TintaSiyasi.id -- Merespons pembunuhan terhadap pemimpin gerakan Hamas Ismail Haniyah di Teheran Iran, Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana, SIP, M.Si., mengatakan, pasti ada kerjasama antar intelijen yang memang satu kepentingan, dan selama ini men-support Zionis Israel.
"Pasti ada kerjasama antar intelijen yang memang satu kepentingan, bisa mosat, bisa CIA dan lain sebagainya yang intelijen yang memang selama ini memang support Zionis Israel gitu," ungkapnya dalam acara Membaca Konstelasi Gaza Pasca Ismail Haniya Syahid, di kanal YouTube Peradaban Islam Id, Sabtu (3/8/2024).
Termasuk juga ungkap Budi, bagaimana kerjasama itu dibangun dengan intelijen-intelijen terkait dengan intelijen korup dari negara-negara yang menjadi sasaran. Hal itu bisa dilihat dari indikasi keakuratan data yang didapatkan sehingga eksekusi pembunuhan itu dilakukan dengan sempurna. Tinggal nantinya dilakukan analisis dari kasus yang sebelumnya sudah terjadi. Respon Iran misalkan, kemudian sikap internal Iran terhadap intelijen mereka atau militer ganda revolusi mereka terhadap beberapa kasus yang menunjukkan seolah-olah Iran itu kebobolan.
"Kematian Jenderal Sulaiman kemudian juga kemarin serangan di Israel, di Beirut dan seterusnya. Dua hal tadi responnya kok tidak sepadan ya!. Kalau dalam misi perang, harusnya ada aksi ada reaksinya, aksi sudah dilakukan oleh Zionis Israel, reaksi Irannya tidak sepadan ya. Kalau dibunuh kan mungkin harusnya ada serangan balik dan seterusnya atau di sisi lain juga Iran mengukur bagaimana bisa memberikan respon yang tepat gitu. Karena yang dihadapi tidak semata Israel karena itu pasti akan kalau eskalasi meningkat itu akan meningkatkan juga arena, peperangannya gitu," paparnya.
Ia mengatakan, jika membaca analisis intelejen ada banyak faktor terkait pembunuhan Ismail Haniyah. "Pertama dalam konteks misalkan, kok bisa tamu VVIP bisa jadi sasaran tembak dengan mudah dan akurat? Saya baca beberapa analisis juga, kehadiran beliau ke Teheran hanya tiga hari dengan jadwal pertemuan yang ketat. Berarti kan mengetahui posisi letak dan seterusnya butuh kecermatan intellijen. Karena tugas utama intelijen itu kan mengumpulkan data, nanti bagaimana eksekutornya dia mengeksekusi berdasarkan data itu, kalau datanya tidak akurat tentu tidak, dan faktanya eksekusi itu terjadi berarti datanya ini lengkap dan ukurat," paparnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwasanya misi intelijen itu tidak selalu dipersepsikan sifatnya tertutup. Bisa saja terjadi kerja sama antar intelegen, apalagi dalam konteks konstelasi internasional. Dalam hal ini senantiasa dibuka ruang kerjasama antara intelijen.
"Saya selalu memegang prinsip bahwa negara adidaya itu pasti akan mempertahankan status quo. Dia yang akan menghindari situasi yang labil, situasi yang mengganggu stabilitas. Ketika kondisi saat ini dengan keleluasaan Zionis melakukan penindasan di Palestina dan respon minim dari negeri-negeri Muslim itu ada suatu hal yang aman bagi kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah. Itu yang akan dijaga," urainya
Makanya tindakan-tindakan yang meningkatkan eskalasi ini justru dalam pandangan Budi, bahwa itu harusnya dicegah oleh Amerika Serikat. Tetapi bahwa kemudian Israel punya kepentingan-kepentingan tertentu dalam konteks hubungannya dengan Palestina, membidik sasaran karena pada dasarnya dalam pandanhan Istael keamanan di Palestina atau Timur tengah itu kuncinya itu adalah membumihanguskan atau memberantas habis gerakan Hamas. Jadi tujuan utama Israel adalah bagaimana menghabisi Hamas dari pucuk sampai akarnya.
Kepentingan AS
Budi menjelaskan Amerika Serikat itu punya kepentingan untuk menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah. Makanya kemudian nanti dilihat respon Iran terhadap pembunuhan Ismail Haniyah di ibukotanya. Pembunuhan itu sudah diduga kuat adalah serangan dari pesawat tempur Israel bukan bom yang ditempel tetapi. Hal itu juga menentukan apakah Iran akan meningkatkan eskalasi atau juga Iran masih bisa menjaga kepentingan Amerika Serikat di kawasan agar konflik ini tidak makin meluas.
"Semestinya kalau dalam konflik itu Iran harusnya memberikan respon yang sepadan, dan memang diatur dalam normatif hukum internasional. Menjadi suatu hal yang wajar, suatu negara itu memberikan tindakan yang represial, sepadan dengan apa yang di alami," ujarnya.
Sudah ada intersepsi walaupun disebutkan bahwa pesawatnya itu di luar wilayah kedaulatan terbang Iran tetapi yang pasti adalah rudalnya itu masuk dari wilayah Iran. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, dia harus memberikan respon. Baik respon yang sederhana kecaman, nota protes, kalau ada hubungan diplomatik memutus hubungan diplomatik. ataupun memanggil duta besarnya.
"Yang pasti itu pelanggaran kedaulatan negara. Bahkan dia mau meresponnya sekeras apa, kita bisa berkaca kepada apa yang sudah dilakukan peristiwa sebelumnya. Saya menduga tidak akan sampai kepada serangan besar-besaran memicu perang yang luas yang memicu perang Iran dan Israel. Saya pikir terlalu berlebihan ke arah sana, atau mungkin itu sih yang diharapkan oleh umat Islam karena sebagai negaralah, coba menyerang Israel. Memang akhirnya kita bisa tarik ke sana kemari ya analisis. Masalahnya, Iran terpancing enggak, untuk menyerang Israel dengan besar-besaran? Sya melihatnya seperti tadi ya pasti Iran akan menghitung sedemikian panjang untuk bisa melakukan serangan," paparnya.
Apalagi, lanjut Budi, konsolidasi internal Iran masih belum stabil. Presiden baru dilantik dan juga ada perpecahan di garda revolusi Iran dan seterusnya. Artinya Iran sendiri masih punya banyak PR untuk mengkonsolidasi diri sebelum kemudian dia berpikir untuk merespon hal-hal yang sifatnya eksternal politik luar negeri,
"Walaupun mungkin ada ruang kalaupun mau melakukan pembalasan, pasti AS akan memberikan koridor, respon yang masih dianggap wajar gitu ya mungkin serangan-serangan yang tidak membahayakan," pungkasnya. [] Alfia Purwanti