Tintasiyasi.id.com -- Dalam sejarah politik Indonesia, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) selalu diklaim sebagai representasi suara rakyat. Mereka yang duduk di kursi parlemen disebut-sebut sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui proses demokrasi yang katanya suci.
Namun, di balik semua klaim ini, ada kenyataan pahit yang tak terbantahkan, DPR bukanlah representasi rakyat, melainkan cerminan kepentingan oligarki dan pemilik modal.
Demokrasi yang sering dipuja sebagai sistem politik paling ideal, dalam praktiknya justru menjadi lahan subur bagi lahirnya elite-elite bermuka dua, yang bermain dalam dua peran, sebagai wakil rakyat di satu sisi, dan sebagai perpanjangan tangan oligarki di sisi lain.
Watak Demokrasi: Melayani Oligarki, Bukan Rakyat
Di balik topeng demokrasi yang mengilusi banyak orang dengan janji-janji keterwakilan, tersembunyi fakta bahwa sistem ini telah dikapling oleh segelintir elite. Mereka adalah penguasa modal, penguasa media, dan penguasa lobi yang mengendalikan arah kebijakan.
Pemilu, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat, justru telah berubah menjadi arena bisnis politik yang kotor, di mana suara rakyat dibeli, diperdagangkan, dan dieksploitasi demi keuntungan segelintir orang.
Lihat saja bagaimana setiap kali menjelang pemilu, partai-partai politik berlomba-lomba menawarkan janji-janji manis kepada rakyat. Namun, setelah terpilih, janji-janji itu menguap begitu saja. Yang tersisa hanyalah permainan kekuasaan di balik layar, di mana para politikus terjebak dalam siklus kompromi dan negosiasi dengan para oligarki yang membiayai kampanye mereka. Hasilnya?
Kebijakan yang dihasilkan lebih sering menguntungkan para pemilik modal, sementara rakyat yang seharusnya diwakili hanya menjadi korban dari retorika kosong.
Kegagalan Demokrasi: Oligarki yang Semakin Mengakar
Apa yang terjadi di DPR hanyalah puncak gunung es dari kegagalan demokrasi dalam mewujudkan keterwakilan rakyat. Ketika para wakil rakyat lebih peduli pada kelangsungan karier politik mereka daripada memperjuangkan kepentingan konstituen, demokrasi berubah menjadi alat penindasan yang halus.
Alih-alih menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, demokrasi dalam bentuknya yang sekarang hanya melestarikan ketimpangan kekuasaan.
Dampaknya sangat jelas: kebijakan yang dihasilkan oleh para wakil rakyat ini sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil. Lihatlah bagaimana undang-undang yang disahkan lebih sering menguntungkan perusahaan besar, sementara rakyat kecil harus menanggung beban yang semakin berat.
Ketika rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok melambung, para wakil rakyat kita justru sibuk mengurus bisnis dan proyek mereka. Inilah wajah asli demokrasi: sebuah sistem yang telah dirusak oleh kepentingan oligarki, di mana suara rakyat hanyalah pelengkap penderita.
Islam Kaffah: Solusi Terbaik
Di tengah kegagalan demokrasi yang telah melahirkan elite-elite bermuka dua, sudah saatnya kita memikirkan alternatif yang lebih adil dan berpihak pada rakyat. Islam menawarkan sebuah sistem politik yang berbeda, yang jauh dari pengaruh oligarki dan pemilik modal.
Dalam sistem Islam, keterwakilan bukanlah sekadar formalitas seperti apa yang ada di demokrasi, melainkan sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Majelis Ummat dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai wadah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, tetapi juga sebagai pengawas kekuasaan yang efektif. Para politikus dalam Islam bukanlah penguasa yang jauh dari rakyat, melainkan pelayan yang harus siap mendengar, memahami, dan bertindak demi kepentingan rakyat.
Mereka tidak bergantung pada modal besar untuk meraih kekuasaan, tetapi pada kemampuan mereka dalam menegakkan keadilan dan kemaslahatan ummat.
Menutup Babak Demokrasi, Membuka Jalan Islam Kaffah
Sudah waktunya kita hentikan ilusi demokrasi yang hanya melahirkan elite-elite bermuka dua. Sudah saatnya kita berpaling kepada Islam yang kaffah, yang menjanjikan keterwakilan sejati tanpa perlu menggadaikan kepentingan rakyat kepada oligarki.
Dengan Islam, kita dapat menciptakan sebuah sistem politik yang adil, di mana setiap suara benar-benar didengar, dan setiap kebijakan benar-benar berpihak pada kesejahteraan ummat.
Marilah kita bersama-sama menyerukan perubahan ini. Kita tidak bisa lagi berharap pada demokrasi yang telah terbukti gagal. Kita harus membangun sistem baru yang berdasarkan prinsip-prinsip Qur'an dan Sunnah, yang menempatkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan ummat sebagai tujuan utama.
Inilah saatnya kita membuka babak baru dalam sejarah politik kita, sebuah babak yang ditandai dengan kepemimpinan ummat Islam yang satu, di bawah naungan Khilafah yang mengikuti metode kenabian, dengan penerapan syariah islam yang kaffah.[]
Oleh: Rizqi Awal
(Pengamat Kebijakan Publik)