / ص 131)
Imam Ibn Qudamah berkata: adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua riwayat dan yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 12/131)
Konsep Kepemilikan
أَلْمِلْكِيَّةُ إصْطِلاَحًا : إِتِّصَالٌ شَرْعِيٌّ بَيْنَ اْلإِنْسَانِ وَبَيْنَ شَيْءٍ يَكُوْنُ مُطْلَقًا لِتَصَرُّفِهِ فِيْهِ وَحَاجِزًا مِنْ تَصَرُّفِ غَيْرِهِ فِيْهِ
“Kepemilikan menurut istilah : hubungan syariah antara manusia dengan sesuatu (harta) yang memberikan hak mutlak kepada orang itu untuk melakukan pemanfaatan (tasharruf) atas sesuatu itu dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya .”(Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 352).
Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam:
(1) kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah);
(2) Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘aammah);
(3) Kepemilikan negara (milkiyyah al-daulah).
(Taqiyuddin al-Nabhani, al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 69-70; M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 54).
Pengertian Kepemilikan Umum:
الملكية العامة هي إذن الشارع للجماعة بالإشتراك في الإنتفاع بالعين
Kepemilikan umum adalah izin dari al-syari’ bagi komunitas (jama’ah) secara bersama-sama untuk memanfaatkan benda. (M. Husain abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 55).
Tiga Macam Kepemilikan Umum:
(1) Apa-apa yang menjadi hajat hidup orang banyak (ma huwa min marafiq al-jama’ah). Contoh: air, padang rumput, api, dll. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga benda; air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud);
(2) Benda-benda yang dari segi bentuknya tidak membolehkan individu untuk menguasainya. Contoh: jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dulu datang.” (HR. Ibnu Majah);
(3) Tambang dengan depositnya besar. Contoh: tambang emas dan tembaga yang melimpah, dll. Hadits Abyadh bin Hammal ra : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menarik kembali pemberian tambang garam karena produksinya besar. (HR. Tirmidzi). (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 56).
Kesimpulan
Minyak dan gas termasuk kepemilikan umum (al-milkiyyah al-’amah) karena termasuk barang yang dibutuhkan jama’ah (marafiq al-jama’ah). Demikian juga dengan barang tambang yang depositnya melimpah (besar) adalah termasuk kepemilikan umum (umat).
Syariat melarang individu memiliki dan menguasai (privatisasi) minyak dan gas, serta tambang (yang depositnya besar) yang merupakan kepemilikan umum.
Problem minyak, gas, dan tambang hari ini bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah filosofis, ideologis, yuridis dan politis. Dan Islam menjawab atas semua masalah tersebut.
Wallahu a’lam. []
Kairo, 3 September 2022
Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna, M.E., M.Ag.
Peneliti Raudhah Tsaqofiyyah