TintaSiyasi.id -- Janji satu juta barel per hari produksi minyak nasional terus mengiang-ngiang di telinga publik nasional. Bayangkan ini didengang-dengungkan sebagai hasil akhir dari reformasi sektor migas, reformasi kelembagaan migas, reformasi birokrasi migas, reformasi Pertamina, terakhir holding sub holding migas, dan seterusnya yang konon katanya bagi usaha menuju kejayaan kembali migas dan kejayaan kembali Pertamina.
Wabil khusus janji 1 juta barel produksi minyak per hari diletakkan dibalik alasan belanja capex besar-besaran di Pertamina. Belanja besar-besaran mulai dari hulu migas, belanja besar-besaran untuk membangun kilang melalui RDMP, belanja besar-besaran kapal-kapal tanker untuk mengangkut minyak ke pasar dalam negeri dan ke pasar-pasar ekspor. Belanja dengan utang sangat besar yang dijamin pemerintah.
Ribuan sumur katanya telah digali oleh Pertamina, tetapi setetes produksi minyak tidak bertambah. Padahal Refinary Development Master Plan (RDMP) telah membuat kilang untuk menampung dan mengolah 1,1 juta barel minyak per hari, tetapi minyaknya tidak ada. Kapal-kapal tanker sudah dibeli dan disiapkan untuk ambisi ini, apakah mungkin perlu dialihkan untuk mengangkut minyak sawit?
Padahal, kebutuhannya 1 juta barel produksi minyak nasional per hari harusnya dihasilkan Pertamina sendiri, mengingat kapasitas kilang yang telah dibangun melebihi 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan nasional 1,5-1,6 juta barel per hari. Sisanya dari produksi swasta dapat diekspor untuk menyeimbangkan defisit perdagangan akibat impor migas saat ini yang sudah sangat besar.
Kilang-kilang yang telah dibangun tentu akan kurang nilainya jika hanya disedikan untuk menampung minyak impor. Sekarang ini demikian faktanya, kilang yang dibangun dengan hasil utang ternyata hanya untuk minyak impor. Diperlukan terobosan yang besar di hulu migas untuk mengatasi penurunan produksi yang bagaikan terjun bebas tanpa penahan. Situasi yang sangat buruk dalam satu dekade terakhir sebagai sebuah tontonan yang memilukan.
Sebagai gambaran produksi migas kita berdasarkan laporan paling kredibel sebesar 600 ribu barel per hari. Kebutuhan nasional sebesar 1,6 juta barel sehari, defisit neraca migas sangat lebar, alias neraca kita sobek, tanpa usaha yang berarti mengatasinya. Tahun, 2001 produksi migas nasional Indonesia mencapai 1,4 juta barel, setelah itu terjun ke jurang.
Demikian pula pendapatan negara dari migas terus merosot, walaupun subsidi migas terus meningkat dan makin tidak masuk di akal sehat. Tahun 2006 kontribusi sektor migas terhadap APBN mencapai 24,8 persen terhadap APBN. Namun, sekarang tinggal seupil, yakni 4,6 persen terhadap total penerimaan negara. Sektor migas malah menjadi parasit bagi APBN, membebani neraca transaksi berjalan dan membebani neraca pendapatan primer. Apakah Dirut satu juta barel akan menjadi harapan baru di pemerintahan baru? Semoga saja, mudah mudahan.
Oleh: Salamudding Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia