TintaSiyasi.id -- Soal:
Assalamu ’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.
Sudah diketahui bahwa memberikan suara untuk demokrasi adalah haram. Namun ada sejumlah dalil yang orang-orang fikirkan tentangnya bahwa karena sebab-sebab berikut maka dimungkinkan untuk memberikan suara:
1- Dharar yang lebih ringan dari dua dharar (akhafu adh-dhararayn).
2- Syariah orang sebelum kita (syar’un man qablanâ).
3- Dharurat memperbolehkan apa yang dilarang (adh-dharûrah tubîhu al-mahzhûrât).
4- Di antara maqashid asy-syariah: menjaga agama, jiwa, dan harta kaum Muslim.
Apakah kaedah-kaedah ini bisa untuk sampai pada hukum syar’iy bahwa memberikan suara adalah mubah atau wajib demi kemaslahatan Ummat?
Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ya akhiy, kami telah menjawab atas pertanyaan-pertanyaan ini di dalam Jawab Soal terdahulu. Dan saya kutipan sebagian dari Jawab Soal terdahulu itu sebagai berikut:
Pertama- Jawab Soal pada 29/8/2010 seputar kaedah ahwanu asy-syarrayn wa akhafu adh-dhararayn (keburukan yang lebih ringan diantara dua keburukan dan dharar yang lebih ringan diantara dua dharar). Di situ dinyatakan: [Kaedah ahwanu asy-syarrayn (keburukann yang lebih rendah diantara dua keburukan) atau akhafu adh-dhararayn (dharar yang lebih ringan di antara dua dharar).
Ini merupakan kaedah syar’iyah menurut sejumlah fukaha. Dan kaedah ini menurut ulama yang mengambilnya, kembali kepada satu makna, yaitu bolehnya melakukan satu dari dua perbuatan yang diharamkan, yaitu perbuatan yang lebih kecil keharamannya jika orang mukallaf tidak mampu kecuali harus melakukan salah satu keharaman itu dan dia tidak mungkin meninggalkan keduanya sekaligus, sebab hal itu terhalang yakni di luar kemampuan dilihat dari semua aspek.
Allah SWT berfirman:
﴿لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (TQS al-Baqarah [2]: 286).
Dan Allah juga berfirman:
﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (TQS at-Taghabun [64: 16).
Artinya, bahwa kaedah ini menurut orang-orang yang mengatakannya tidak diterapkan kecuali jika terhalang dari menahan diri dari dua keharaman itu, yang mana tidak mungkin meninggalkan dua keharaman itu sekaligus kecuali dengan terjadinya keharaman yang lebih besar. Maka ketika itu diambil dharar yang lebih ringan dari dua dharar itu. Sebagaimana bahwa mereka, para ulama itu tidak menjadikan penentuan dharar yang lebih ringan diantara dua dharar itu menurut hawa nafsu tetapi menurut hukum-hukum syara’...
Di antara contoh yang disebutkan oleh para ulama untuk penerapan kaedah ini:
- Jika seorang ibu kesulitan melahirkan dan tidak mampu menyelamatkan ibu dan janin sekaligus, dan perkaranya memerlukan keputusan cepat: menyelamatkan ibu dan ini mengakibatkan kematian janin, atau menyelamatkan janin dan ini mengakibatkan kematian si ibu. Dan jika perkaranya dibiarkan dan tidak dilakukukan atas kematian salah satu dari keduanya untuk menyelamatkan yang lainnya, atau membiarkan kehidupan salah satu dengan kematian yang lainnya, maka hal itu menyebabkan kematian keduanya. Dalam semisal kondisi ini dikatakan ahwanu asy-syarrayn (keburukan yang lebih rendah diantara dua keburukan) atau aqallu al-harâmayn (keharaman yang lebih kecil diantara dua keharaman), atau akhafu al-mafsadatayn (mafsadat yang lebih ringan diantara dua mafsadat). Yaitu dikedepankan perbuatan menyelamatkan yang dituntut penyelamatannya yaitu ibu, meskipun perbuatan ini sendiri berarti membunuh yang lain (janin) .... dst.
Dan bukanlah termasuk penerapan kaedah tersebut, kepada seseorang disodorkan dua perkara yang haram, lalu dia melakukan yang lebih ringan diantara keduanya sementara dia mampu menahan diri dari keduanya sekaligus, seperti ucapan orang yang mengatakan, pilihlah si fulan meski dia seorang sekuler yang kafir atau fasid, atau dukunglah si fulan dan jangan dukung yang lainnya, sebab yang pertama membantu kirta sementara yang kedua tidak membantu kita, atau semacam itu. Melainkan yang dikatakan di sini: Sesungguhnya dua perkara yang dipaparkan di depan kita adalah haram. Jadi tidak boleh memilih seorang sekuler dan tidak boleh mewakilkan atau mengangkatnya untuk mewakili kaum Muslim dalam pendapat, sebab dia tidak berpegang dengan Islam dan karena dia melakukan melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan yang tidak diperbolehkan bagi orang yang mewakilkan untuk melakukannya seperti penetapan syariah dan menyetujui proyek-proyek yang diharamkan, dan seperti menuntut yang haram dan menerimanya serta berjalan di atasnya. Singkatnya, ia melarang yang makruf dan memerintahkan yang mungkar. Oleh karena itu, tidak boleh memilih satupun dari mereka berdua; karena memilih yang ini atau yang itu adalah haram. Dan membiarkan pemilihan yang ini atau pemilihan yang itu ada dalam kemampuannya ...] selesai.
Selengkapnya ada di Jawab Soal yang disebutkan di atas dan Anda dapat merujuk padanya.
Kedua- Adapun syariat sebelum kita maka itu bukan syariat untuk kita. Kami telah menjelaskan hal itu di dalam Jawab Soal pada 03/05/2014. Di situ dinyatakan:
Jawab: Benar, sebagian masyayikh penguasa mengatakan ucapan-ucapan ini. Dan itu merupakan ucapan yang dengannya tidak tegak hujjah. Sebab berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, dalil-dalilnya gamblang dan jelas, qath’iy ats-tsubût qath’iy ad-dalâlah dan itu tidak menjadi obyek perbedaan pendapat diantara para imam. Berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah adalah fardhu.
Allah SWT berfirman:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنْ الْحَقِّ﴾
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS al-Maidah [5]: 48).
Allah SWT juga berfirman:
﴿وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ﴾
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (TQS al-Maidah [5]: 49).
Dan nas-nas dalam makna ini banyak. Adapun tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan dan kembali kepada hukum-hukum positip buatan manusia maka itu merupakan kekufuran jika si al-hâkim (orang yang menghukumi) meyakininya, dan zalim atau fasik jika orang yang menghukumi itu tidak meyakininya. Dan ini dinyatakan di dalam firman Allah SWT:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (TQS al-Maidah [5]: 44).
Dan Allah berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (TQS al-Maidah [5]: 45).
Dan Allah berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (TQS al-Maidah [5]: 47).
Adapun yang dijadikan dalil oleh para masyayikh penguasa maka seperti yang kami katakan, hal itu dengannya tidak tegak hujjah ...
- Adapun beristidlal dengan maslahat, dan bahwa mashlahat itu merupakan dalil, maka itu juga tidak pada tempatnya, dan kami paparkan sebagai berikut:
Di antara para ulama ushul ada yang mengatakan mashlahat sebagai dalil. Tetapi mereka mensyaratkan agar di dalam syara’ tidak ada dinyatakan perintah dengannya atau larangan darinya. Adapun jika ada perintah atau larangan, maka tidak diambil hukum dengan mashlahat, tetapi diambil dengan apa yang dinyatakan di dalam syara’. Tidak ada seorang pun ulama ushul muktabar yang mengatakan penelantaran nas-nas yang dibawa oleh wahyu dengan hujjah bahwa mashlahat menuntut hal itu.
Riba adalah haram, diharamkan oleh syara’ dengan nas-nas yang dibawa oleh wahyu. Jika mashlahat menuntutnya maka syara’ menolak dan mengharamkannya. Dan jika sebagian orang yang disebut ulama memfatwakannya maka fatwa mereka itu tertolak dan itu berbenturan dengan syara’ yang dibawa oleh wahyu.
Masalah menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah haram secara qath’iy, semisal riba, sebab nas-nas dari wahyu mendatangkan hal itu. Maka tidak tersisa ruang apapun untuk menghukumi menggunakan mashalat. Jadi di mana ada hukum syara’ maka di situ ada mashalat dan bukan sebaliknya.
Dan dalam pembahasan kami ini, kami mendesak ulama ushul yang longgar yang mengatakan al-mashâlih al-mursalah. Bahkan menurut pendapat mereka sendiri, tidak ada ruang untuk beristidlal dengan mashlahat. Meski yang benar adalah bahwa al-mashâlih al-mursalah itu tidak ada, al-mashâlih al-mursalah itu ada pada pandangan mereka yang mengatakan bahwa syara’ membiarkan sebagian perkara tanpa memerintahkannya atau melarangnya, dan mereka mengatakan bahwa mereka menggunakan al-mashlahat dalam hal ini. Dan yang benar bahwa syara’ tidak membiarkan sebagian perkara tanpa menjelaskan hukumnya, tetapi syara’ menjelaskan hukum semua hal.
﴿تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
“untuk menjelaskan segala sesuatu” (TQS an-Nahl [16]: 89).
﴿مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ﴾
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab” (TQS al-An’am [6]: 38).
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيناً﴾
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (TQS al-Maidah [5]: 3).
- Ringkasnya adalah bahwa berpartisipasi dalam sistem kufur dan menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah kufur jika al-hâkim yang menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu meyakini hukum itu. Dan dia adalah zalim atau fasik jika al-hâkim yang menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu tidak meyakini hukum itu. Hal itu sebagaimana yang ada di ayat yang mulia:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (TQS al-Maidah [5]: 44).
Dan Allah berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (TQS al-Maidah [5]: 45).
Dan Allah berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (TQS al-Maidah [5]: 47).
Dan orang yang mengatakan bahwa boleh bagi seorang Muslim berpartisipasi dalam berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan, mereka tidak memiliki dalil dan tidak pula syubhat dalil, sebab nas-nas dalam melarang yang demikian itu qath’iy ats-tsubût dan qath’iy ad-dalâlah.
Saya berharap jawaban ini jelas, cukup dan memadai, dengan izin Allah SWT. 04 Rajab 1435 H – 03 Mei 2014 M], selesai jawaban tersebut.
Perkara tersebut telah dirinci selengkapnya di Jawab Soal tersebut dan di dalamnya tentang topik Yusuf as, topik an-Najasyi yang dishalatkan oleh Rasul saw secara shalat ghaib .... Anda dapat merujuk padanya ... Dan jelas darinya bahwa itu tidak sesuai terhadap bolehnya pemilu demokrasi dan tugas-tugasnya dalam penetapan syariah oleh manusia dan percaya dengan hukum kufur ... dst.
Perlu diketahui, maqashid asy-syarî’ah yang Anda tanyakan itu ditakwilkan oleh sebagian mereka dengan apa yang memenuhi kemashlahatan ... dan mereka jadikan sebagai ‘illat hukum. Maka jika di situ ada mashlahat dalam satu perkara maka perkara tersebut boleh, dan ini tidak benar... Maqashid Allah merupakan bagian dari hukum yang menjelaskan tujuan dari pensyariatannya. Itu merupakan hikmah Allah dari hukum-hukum ini, dan bukan merupakan ‘illat untuknya. Oleh karena itu, tidak bisa diqiyaskan terhadapnya dan tidak diqiyaskan terhadap makna-makna yang dibawanya tentang itu. Itu adalah khusus pada tiap hukum itu sendiri dan tidak melampauinya. Dan kadang itu tercapai dan kadang tidak tercapai, dan tidak ada hubungannya dengan ‘illat syar’iyah, tidak pula dengan qiyas, tetapi itu merupakan hikmah Allah dari hukum tersebut.
Pembahasan ini telah dirinci di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii – bab al-Maqâshid asy-Syarî’ah - Jalbu al-Mashâlih wa Dar`u al-Mafâsid, yang mana di situ dinyatakan:
(... adapun kelompok pertama yang menganggap jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid sebagai ‘illat syar’iyah untuk syariah islamiyah dengan sifatnya sebagai satu keseluruhan dan merupakan ‘illat syar’iyah untuk tiap hukum syar’iy itu sendiri, dan kelompok ini mensyaratkan pada setiap hukum itu sendiri agar dalil syar’iy menunjukkan kemaslahatan (al-mashlahah) tersebut. Adapun kelompok ini, jawaban atasnya adalah bahwa anggapan jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid sebagai ‘illat itu, tidak kosong dari: hal itu ditunjukkan oleh akal atau oleh syara’. Adapun jika ditunjukkan oleh akal maka tidak ada nilainya dan tidak ada anggapan untuk dalalahnya ...
Atas dasar itu maka anggapan jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid sebagai ‘illat yang ditunjukkan oleh akal merupakan anggapan yang batil dan tidak punya nilai. Maka anggapan ini untuk menjadikan sebagai ‘illat haruslah datang dari syara’ bukan dari sisi akal, terutama bahwa ‘illat itu tidak lain adalah ‘illat syar’iyah dan bukan ‘illat secara mutlak.
Adapun istidlal mereka al-Quran, hadis dan ijmak bahwa jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid merupakan ‘illat maka itu juga istidlal yang batil. Adapun berkaitan untuk istidlal mereka dengan al-Quran dan hadis, maka ayat-ayat yang mereka jadikan argumentasi tidak menunjukkan penetapan ‘illat baik menurut redaksi dan tidak juga dengan realita. Mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ﴾
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (TQS al-Anbiya` [21]: 107).
Dan firman Allah SWT:
﴿وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ﴾
“dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (TQS al-A’raf [7]: 156).
Dan dengan sabda Rasul saw:
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ» أخرجه الحاكم
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain” (HR al-Hakim).
Ini di dalamnya tidak ada dalalah atas klaim mereka.
Jadi itu tidak menunjukkan bahwa jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid merupakan ‘illat untuk hukum syara’, tetapi paling jauh yang ditunjukkan olehnya adalah penafian mafsadat dari syariah islamiyah sebagai keseluruhan. Dan itu tidak berarti penetapan illat untuk syariah, dan tidak pula untuk suatu hukum apapun diantara hukum syariah dikarenakan tidak adanya penunjukkan makna penetapan ‘illat dalam penafian dharar ini saja. Jadi itu tidak menjadi ‘illat untuk pensyariatan syariah sebagai keseluruhan dan tidak pula ‘illat suatu hukum apapun diantara hukum-hukum syariah.
Atas dasar itu, nas-nas al-Quran dan hadis, meski menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari syariah adalah mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan (jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid). Akan tetapi itu tidak menunjukkan bahwa jalbu al-mashâlih wa dar`u al-mafâsid merupakan ‘illat untuk pensyariatan syariah, dan tidak pula merupakan ‘illat untuk tiap hukum syar’iy itu sendiri. Jadi gugurlah istidlal dengannya.
Adapun ijmak yang mereka klaim, mereka mengatakan bahwa itu adalah ijmak para imam fikih. Dan ini tidak punya nilai. Sebab ijmak yang muktabar sebagai dalil syar’iy adalah ijmak shahabat bukan yang lainnya. Oleh karena itu ijmak yang mereka gunakan beristidlal tidak dinilai sebaga dalil ...
Atas dasar itu, tidak ada kemaslahatan yang kemuktabarannya ditunjukkan oleh syariah semuanya secara keseluruhan, juga tidak ditunjukkan oleh nas-nas yang bersifat kulliy dan tidak pula oleh sekumpulan nas dan tidak pula oleh sekumpulan syariah. Jadi kemuktabaran mashlahat sebagai ‘illat syar’iyah merupakan hal yang batil sejak asasnya. Sebab di dalam syara’ tidak ada mashlahat yang dinilai sebagai ‘illat untuk tasyrî’ (pensyariatan) baik mashlahat syar’iyah maupun mashlahat yang bukan syar’iyah ...).
Pembahasan selengkapnya ada di asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah dan jika Anda ingin lebih rinci maka merujuklah padanya ...
Ketiga- Adapun adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât aw al-muharramât (darurat memperbolehkan apa-apa yang dilarang atau yang diharamkan) maka sebelumnya kami telah menjawab hal itu pada 26/1/2016, di situ dinyatakan:
(Sebagian ulama mengambil kaedah “adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât –darurat membolehkan apa-apa yang diharamkan-“. Mereka yang mengatakan kaedah ini berdalil dengan dalil-dalil semisal firman Allah SWT:
﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS al-Baqarah [2]: 173)
﴿فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS al-Maidah [5]: 3)
﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS an-Nahl [16]: 115)
Orang yang meneliti kaedah ini, menjadi jelas baginya bahwa kaedah ini tidak benar:
Dalil-dalil yang digunakan mereka yang mengatakan kaedah ini tidak menunjukkan kepada pendapat mereka. Akan tetapi paling jauh yang ditunjukkan oleh dalil-dalil itu adalah bolehnya pada saat keterpaksaan untuk memakan bangkai dan semisalnya disebabkan kelaparan.
﴿فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ﴾
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan” (TQS al-Maidah [5]: 3)
Al-mahmashah adalah kelaparan dan kelaparan itu dekat dengan kebinasaan… Maka pada saat itu baginya boleh memakan yang haram… Dan keterpaksaan itu seperti yang jelas di dalam ayat tersebut dibatasi dengan kelaparan dan tidak lebih dari itu. Jadi lafalnya bukan bersifat umum atau mutlak sehingga madlûl (konotasi)nya bisa menjangkau lebih dari itu, akan tetapi lafalnya adalah muqayyad (dibatasi) dengan kelaparan....
Atas dasar itu, kaedah ini tidak benar dengan menjalankannya berdasarkan keumuman seperti yang dinyatakan oleh mereka yang mengatakan kaedah ini. Yang benar, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang dijadikan sandaran mereka yang mengatakan kaedah ini, adalah bahwa diberi rukhshah bagi seorang muslim untuk memakan atau meminum apa yang diharamkan oleh Allah berupa makanan yang haram pada kondisi keterpaksaan, dan tidak menunjukkan selain itu. Rukhshah pada saat darurat pada kondisi-kondisi lain memerlukan dalil-dalil lainnya.
Penting disebutkan bahwa kaedah ini pada masa kita ini menjadi tunggangan untuk menghalalkan semua yang diharamkan dengan menjadikan kata adh-dharûrât sebagai kata yang longgar yang di bawahnya masuk banyak perkara sesuai penafsiran mereka untuk kata adh-dharûrah yang jadi pandangan mereka, sehingga banyak orang terjatuh pada yang haram atas nama adh-dharûrah! ...
16 Rabiul Akhir 1437 H – 26 Januari 2016 M].
Perkara tersebut telah dirinci di Jawab Soal tersebut ... Dan Anda dapat merujuk padanya ... Jelas darinya bahwa kaedah itu tidak tepat berlaku pada bolehnya pemilu demokrasi saat ini dan tugas-tugasnya dalam pensyariatan hukum oleh manusia dan kepercayaan kepada hukum kufur .... dst.
Keempat- Demikian juga kami telah menjawab secara rinci pada 03 Februari 2016 dan pada 19 Juni 2022 tentang hukum berpartisipasi dalam pemilu, dan Anda dapat merujuk pada Jawab Soal tersebut dan di dalamnya ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam. []
Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Referensi:
https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.HT/posts/296199243562581