TintaSiyasi.id -- Nalarnya di mana? Ingin meningkatkan kesehatan reproduksi remaja serta mengatasi kasus kehamilan di luar nikah tapi dengan penyediaan alat kontrasepsi. Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Aturan yang diteken pada Jumat (26/7/2024) ini, dalam Pasal 103 ayat (1) berbunyi, "Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Lalu ayat (4)nya menyatakan, "Pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi" (inilah.com, 4/8/2024).
Sangat disayangkan. Jelang purna tugas pada bulan Oktober 2024, Presiden Jokowi justru menambah "dosa". Keluarnya PP 28/2024 tersebut patut diduga mengarah pada legalisasi seks bebas (zina) khususnya di kalangan usia sekolah; SD, SMP, dan SMA. Sekarang saja banyak remaja pacaran lalu berzina hingga hamil di luar nikah, apalagi akan difasilitasi dengan penyediaan alat kontrasepsi. Urgensinya di mana? Akankah penguasa justru merusak rakyatnya sendiri?
Penyediaan Alat Kontrasepsi demi Peningkatan Kesehatan Reproduksi Remaja: Kontraproduktif!
Dalam konferensi pers di Jakarta, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin berharap pemberlakuan PP 28/2024 akan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia secara signifikan. Menurutnya, tujuan utama PP adalah memberikan edukasi yang komprehensif mengenai kesehatan reproduksi, agar para remaja memiliki pemahaman yang baik mengenai tubuh mereka, konsekuensi dari perilaku seksual, dan pentingnya merencanakan keluarga di masa depan.
Menurut data Kementerian Kesehatan, angka kehamilan remaja di Indonesia masih cukup tinggi, dan ada kebutuhan mendesak untuk memberikan pendidikan serta akses terhadap alat kontrasepsi yang memadai. Sehingga kebijakan ini diharapkan dapat membantu menurunkan angka kehamilan remaja dan meningkatkan kesehatan reproduksi mereka.
Budi menyebut, penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan siswa bukan hanya tentang distribusi fisik alat tersebut, tetapi juga menyangkut edukasi dan pemahaman yang benar mengenai kesehatan reproduksi.Dengan memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi yang memadai, diharapkan para remaja dapat memahami pentingnya menjaga kesehatan alat reproduksi mereka dan konsekuensi dari perilaku seksual berisiko (nyaringindonesia.com, 4/8/2024).
Meski semangat penerbitan PP ini bermaksud baik demi meningkatkan kesehatan reproduksi remaja, namun beberapa pasal nyatanya bikin berbagai pihak gerah. Tersebab pasal-pasal tersebut membuka interpretasi liar bahwa pemerintah bermaksud memfasilitasi seks bebas alias hubungan seksual di luar pernikahan.
Beberapa pasal yang patut dikritisi yaitu; pertama, Pasal 103 ayat (1) berbunyi: "Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi."
Pasal tersebut nampak berfokus pada persoalan sistem reproduksi (baca: aspek seksual), dan sasarannya adalah: anak usia sekolah dan remaja (SD, SMP, SMA.) Jadi pasal ini bukan dikhususkan bagi pasutri dewasa yang sudah menikah.
Kedua, Pasal 103 ayat (2) berbunyi: "Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, menjaga kesehatan alat reproduksi, perilaku seksual berisiko dan akibatnya, keluarga berencana (KB), melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual, serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
Dari pasal itu, kita melihat pada anak usia sekolah dan remaja, sudah ada aturan mengenai perilaku seksual yang berisiko. Ini bisa dimaknai, berarti ada perilaku seksual yang tidak berisiko (safe sex), juga sudah diatur KB untuk kalangan usia sekolah dan remaja.
Ketiga, Pasal 103 ayat (5), "Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kewenangannya."
Konselor sebaya sebagaimana disebut dalam pasal di atas, patut dipertanyakan seperti apa yang sudah memiliki kompetensi untuk usia semuda itu? Apakah maksudnya teman seumuran tapi sudah berpengetahuan luas dan berpengalaman dalam praktik zina yang aman secara kesehatan?
Keempat, Pasal 107 ayat (2): "Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi."
Frasa “setiap orang” dalam pasal ini berarti mencakup anak-anak usia sekolah dan remaja. Jadi jika ada anak SD, SMP, atau SMA membeli kondom di apotek misalnya, atau minta layanan kontrasepsi ke klinik, misal mau pasang IUD (spiral), atau ada kasus kehamilan di luar nikah yang mau periksa di RS atau dokter, haruskah dilayani sesuai pasal ini?
Kelima, Pasal 103 ayat (4) berbunyi, "Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining, b. pengobatan, c. rehabilitasi, d. konseling, e. penyediaan alat kontrasepsi”.
Ini pasal yang paling disoroti publik karena dianggap paling berbahaya. Apa urgensi memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi usia sekolah dan remaja dengan penyediaan alat kontrasepsi? Apakah ketika anak/remaja itu "membutuhkannya" sebagai sarana seks bebas yang "aman", lantas akan difasilitasi dengan layanan tersebut?
Dengan demikian, bila kritisi di atas benar maka PP ini diduga justru sebagai bagian liberalisasi seksual. Meski tidak mengungkapkannya secara eksplisit, namun mengarah pada pembolehan zina yaitu legalisasi seks bebas di luar nikah bagi anak usia sekolah dan remaja.
PP ini juga hanya mementingkan seks aman (safe sex) secara medis, tidak memandang apakah itu seks halal ataukah seks haram di luar nikah menurut Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini.
Meskipun dalam Pasal 98 mengatur bahwa upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama, namun relevankah pernyataan ini dengan beberapa pasal yang telah kami kritisi di atas?
Bila PP ini tak segera direvisi, polemik mungkin akan berkelanjutan. Mestinya PP ini memberikan kejelasan secara tegas mana yang boleh dan tidak boleh dalam berinteraksi dengan lawan jenis berdasarkan nilai agama yang dianut di negeri ini. Bukan justru memuat pasal ambigu yang mengesankan membolehkan seks bebas asal aman bagi siswa dan remaja.
Dampak Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Siswa dan Remaja
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengecam keras terbitnya PP 28/2024 yang memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja. Menurutnya,
beleid tersebut tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama karena penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar (inilah.com, 4/8/2024).
Bila kebijakan ini diterapkan, maka potensi dampak penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja terhadap atmosfer kehidupan masyarakat religius antara lain;
Pertama, membuka peluang lebih besar bagi siswa dan remaja melakukan seks bebas. Penyediaan alat kontrasepsi menjadi fasilitas remaja melakukan safety sex. Terkesan "enggak apa-apa berhubungan seksual asal aman (pakai alat kontrasepsi)". Pun remaja merasa tidak berdosa karena penyediaan alat kontrasepsi telah legal diatur dalam PP.
Kedua, menurunkan semangat (kinerja) belajar dan aktivitas lainnya. Bila telah terjebak seks bebas, cenderung akan mengulanginya dan menjadi fantasi tersendiri. Akibatnya, remaja enggan untuk belajar, beribadah, dan aktivitas positif lainnya. Produktivitas sebagai anak muda menurun.
Ketiga, angka kehamilan tidak dikehendaki (KTD) di kalangan remaja meningkat. Padahal hari ini saja angka dispensasi nikah dini sangat tinggi. Penyebab utamanya remaja hamil duluan dengan pacarnya. Meski pun telah memakai kontrasepsi, kemungkinan hamil juga masih ada.
Keempat, kerusakan generasi meningkat. Bila seks bebas justru difasilitasi penyediaan alat kontrasepsinya melalui PP 28/2024, maka generasi bakal kian rusak. Padahal saat ini siswa (remaja) sudah dikepung oleh berbagai tindak kenakalan (kejahatan); tawuran, klithih, narkoba, miras, bullying. Lantas, mau ditambah dengan peningkatan seks bebas?
Kelima, masyarakat terancam mendapatkan azab Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani). Inilah kondisi yang paling mengerikan ketika Allah tidak ridha atas kemaksiatan yang merajalela.
Keenam, negara mengalami the lost generation. Generasi penerus bangsa "hilang" karena kondisi remaja lemah akibat kemaksiatan. Lantas bagaimana nasib negeri di masa depan bila generasi saat ini terjebak dalam gaul bebas dan aneka kemaksiatan?
Demikian dampak penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja. Bila dampak buruknya seperti itu, tentu berpengaruh terhadap atmosfer kehidupan masyarakat hingga menggerus aspek religius. Masyarakat tak nampak sisi takwa dan ibadahnya tapi dominasi kemaksiatannnya.
Strategi Pendidikan Seks dalam Masyarakat Religius
Islam sebagai agama paripurna sekaligus yang mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia, telah memberikan panduan terkait pendidikan seks (tarbiyah jinsiyah).
Tarbiyah jinsiyah menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan adalah upaya pengajaran, penyadaran, penerangan kepada anak, agar ia mengerti masalah terkait seks, naluri, dan perkawinan. Targetnya agar anak di usia dewasa; pertama, mengetahui hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan. Kedua, berperilaku islami. Ketiga, lebih peduli menjaga tubuhnya. Keempat, memenuhi naluri seksual dengan cara islami.
Dalam Islam, pendidikan seksual merupakan bagian tak terpisahkan dari perkara akidah, syariat, ibadah, dan akhlak. Mengajarkannya berbasis keimanan pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Aktivitas yang diajarkan bagian dari syariat Islam, khususnya terkait hukum pergaulan. Menjalankannya sebagai bentuk ibadah (penghambaan/ketaatan) kepada Rabb-nya. Seiringnya, akan terpancar akhlak islami nan mulia.
Penting untuk memahami bahwa tarbiyah jinsiyah bukan pendidikan tentang how to do (bagaimana melakukan hubungan seks). Bukan pula cara berhubungan seks 'aman' dengan metode ABC (Abstinence, Be Faithful dan Condom) sebagaimana pengajaran kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah.
Namun tarbiyah jinsiyah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akhlak berdasarkan Islam. Sehingga konten, sarana, dan cara pengajarannya tidak boleh bertentangan dengan Islam.
Pun orang tua mesti peka, paham, dan mampu memberikan informasi dalam porsi tertentu agar anak tidak bingung atau malah penasaran. Orang tualah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak soal pendidikan seks.
Berikut ini beberapa materi tarbiyah jinsiyah yang bisa dilakukan oleh orang tua; pertama, menanamkan rasa malu pada anak. Sejak dini, orang tua membiasakan anak menutup aurat (bagian tubuh yang tidak boleh dinampakkan/terlihat). Pun menjelaskan batas-batas aurat, baik di hadapan mahram maupun bukan mahram.
Kedua, menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Orang tua memperlakukan anak sesuai jenis kelaminnya. anak laki-laki diberikan baju, didandani, diarahkan perilakunya sesuai jiwa kelelakiannya. Agar mereka menyadari fitrahnya hingga kelak siap menjalankan berbagai peran kehidupan sesuai jenisnya.
Ketiga, memisahkan tempat tidur mereka. Selain membuat anak lebih mandiri dan bertanggung jawab, juga menyadari karakter kejenisannya.
Keempat, mengenalkan tiga waktu aurat. Saat memasuki ruangan (kamar) orang tua diajari meminta izin yaitu sebelum shalat Subuh, tengah hari, dan setelah shalat Isya. Inilah waktu aurat yaitu ketika aurat orang dewasa banyak terbuka (QS. Al-Ahzab: 13).
Kelima, mengenalkan mahram dan bukan mahramnya. Agar anak mampu menjaga pergaulan dengan yang bukan mahramnya. Hal ini terkait dengan siapa yang boleh atau tidak dinikahi, serta boleh tidaknya membuka aurat di hadapannya. Pun agar tidak terjebak inses (pernikahan antarsaudara kandung atau mahramnya).
Keenam, mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata (ghadul bashar). Yaitu menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan seperti aurat dan selain aurat (wajah) dengan syahwat.
Ketujuh, mendidik anak agar tidak melakukan khalwat dan ikhtilat. Khalwat itu berduaan tanpa mahram. Ikhtilat adalah bercampurbaurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa hajat syar'i.
Kedelapan, mendidik etika berhias. Agar ananda tidak jatuh pada tabarruj (dandan berlebihan) hingga merangsang syahwat lawan jenis. Meskipun seorang Muslimah telah menutup aurat, potensi tabarruj tetap ada. Misalnya; make up wajah berlebihan (menor), memakai parfum hingga berbau menyengat, menggunakan aksesoris mencolok (gelang kaki, bros sangat besar, cempol kerudung tinggi bak punuk unta), dan lain-lain.
Kesembilan, menjelaskan tentang ihtilam (mimpi basah) bagi lelaki dan haid bagi perempuan. Keduanya adalah tanda kedewasaan. Ananda diterangkan tentang tanda-tanda baligh, efek psikologis dan fisiologis. Selain itu, memahamkan bila telah baligh, ia menyandang status mukallaf (orang yang dibebani hukum syara'). Sehingga siap menjalankan seluruh aturan Allah dan memahami konsekuensi bila meninggalkannya.
Itulah materi terkait pendidikan seks ala Islam. Agar efektif, orang tua mengajarkannya dengan metode; pemahaman, pembiasaan, dan keteladanan orang tua. Diajarkan sejak dini dengan melihat tahapan tumbuh kembangnya.
Selain orang tua (keluarga), masyarakat juga saling menjaga agar warga di lingkungannya tidak melakukan seks bebas. Pun butuh peran negara. Negara adalah pengurus dan pelindung rakyat. Melalui seperangkat aturan (kebijakan) hendaknya negara;
Pertama, membina masyarakat tentang pendidikan seks berbasis akidah (agama). Pun mendorong keluarga untuk mengajarkan tarbiyah jinsiyah pada putra-putri mereka.
Kedua, menjelaskan keharaman perilaku seks bebas dan dampak buruknya, khususnya bagi generasi.
Ketiga, mengawasi peredaran (penyebaran) konten-konten porno pembangkit syahwat. Baik melalui media cetak, elektronik, maupun media sosial. Bila perlu, memblokirnya dan memberi sanksi bagi pengelola media bejat.
Keempat, menerapkan sanksi tegas bagi pelaku seks bebas. Tidak memandang berapa usianya, saat telah baligh berarti anak/remaja tersebut harus siap menanggung risiko dari perbuatannya. Sehingga bila melakukan seks bebas (zina) layak mendapatkan sanksi. Dalam Islam, sanksi berzina bagi yang bekum menikah adalah dicambuk seratus kali. Hukuman ini akan memberikan efek jera.
Demikian strategi pendidikan seks bagi siswa dan remaja. Untuk mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang religius butuh sinergitas antara orang tua (keluarga), masyarakat, dan negara dalam menjalankannya.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati