Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjawab pertanyaan dari Hamba Allah yang berdomisili di Bandung tentang hukumnya nyantol (mencantolkan), yakni menyambung listrik tanpa membayar, dengan dalih bahwa ada yang membolehkannya dengan alasan listrik adalah milik umum (milkiyyah ‘āmmah) pada hari Senin (12/08/2024).
Kiai Shiddiq
yang sedang berada di Bandung merilis kepada TintaSiyasi.ID, “Subhānallah,
tidak benar pendapat yang membolehkan menyambung langsung listrik tanpa
membayar, dengan hujah listrik adalah milik umum (milkiyyah ‘āmmah).”
“Mengapa?
Karena cara distribusi milik umum, tidak selalu berupa distribusi secara gratis
untuk semua barang milik umum,” imbuhnya.
“Jadi, ada benda
milik umum yang dapat diperoleh secara gratis, ada yang diperoleh dengan membeli
dengan harga produksi atau harga pasar, ada yang diperoleh dengan cara-cara lain,
misalnya diberikan dalam bentuk uang sebagai hasil pengelolaan milik umum,”
bebernya.
Ia menyitat pendapat
Syekh ‘Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, yang
telah merinci cara distribusi milik umum tersebut sebagai berikut, ”Pertama,
benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, misalnya jalan
umum, sungai, danau, laut, dsb. Untuk milik umum kategori pertama ini, setiap individu
rakyat berhak memanfaatkannya, misalnya memanfaatkan jalan umum untuk
berkendara, atau memanfaatkan sungai, danau atau laut untuk mencari ikan. Namun
syaratnya tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang lain,
misalnya berkendara di jalan umum dengan ugal-ugalan, atau mencari ikan dengan
cara meracun air sungai yang dapat mematikan semua ikan.”
Kedua, benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara
langsung, yang memerlukan usaha dan dana yang tidak sedikit, misalnya tambang
migas dan batubara, dan berbagai pembangkit listrik milik umum. Untuk milik
umum kategori kedua ini, negaralah yang akan mengelolanya secara langsung
sebagai wakil dari umat Islam. Khalifahlah sebagai kepala negara Khilafah, yang
akan melakukan distribusi (al-tawzī’) terhadap produk akhir (al-muntajāt)
dari milik umum ini, misalnya aliran listrik dari berbagai pembangkit listrik
milik umum, atau terhadap pendapatan (al-wāridāt) dari hasil pengelolaan
milik umum, sesuai syariah Islam, sbb:
(1) Khalifah mengeluarkan infak kepada Diwān Milkiyyah ‘Āmmah
(Kantor Milik Umum), dan berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan milik
umum. Misalnya infaq kepada para ahli dan pekerja dalam pengelolaan milik umum,
atau infaq untuk membeli alat-alat yang terkait milik umum, misalnya alat-alat
untuk penambangan.
(2) Khalifah melakukan distribusi (al-tawzī’) kepada
individu rakyat, yang merupakan pemilik sebenarnya dari milik umum. Di sini
Khalifah tidak terikat dengan cara tertentu, jadi boleh Khalifah membagikan
dalam bentuk bendanya (‘ain), misalnya BBM, sebagai produk akhir (al-muntajāt)
dari pengelolaan tambang minyak, atau membagikan aliran listrik sebagai produk
akhir dari pengelolaan pembangkit listrik milik umum. Dalam hal ini Khalifah
boleh membagikan BBM/listrik secara gratis, boleh juga menjual dengan harga
sesuai biaya produksi, atau menjual sesuai dengan harga pasar, dan boleh juga
membagikan dalam bentuk uang sebagai hasil pengelolaannya.
(3) Khalifah melakukan hima, yaitu kebijakan Khalifah
terhadap pengelolaan milik umum tertentu untuk keperluan tertentu, misalnya
mengkhususkan hasil dari tambang emas di lokasi tertentu hanya untuk keperluan
militer, seperti pembelian alutsista, bukan untuk keperluan yang lain. (‘Abdul
Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, hlm. 72-76).
“Kesimpulannya,
tidak benar pendapat yang membolehkan menyambung langsung listrik tanpa
membayar, dengan hujah bahwa listrik adalah milik umum. Dalam hal ketika
penguasa saat ini menjual aliran listrik, bukan menggratiskannya, kita terikat
dengan kebijakan tersebut, sesuai sabda Nabi saw.:
وَالْمُسْلِمُوْنَ
عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلًا أَوَ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum Muslim
(bermuamalah) menurut syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (H.R. Tirmidzi, no. 1352, hadis shahih). Wallāhu a’lam," tuturnya menyimpulkan.[]
Rere