Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Nyantol Listrik Tanpa Bayar, Bolehkah?

Selasa, 13 Agustus 2024 | 10:41 WIB Last Updated 2024-08-13T03:41:19Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjawab pertanyaan dari Hamba Allah yang berdomisili di Bandung tentang hukumnya nyantol (mencantolkan), yakni menyambung listrik tanpa membayar, dengan dalih bahwa ada yang membolehkannya dengan alasan listrik adalah milik umum (milkiyyah ‘āmmah) pada hari Senin (12/08/2024).

 

Kiai Shiddiq yang sedang berada di Bandung merilis kepada TintaSiyasi.ID, “Subhānallah, tidak benar pendapat yang membolehkan menyambung langsung listrik tanpa membayar, dengan hujah listrik adalah milik umum (milkiyyah ‘āmmah).”

 

“Mengapa? Karena cara distribusi milik umum, tidak selalu berupa distribusi secara gratis untuk semua barang milik umum,” imbuhnya.

 

“Jadi, ada benda milik umum yang dapat diperoleh secara gratis, ada yang diperoleh dengan membeli dengan harga produksi atau harga pasar, ada yang diperoleh dengan cara-cara lain, misalnya diberikan dalam bentuk uang sebagai hasil pengelolaan milik umum,” bebernya.

 

Ia menyitat pendapat Syekh ‘Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, yang telah merinci cara distribusi milik umum tersebut sebagai berikut, ”Pertama, benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, misalnya jalan umum, sungai, danau, laut, dsb. Untuk milik umum kategori pertama ini, setiap individu rakyat berhak memanfaatkannya, misalnya memanfaatkan jalan umum untuk berkendara, atau memanfaatkan sungai, danau atau laut untuk mencari ikan. Namun syaratnya tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang lain, misalnya berkendara di jalan umum dengan ugal-ugalan, atau mencari ikan dengan cara meracun air sungai yang dapat mematikan semua ikan.”

 

Kedua, benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, yang memerlukan usaha dan dana yang tidak sedikit, misalnya tambang migas dan batubara, dan berbagai pembangkit listrik milik umum. Untuk milik umum kategori kedua ini, negaralah yang akan mengelolanya secara langsung sebagai wakil dari umat Islam. Khalifahlah sebagai kepala negara Khilafah, yang akan melakukan distribusi (al-tawzī’) terhadap produk akhir (al-muntajāt) dari milik umum ini, misalnya aliran listrik dari berbagai pembangkit listrik milik umum, atau terhadap pendapatan (al-wāridāt) dari hasil pengelolaan milik umum, sesuai syariah Islam, sbb:    

(1)  Khalifah mengeluarkan infak kepada Diwān Milkiyyah ‘Āmmah (Kantor Milik Umum), dan berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan milik umum. Misalnya infaq kepada para ahli dan pekerja dalam pengelolaan milik umum, atau infaq untuk membeli alat-alat yang terkait milik umum, misalnya alat-alat untuk penambangan.

(2) Khalifah melakukan distribusi (al-tawzī’) kepada individu rakyat, yang merupakan pemilik sebenarnya dari milik umum. Di sini Khalifah tidak terikat dengan cara tertentu, jadi boleh Khalifah membagikan dalam bentuk bendanya (‘ain), misalnya BBM, sebagai produk akhir (al-muntajāt) dari pengelolaan tambang minyak, atau membagikan aliran listrik sebagai produk akhir dari pengelolaan pembangkit listrik milik umum. Dalam hal ini Khalifah boleh membagikan BBM/listrik secara gratis, boleh juga menjual dengan harga sesuai biaya produksi, atau menjual sesuai dengan harga pasar, dan boleh juga membagikan dalam bentuk uang sebagai hasil pengelolaannya.

(3) Khalifah melakukan hima, yaitu kebijakan Khalifah terhadap pengelolaan milik umum tertentu untuk keperluan tertentu, misalnya mengkhususkan hasil dari tambang emas di lokasi tertentu hanya untuk keperluan militer, seperti pembelian alutsista, bukan untuk keperluan yang lain. (‘Abdul Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, hlm. 72-76).

 

“Kesimpulannya, tidak benar pendapat yang membolehkan menyambung langsung listrik tanpa membayar, dengan hujah bahwa listrik adalah milik umum. Dalam hal ketika penguasa saat ini menjual aliran listrik, bukan menggratiskannya, kita terikat dengan kebijakan tersebut, sesuai sabda Nabi saw.:

 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلًا أَوَ أَحَلَّ حَرَامًا

 

Kaum Muslim (bermuamalah) menurut syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (H.R. Tirmidzi, no. 1352, hadis shahih). Wallāhu a’lam," tuturnya menyimpulkan.[] Rere

 

Opini

×
Berita Terbaru Update