TintaSiyasi.com -- Menanggapi kebijakan pemerintah menerapkan asuransi wajib pihak ketiga atau asuransi third party liability (TPL) untuk semua kendaraan bermotor mulai Januari 2025 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai hal itu menunjukkan negara pemalak (daulah jibayah).
"Inilah yang kita sebut negara pemalak atau daulah jibayah itu. Bukan daulah ri'ayah, daulah pengatur, pelayan," tuturnya di kanal YouTube UIY Official: Asuransi Kendaraan Wajib, Lagi Rakyat Dipalak!, Selasa, 30 Juli 2024.
Aturan wajib asuransi ini menurut UIY menunjukkan para wakil rakyat telah sekian kali melahirkan undang-undang yang membebani rakyat. Karena belum lama ini mencuat tentang rencana pungutan Tapera, sebelumnya pun rakyat sudah dibebani dengan iuran BPJS. Padahal, di sisi lain sebenarnya negara harusnya memiliki sumber pemasukan yang besar.
"Ini kan pertanyaan besar. Sementara di sisi lain, di saat yang kurang lebih sama, sumber-sumber keuangan negara yang itu notabene milik rakyat, itu justru dilepas kepada korporasi," ungkapnya.
Pelepasan sumber-sumber ekonomi, seperti barang tambang kepada korporasi tersebut menurutnya menjadikan sumber keuangan non-pajak menjadi sempit. Daulah jibayah ini menurutnya karena bersandar pada paradigma teori ekonomi kapitalistik yang menjadikan pajak sebagai sumber utama penghasilan negara, terbukti sekitar 80 persen keuangan negara saat ini ditopang oleh pajak.
"Jadi ini muncul dari paradigma kapitalistik yang teori ekonominya itu mengatakan bahwa pemasukan dari negara itu melalui pajak," ujarnya.
Padahal, lanjutnya, pemasukan dari pajak tersebut sejatinya adalah uang receh. Ia mencontohkan dari sektor batu bara misalnya, jika 380 ribu hektare ladang batu bara betul-betul dikelola oleh negara maka Indonesia bisa mendapatkan potensi paling sedikit 13.000 triliun rupiah dengan asumsi harga batu bara 70 dolar per ton. Hanya saja ia melalui undang-undang Minerba tahun 2020 pemerintah justru memperpanjang pengelolaannya kepada 7 perusahaan (swasta) yang semula dengan UU Minerba tahun 2009 seharusnya dikembalikan kepada negara. Dalam hal ini, negara hanya memperoleh pendapatan dari pajaknya yang itu hanya sebagian kecil.
"Wakil rakyat tahu ini sumber keuangan luar biasa yang seharusnya menjadi milik rakyat dan memang milik rakyat yang harusnya diberikan kepada rakyat hasilnya, bukan kepada yang lain. Itu justru dilepas," ungkapnya.
Sementara di sisi lain, lanjutnya, pada saat yang sama untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara justru memungut pajak dari rakyat. Sementara untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara, melalui peraturan perundang-undangan juga, itu kemudian diberi fasilitas negara itu untuk memungut dari rakyat yang itu sebenarnya uang receh (bagi negara).
"Karena asuransi kendaraan motor, misalnya, berapa sih? Pasti kan kecil, enggak mungkin besar. Tetapi tetap membebani rakyat, tentunya," sesalnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, andai sumber-sumber ekonomi (misalnya tambang) dikelola oleh negara, akan menjadi pemasukan untuk negara tanpa harus membebani rakyat.
"Andai itu semua dikelola oleh negara, batu baranya oleh negara, nikelnya oleh negara, timahnya oleh negara, minyak dan gas buminya oleh negara, semua oleh negara, maka bisa ditunjukkan itu, tadi dari batu bara saja sudah 65 ribu triliun. Sementara (faktanya) produksi batu bara oleh BUMN itu hanya kurang lebih sekitar 5 persen. Kecil sekali," tutupnya.[] Saptaningtyas