TintaSiyasi.id -- Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis keadilan terutama dalam penegakan hukum.
Kasus Ronald Tannur yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya menuai sorotan publik, pasalnya majelis hakim menilai bahwa Edward Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Padahal barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum telah diserahkan. (jpnn.com Minggu, 28 Juli 2024)
Dimas Yemahura selaku penasehat hukum keluarga korban merasa kesal karena Edward Tannur yang sebelumnya di tuntut hukuman Penjara selama 12 tahun namun akhirnya di bebaskan dari tuduhan tersebut. Selain berupaya mencari keadilan dengan melaporkan ke Mahkamah Agung, Dimas juga akan mendorong jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi. (Surabayapost Juli 24, 2024)
Kasus Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dipecat gegara kasus asusila. Menurut DKPP Hasyim Asy’ari yang terbukti melakukan tindak asusila memiliki kekayaan sebesar Rp 9,5 miliar. Selain memaksa berhubungan badan dengan anggota PPLN Den Haag, Hasyim juga menjanjikan akan menikahi dan membiayai hidup korban Rp 30 per bulan. (jpnn.com Jum’at 5 Juli 2024)
Kasus seperti ini bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia, masih banyak lagi kasus yang serupa dimana keadilan tidak berpihak pada orang yang tepat. Korban yang seharusnya mendapatkan keadilan justru harus menelan rasa kecewa, sementara pelaku yang terbukti bersalah dengan sangat mudah divonis bebas.
Dari kasus tersebut terlihat jelas bahwa hukum di negeri ini begitu mudah untuk dimanipulasi. Keadilan dilenyapkan hanya demi ambisi. Ibarat pepatah mengatakan bahwa hukum saat ini ibarat pedang yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Semua buah dari diterapkannya sistem kapitalisme dimana hukum dibuat oleh manusia yang memiliki kuasa dan kepentingan semata sehingga mudah berubah-ubah dan yang pasti menghilangkan efek jera.
Dalam sistem demokrasi, legitimasi pemerintahannya adalah dari kemauan rakyat yang memilih dan mengontrolnya sehingga sering terjebak pada konflik kepentingan. Hukum yang lahir dari demokrasi juga membuka celah yang sangat besar bagi perilaku kekuasaan absolutisme yaitu sistem pemerintahan otoriter, monarki, tirani, oligarki, teknokrasi dan lain-lain. Ini sangatlah wajar karena manusia adalah makhluk yang lemah.
Sangatlah jelas bahwa ketika aturan Islam di campakkan dari kehidupan maka yang terjadi hanyalah kekacauan dan kesengsaraan karena hukum buatan manusia terbukti mudah di otak atik demi keuntungan sepihak.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman hanya pada aturan Allah SWT semata sebagai Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil. Di dalam sistem Islam, keadilan tidak memandang kaya atau miskin, ketika seseorang telah terbukti bersalah maka akan dihukum sesuai syariat Islam saja, karena hukum Islam berfungsi sebagai jawajir dan zawabir sehingga keadilan dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Negara atau khilafah hanya akan menerapkan hukum syarak semata dan ketika ada pelanggaran maka di dalam Islam dikenal dengan Qadhi yaitu orang yang menyelesaikan perselisihan baik yang terjadi di antara anggota masyarakat (Qadhi biasa), masalah penyimpangan yang dapat membahayakan hak jamaah (Al- Muhtasib) atau perselisihan antara masyarakat dan negara (Qadhi Madzalim).
Khalifah akan mengangkat seorang Qadhi yang pastinya adalah orang yang amanah dan bertakwa kepada Allah SWT sehingga dia tidak akan memutuskan perkara sesuai hawa nafsunya karena kelak dia akan mempertanggung jawab kan setiap apa yang telah dia putuskan.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Keadilan tidak akan pernah ada selama sistem demokrasi kapitalis masih bercokol di negeri ini. Keadilan terwujud ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam bingkai khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nurhalimah
Aktivis Muslimah