Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Parpol Hipokrit Jelang Pilkada: Quo Vadis Idealisme Negeri Merdeka

Kamis, 15 Agustus 2024 | 11:03 WIB Last Updated 2024-08-15T04:03:44Z

TintaSiyasi.id -- Sudah tampak betapa hipokrit dan pragmatis partai politik (parpol) menjelang pilkada, bukan soal idealisme lagi, tetapi asas kapitalisme mendominasi supaya menang dalam mengundi nasib di pilkada ke depan. Mereka beramai-ramai mencari, mengusung, dan berkoalisi demi kemenangan di pilkada ke depan. Bakal paslon Bobby Nasution-Surya di Pilgub Sumut (Pilgubsu) 2024 didukung PKS. Tidak hanya PKS, ada Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, dan PKB. Dukungan terhadap Bobby mengalir deras seolah-olah para parpol sedang melanjutkan dinasti politik yang telah terbangun. 

Meskipun hal itu ditepis dengan alasan demi kemajuan bangsa dan sebagainya. Namun, publik tetap menyimpulkan demikian. Dalam pemilu hingga pilkada tampaknya gurita dinasti pun ikut dipertahankan supaya kepentingan segelintir orang dapat diakomodasi dengan mudah. Begitu pun dengan suasana pilkada Jakarta yang penuh dengan intrik untuk memenangkan suara.

Bertahun-tahun rakyat disuguhi eker-ekeran rebutan jabatan dalam panggung demokrasi. Namun, faktanya tong kosong nyaring bunyinya, tidak ada kebaikan dan kesejahteraan yang rakyat dapatkan. Makin hari hidup makin susah, harga kebutuhan pokok mahal, BBM berpotensi naik, pajak naik, dan sebagainya. Lalu di mana suara-suara mereka yang mengatakan ada dan hadir untuk menyejahterakan rakyat?

Menyoal Hiprokisi dan Pragmatis Parpol dalam Demokrasi

Hipokrisi dan pragmatis parpol dalam demokrasi adalah sebuah keniscayaan, karena demokrasi adalah biang keladi lahirnya parpol yang hipokrit daj pragmatis. Ketika pilpres seolah-olah menolak politik dinasti, setelah pilpres dan menuju pilkada justru mendukung dinasti politik. Ketika pilpres seolah-olah yang melahirkan dinasti politik, ketika pilkada berbalik arah berada di kubu lain yang berseberangan dengan dinasti. 

Itu pun mereka masih berdalih demi rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Lalu rakyat yang mana yang mereka maksud? Justru kutu loncat yang loncat sana, loncat sini, demi meraih tamuk kekuasaan menunjukkan betapa sekuler parpol hari ini. Kepentingan rakyat tidak dipikirkan tetapi kemenangan kelompoknya yang diutamakan, sehingga rela menjilat ludah sendiri dan bersikap tidak punya pendirian. 

Demokrasi lahir dari sistem kapitalisme sekuler, sehingga kualitas parpol yang dilahirkan tidak jauh dari sikap sekuler yang hanya mengejar keuntungan sesaat. Pragmatis dalam bersikap dan tidak bisa dipegang perkataannya. Ini bukan fenomena politik, tetapi inilah wajah asli parpol sekuler. Tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Tidak ada kezaliman dan keadilan, yang ada adalah mengejar kekuasaan demi mendapatkan keuntungan semata. 

Bayangkan, mereka sudah tidak peduli dengan rakyat, dulu tampaknya memusuhi dinasti oligarki dan pro kepada rakyat. Beberapa hari kemudian, justru mendukung oligarki dinasti dan meninggalkan rakyat. Semua dilakukan demi meraih kekuasaan. Oleh karena itu, omong kosong mereka ada untuk rakyat, mereka hanya berkoalisi demi kemenangan kelompoknya. Setelah menang mereka tidak akan lepas dari cengkeraman dinasti oligarki. Boro-boro berjuang, berani kritik sedikit saja akan ditendang dari koalisi, bahkan direshuffle dari kursi empuk yang mereka dapatkan. 

Inilah tipu daya demokrasi yang telah memporak-porandakan idealisme parpol. Mereka tak lebih dipecundangi oleh dinasti oligarki. Semua yang ingin langgeng kekuasaannya harus sendiko dawuh kepada penguasa. Berani melawan sedikit saja, kartu truf akan dibongkar untuk mengkriminalisasi kasus-kasus korupsi yang dilakukan. Padahal, korupsi pasti terjadi dalam sistem demokrasi, semua berpotensi korupsi dan inilah yang dijadikan untuk menyandra parpol yang ada dalam sistem demokrasi hari ini.

Dampak Hipokrisi Parpol Jelang Pilkada terhadap Aspek Politik, Ekonomi, dan Sosial

Sikap hipokrit dan pragmatis yang tampak mewarnai parpol yang ada di dalam sistem demokrasi tentunya memiliki dampak serius terhadap aspek politik, ekonomi, dan sosial. Pertama, dampak politik. Sikap tersebut akan melanggengkan kepentingan segelintir orang pengendali kekuasaan. Mereka yang berani bersikap kritis dan menentang bangunan kezaliman harus siap dipersekusi, dikriminalisasi, bahkan dibubarkan kelompoknya. Sebagaimana HTI yang dicabut BHP dan FPI yang disetop SKT-nya. Pembungkaman sistematis dalam ruang demokrasi itu nyata, bahkan memiliki landasan hukum yang mampu memenjarakan siapa pun yang tidak disukai kelompok penguasa. 

Tentunya itu juga mengancam terhadap keberlanjutan parpol, jika mereka berani menjadi oposisi yang kritis, mereka harus siap menghadapi tekanan rezim, bahkan intimidasi dan dikeluarkan dalam bursa bagi-bagi kue kekuasaan. Inilah yang menggadaikan idealisme parpol. Mereka tampak kerdil dan tidak berdaya di hadapan penguasa yang otoriter tapi seolah-olah demokratis.

Kedua, dampak ekonomi. Kondisi ekonomi akan makin dikendalikan oligarki, jika parpol tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya mereka menjadi garda terdepan yang membela rakyat dan mewujudkan kesejahteraan. Lagi-lagi, mereka terhalangi oleh kepentingan golongan agar tetap lenggang langgeng berkuasa. 

Kenyataannya hari ini, sumber daya alam makin dikendalikan korporasi asing; proyek-proyek strategis bergantung pada investasi asing; impor ugal-ugalan; ketergantungan ekonomi terhadap utang luar negeri; pajak naik; harga-harga kebutuhan pokok naik; pemenuhan listrik, BBM, dan lainnya tidak terlepas dari cengkraman kapitalis. Kapitalis atau korporasi mengendalikan pasar, negara hanya berfungsi sebagai regulator, bahkan penguasa tak segan-segan mencari dana dukungan kampanye kepada kapitalis, sehingga mereka mudah mendikte penguasa untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kapitalis dan menzalimi rakyatnya. 

Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme makin masif tidak terkendali. Seolah-olah jika maju pilkada membutuhkan banyak dukungan parpol dan kapitalis, setelah terpilih harus mau bagi-bagi kekuasaan agar semua mendapatkan upah atas upaya dalam pemenangannya. Karenanya, korupsi itu adalah suatu yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Dari kasus korupsi itulah penguasa melakukan sandra politik. Siapa-siapa yang tidak mendukung kebijakan penguasa harus siap dibongkar kasus korupsinya. 

Ketiga, dampak sosial. Lahirnya berbagai kebijakan yang menzalimi rakyat dan menguntungkan kapitalis. Hal itu berdampak dalam menciptakan kemiskinan secara struktural, kerusakan moral secara masif, dan kejahatan secara sistematis. Keempat, hukum tumpul kepada koalisi dan tajam kepada oposisi. Hukum hanya menjadi sebatas teori yang pada faktanya bersujud pada uang. Sulitnya mengungkap kejahatan dan mengadilinya, apalagi kejahatan yang dilakukan para kapitalis pemilik modal yang besar atau penguasa yang di-backing oligarki. 

Inilah yang terjadi, kejahatan sistematis yang diciptakan demokrasi. Tidak ada parpol Islam dalam sistem demokrasi yang akan mengakomodasi suara Islam, yang ada hanyalah parpol sekuler yang memiliki banyak topeng untuk meraih simpati rakyat. Di sinilah ujian umat Islam untuk membentuk kelompok dakwah Islam yang benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar. Tidak mudah dibeli idealismenya dan tidak mudah menanggalkan keislamannya. Tidak usah takut jikalau sampai dipersekusi, dikriminalisasi, bahkan dibubarkan ormasnya, karena apa pun kondisinya dakwah harus terus berjalan. Tidak boleh berhenti karena kejamnya rezim zalim.

Strategi Islam dalam Melahirkan Parpol Islam Ideologis

Dalam surah Al-Imran ayat 104 telah menyeru supaya ada kelompok yang melakukan dakwah Islam. "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (TQS. Al-Imran: 104).

Dalam ayat di atas adalah sebuah kewajiban kepada umat Islam untuk membentuk kelompok yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Hari ini, kezaliman begitu sistematis, tidak mungkin dihadapi sendirian tanpa berkelompok dalam mewujudkan perubahan. Oleh karena itu, adanya kelompok/jemaah/partai politik Islam adalah sesuatu yang harus diupayakan kaum muslim hari ini. Berikut strategi Islam dalam membentuk parpol Islam ideologis. 

Pertama, memiliki fikrah (pemikiran) ideologi Islam. Fikrah ideologi Islam adalah pemikiran Islam secara menyeluruh yang memandang apa pun masalahnya dengan asas akidah Islam dan menyelesaikan berbagai masalah dengan cara Islam. Tidak bisa seseorang ingin membuat parpol Islam hanya memandang Islam sebagai pengatur ibadah ritual tanpa mengindahkan syariat lainnya atau hanya mengambil syariat Islam yang baginya menguntungkan, tetapi mengabaikan syariat lainnya yang dianggap tidak menguntungkan hawa nafsunya.

Banyak kelompok Islam yang memiliki girah Islam dan ingin Islam berjaya dan mewujud dalam kehidupan tetapi disuruh memperjuangkan syariat Islam secara keseluruhan tidak mau. Misalnya, ketika bersinggungan dengan riba, mencari-cari alasan agar tetap bisa utang di bank untuk bisa memiliki rumah atau kendaraan. Ketika di dalam Islam ada hukum hudud, yang zina dirajam atau dicambuk, yang mencuri dipotong tangannya, berteriak tidak sesuai dengan HAM, padahal yang mengucapkan seorang muslim. 

Belum lagi ketika disodorkan sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah Islamiah, tidak segan-segan mencap radikal dan menganggap demokrasi sudah final yang telah menjadi kesepakatan founding father. Apa-apaan ini? Bagaimana kelompok Islam bisa mewujudkan visi Islamnya, jika prasmanan mengambil Islam. Terlebih mereka malah menolak dan tidak mau memperjuangkan penerapan Islam secara totalitas. Di sini penting memandang Islam secara mabdai (ideologis), supaya tidak tersesat dengan paham-paham yang berasal dari ideologi kufur. 

Kedua, berkiblat kepada thariqah (metode) Rasulallah saw. yakni menerapkan fikrah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah. Tidak mungkin syariat IsIam tegak di bawah panji demokrasi, justru demokrasi kapitalisme telah memusuhi Islam dan ingin Islam musnah dari muka bumi. Sudah terbukti di berbagai negara demokrasi, Islam ditindas atas nama kebebasan, umat Islam dijajah dengan dalih perdamaian, padahal mereka yang telah berbuat onar di muka bumi.

Ketiga, ikatan yang mengikat anggota parpol adalah ikatan yang berdasarkan akidah Islam, bukan kepentingan golongan atau kepentingan sepihak. Tujuan mereka berkelompok untuk eksistensi dakwah Islam bukan eksistensi personal atau golongan. Apabila mereka berada dalam jemaah dakwah mencari kesenangan dunia atau manfaat, niscaya mereka akan mudah sekali dipecah belah ketika manfaat tidak didapatkan. 

Keempat, memiliki keikhlasan dan kesabaran. Sebagai anggota parpol Islam harus ikhlas hanya ingin mendapatkan keridaan Allah taala. Tidak bermaksud mencari kepentingan duniawi; tidak hanya karena eksistensi diri; tidak hanya mengejar keridaan manusia, tetapi benar-benar ikhlas karena Allah taala dan mengharapkan balasan dari-Nya saja.

Dalam menjalankan dakwah sebagai parpol ideologis, mereka berlaku makruf dan tidak menggunakan kekerasan. Mereka melakukan edukasi islamisasi secara berkelompok di tengah-tengah umat. Sehingga umat sadar akan esensi kehidupan berdasarkan Islam dan bersama-sama berupaya untuk mengembalikan kehidupan Islam.

Alangkah banyaknya umat yang tidak memiliki kesadaran politik Islam, mereka merasa aman hidup di tengah sistem yang bertentangan dengan Islam. Di sinilah PR besar parpol Islam untuk membangun kesadaran politik Islam, yakni mereka sadar harus terikat dan diatur oleh syariat Islam secara utuh, tidak setengah-setengah dalam berislam. Kesadaran politik Islam inilah yang akan memicu umat untuk mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah. Ketika khilafah telah tegak, semua syariat Islam dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Aamiin ya Rabb. []

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Tipu daya demokrasi telah memporak-porandakan idealisme parpol. Mereka tak lebih dipecundangi oleh dinasti oligarki. Semua yang ingin langgeng kekuasaannya harus sendiko dawuh kepada penguasa. Berani melawan sedikit saja, kartu truf akan dibongkar untuk mengkriminalisasi kasus-kasus korupsi yang dilakukan. Padahal, korupsi pasti terjadi dalam sistem demokrasi, semua berpotensi korupsi dan inilah yang dijadikan untuk menyandra parpol yang ada dalam sistem demokrasi hari ini.

2. Kejahatan sistematis yang diciptakan demokrasi. Tidak ada parpol Islam dalam sistem demokrasi yang akan mengakomodasi suara Islam, yang ada hanyalah parpol sekuler yang memiliki banyak topeng untuk meraih simpati rakyat. Di sinilah ujian umat Islam untuk membentuk kelompok dakwah Islam yang benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar. Tidak mudah dibeli idealismenya dan tidak mudah menanggalkan keislamannya. Tidak usah takut jikalau sampai dipersekusi, dikriminalisasi, bahkan dibubarkan ormasnya, karena apa pun kondisinya dakwah harus terus berjalan. Tidak boleh berhenti karena kejamnya rezim zalim.

3. Alangkah banyaknya umat yang tidak memiliki kesadaran politik Islam, mereka merasa aman hidup di tengah sistem yang bertentangan dengan Islam. Di sinilah PR besar parpol Islam untuk membangun kesadaran politik Islam, yakni mereka sadar harus terikat dan diatur oleh syariat Islam secara utuh, tidak setengah-setengah dalam berislam. Kesadaran politik Islam inilah yang akan memicu umat untuk mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah. Ketika khilafah telah tegak, semua syariat Islam dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan. []


Oleh. Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute 

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO. Rabu, 14 Agustus 2024. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

Opini

×
Berita Terbaru Update