TintaSiyasi.id -- Merespons Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Kesehatan yang terdapat pasal menyebut penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purnairawan, S.H., M.H., mengatakan PP itu sebetulnya bertentang dengan undang-undang.
"Peraturan Pemerintah 28/2024 ini sebetulnya bertentangan dengan undang-undang, PP 28/2024 menunjukkan kepada masyarakat bahwa yang membuat peraturan seperti tidak mengetahui ada undang-undang yang melarang penyediaan alat kontrasepsi. PP 28/2024 ini menunjukkan kepada publik adanya tumpang tindih dan tidak sinkron," ungkapnya dalam Keterangannya yang diterima TintaSiyasi.Id, Kamis (8/8/2024).
Salah satu yang paling dianggap kontroversi sebagaimana dikutip Chandra yaitu dalam Pasal 103 ayat (4) PP 28 Tahun 2024: Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.
Ia menjelaskan, dalam konteks penyebaran kondom di masyarakat, undang-undang memberikan perlindungan pada anak. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka salah satu bentuk perlindungan adalah yaitu anak wajib dilindungi dari pengaruh dan kejahatan seksual. Yang dimaksud anak dalam hal ini adalah orang yang berusia di bawah 18 tahun.
Chandra mengungkapkan ada ketentuan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan, di mana Pasal 408 UU Nomor 1 Tahun 2023 yang menentukan: "Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I".
Kemudian Pasal 409 KUHP baru, menentukan:
"Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
"Sehingga jika PP 28/2024 ini di uji materiil di Mahkamah Agung, sangat berpeluang untuk dibatalkan," ujarnya.
Ia menegaskan, perlu dipahami bahwa negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme dengan asas sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan), yakni agama tidak berhak mengatur kehidupan manusia. Maka, tidak heran banyak tindakan tidak bermoral yang dilakukan rakyat dan penguasa.
"Sekularisme dibiarkan tumbuh subur, sementara rakyat yang ingin menjalankan kehidupan sesuai agamanya harus berhadapan dengan penguasa dengan berbagai tuduhan dan persekusi. Menyedihkan," pungkasnya.[] Alfia Purwanti