TintaSiyasi.id -- Berkali-kali dipukuli. Selama lima tahun menikah sering diselingkuhi. Suami suka nonton video bokep. Hingga punya utang miliaran. Siapa istri yang tahan? Maka saat Selebgram CIN membagikan video aksi KDRT sang suami (AT), gegerlah warganet hingga polisi menangkapnya dengan ancaman 10 tahun penjara. Kini CIN trauma, anaknya pun takut bersua dengan pria (okezone.com, 15/8/2024).
Suami melakukan KDRT tentu tak hanya dalam kisah selebgram ini. Komnas Perempuan mencatat sejak 2001, KDRT terus menjadi data tertinggi yang dilaporkan. Laporan 21 Tahun Catatan Tahunan, tercatat 2.5 juta kekerasan di ranah personal. Di antaranya kekerasan terhadap istri (KTI) yang paling banyak dilaporkan yaitu 484.993 kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang dilakukan oleh anggota keluarga menjadi urutan ketiga sebanyak 17.097 kasus (komnasperempuan.go.id, 15/5/2024).
Sungguh miris. Ironis! Bagaimana tidak? Pria yang Allah angkat satu derajat sebagai qawwam (pemimpin) keluarga, justru berlaku zalim terhadap orang yang dipimpinnya. Tak melindungi, malah mencaci-maki. Tak menjaga, justru menganiaya. Alih-alih memberi kasih sayang, malah memukul hingga menendang. Lantas, di mana qawwamah (kepemimpinan)nya?
Tingginya angka KDRT menunjukkan bahwa ini tak hanya masalah kasus per kasus alias kasuistik. Tapi problem sistemis. KDRT marak diduga tak hanya akibat kebejatan individual, namun juga hasil penerapan sistem hidup yang rusak.
Penyebab KDRT Marak di Tengah Masyarakat
Definisi KDRT dirumuskan dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Disebutkan bahwa KDRT bisa mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga.
Mengapa KDRT kian marak akhir-akhir ini? Ada beberapa penyebabnya yaitu; pertama, hilangnya fungsi qawwamah pada laki-laki. Akibat dari;
a. Lemahnya kemampuan mengendalikan diri. Ketika ketakwaan bukan lagi menjadi pakaian keseharian, "wajar" jika akhirnya lemah dalam mengendalikan diri. Para ayah dan suami tidak segan memperdaya istri dan anak-anaknya.
b. Tingginya beban hidup atau kondisi ekonomi buruk. Beban hidup yang jauh dari sejahtera membuat suami harus banting tulang mencari nafkah hingga ada yang jarang pulang. Kondisi rumah yang dipenuhi banyak tuntutan juga menyebabkan sang suami tidak betah. Untuk menghindari stres, para ayah mencari kenyamanan di luar rumah. Keadaan ini mudah memicu ketegangan, perselisihan, hingga memunculkan KDRT.
c. Pola hidup yang buruk. Ada sebagian ayah yang "harus" pergi kerja sebelum anak-anaknya bangun dan pulang setelah anak-anaknya tertidur. Sehingga sulit membangun bonding dengan anak istri. Saat hubungan emosional minim, tanki kasih sayang tidak pernah terisi, hingga mudah melakukan KDRT.
Kedua, fungsi ummun (ibu) wa rabbatul bait (pengatur rumah tangga) pada sang istri yang tergerus. Peran sebagai ibu yang mendampingi anak-anaknya menjadi makin berat bila turut menjadi “tulang punggung”. Pun sebagai manajer rumah tangga, tenaga dan pikirannya sudah habis di luar rumah sehingga absen dalam urusan domestik.
Dalam beberapa kasus, ketaatan para istri yang luntur sebab merasa menjadi “tulang punggung” keluarga, juga memicu suami melakukan KDRT. Para istri yang tidak bekerja pun bukan berarti aman dari KDRT. Berbagai tuntutan untuk kenyamanan hidup juga menyebabkan suami stres hingga berujung KDRT. Kasus suami memutilasi istri di Karawang pada 2017 lalu, karena tidak sabarnya sang suami pada beban tuntutan istri dan keluarga.
Namun demikian, kondisi yang amat memprihatinkan ini bukan semata lahir dari fungsi suami atau istri yang buruk. Ini bukanlah problem individu, melainkan sistemis. Misalnya, sulitnya ayah untuk bekerja dan kemudahan ibu bekerja. Bukankah ini lahir dari sistem kapitalisme yang menginginkan buruh murah? Realitasnya, upah perempuan biasanya lebih rendah dari laki-laki.
Upaya mendorong para ibu untuk keluar rumah juga lahir dari feminisme, paham yang lahir dari sudut pandang sekularisme. Selain itu budaya liberal mudah memicu orang melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk pelampiasan atau bahkan dianggap penyelesaian masalah.
Walhasil, hidup jauh dari tatanan agama, iman dan takwa tak terbina, akhirnya ayah dan ibu mengelola rumah tangga tanpa aturan agama, jadilah KDRT makin marak. Dengan demikian, ini bukanlah problem individu, melainkan problem sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Sementara itu, sistem sekularisme kapitalistik telah terbukti gagal menyelesaikan KDRT, bahkan sistem ini sejatinya merupakan biang terjadinya problematika rumah tangga, termasuk KDRT.
UU PKDRT Bukan Solusi KDRT
Pengesahan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah 20 tahun, tetapi ternyata KDRT terus terjadi. Bahkan menjadi kekerasan terbanyak di ranah domestik di Indonesia dari tahun ke tahun. Alih-alih menyelesaikan masalah, penerapannya justru menimbulkan persoalan baru.
Misalnya pada kasus yang berakhir dengan pemenjaraan suami. Ketika suami dipenjara, tidak ada lagi yang menafkahi istri dan anak-anak mereka. Istri harus bekerja dan terpaksa mengabaikan pengasuhan juga pendidikan anak anak mereka. Anak-anak pun telantar hingga timbullah berbagai macam problem generasi.
Dari sini nampak bahwa penanganan belum menyentuh akarnya sehingga tidak menuntaskan masalah. Bila didalami, akar masalah KDRT adalah diterapkannya sistem sekularisme yang memisahkan agama dalam mengatur berbagai aspek kehidupan termasuk dalam keluarga. Selama tata kehidupan diatur dengan sistem rusak tersebut, tidak hanya kekerasan terhadap perempuan dan anak, kekerasan terhadap sesama manusia dalam segala bentuknya pun akan terus terjadi. Meski ribuan regulasi disahkan oleh dewan atau pemerintah.
Regulasi yang hanya bersumber dari akal pikiran manusia yang serba lemah dan terbatas, meskipun hasil kesepakatan internasional sekalipun, tidak akan mampu memberantas apalagi mencegah terjadinya kekerasan. Semua aturan yang lahir dari akal manusia (bukan dari aturan Allah Zat yang Mahatahu) tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dengan tuntas.
Tanpa suasana keimanan pada setiap individu, pergaulannya di tengah masyarakat, serta penerapan regulasi yang bersumber dari aturan Allah oleh negara, kekerasan terhadap perempuan mustahil dapat diberantas tuntas. Sekularisme kapitalisme justru memberi peluang terjadinya pelanggaran hukum mengingat jargon tujuan “menghalalkan segala cara”.
Sungguh sayang sekali, waktu, tenaga, dan dana yang dihabiskan sekian lama, hanyalah memberi harapan kosong terwujudnya lingkungan yang aman untuk semua. Pengesahan UU PKDRT ibarat kado kosong bagi semua perempuan dan juga seluruh rakyat Indonesia.
Pandangan Islam agar Terwujud Keharmonisan Suami Istri dalam Rumah Tangga
Islam memiliki aturan paripurna untuk mewujudkan keharmonisan keluarga. Pertama, kehidupan rumah tangga adalah kehidupan persahabatan.
Pergaulan suami istri adalah pergaulan berbalut persahabatan yang memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. Demikianlah yang Allah tetapkan (lihat QS. Al-A’raf: 189, Ar-Rum: 21).
Agar persahabatan keduanya terjalin, syariat Islam menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf“ (QS. Al-Baqarah: 228).
Kedua, memerintahkan pergaulan yang makruf (baik) antara suami dan istri. “Dan pergaulilah mereka secara makruf (baik)” (QS. An-Nisa: 19).
Dalam rumah tangga, Rasulullah SAW merupakan sahabat karib bagi istri-istrinya, menjalani pergaulan yang sangat baik.
Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)nya. dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri)ku” (HR. Al Hakim).
Allah juga memerintahkan seorang istri agar taat suami. Ketika istri menaatinya, suami harus bersikap ramah dan lembut dalam meminta sesuatu dari istrinya. Hingga andai menginginkan sang istri (untuk diajak berhubungan suami istri) hendaknya ia memilih situasi dan kondisi yang cocok bagi istrinya.
Ketiga, kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. Dalam kehidupan suami istri, kadang terjadi masalah yang membuat suasana tidak baik. Untuk menyelesaikannya, Allah SWT menetapkan kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An-Nisa: 34).
Tanggung jawab dan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga bukan berarti suami boleh bertindak otoriter atau seperti penguasa yang tidak boleh dibantah. Namun bermakna pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangga, termasuk dalam membimbing dan mendidik istri agar taat pada Allah Taala.
Syariat Islam membolehkan suami bertindak fisik ketika istri nusyuz. Hanya saja, dengan batasan yang sangat ketat. Kebolehan itu tidak boleh menjadi dalih bagi suami untuk melakukan kekerasan hingga menjatuhkan istri dalam kondisi yang membahayakannya. Justru suami wajib melindungi istri agar terhindar dari bahaya.
Keempat, penetapan mekanisme penyelesaian masalah dalam rumah tangga. Ketika terjadi persengketaan yang mengancam ketenteraman, Islam mendorong mereka bersabar memendam kebencian yang ada. Ini karena bisa jadi pada kebencian itu terdapat kebaikan.
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An Nisa: 19).
Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga (dari keluarga suami istri) yang membantu menyelesaikan ketika keduanya tak mampu mengatasinya. “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An Nisa: 35).
Ketika kedua orang hakam tidak mampu mendamaikan suami istri, saat itu tidak ada ruang lagi untuk mempertahankan kehidupan suami istri tersebut. Kondisi ini dapat disolusi dengan talak (perceraian) yang semoga membuat keduanya memperoleh ketenangan dan mengatasi masalah.
Hanya saja penerapan hukum Islam tidak bisa berhenti di ranah keluarga (individu). Juga butuh kontrol masyarakat dan peran negara.
Kontrol masyarakat terwujud dengan mendakwahkan Islam kepada keluarga Muslim di sekitar kita sehingga mereka paham dan mau menjalankan aturan tersebut. Ketika terjadi pertengkaran, kita bisa menasihati keduanya (suami istri) agar menjadikan Islam sebagai acuan penyelesaian problem rumah tangga.
Sedangkan negara berperan penting dalam menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aturan keluarga. Inilah yang akan mewujudkan masyarakat sejahtera, aman, dan damai, serta lingkungan kondusif bagi terwujudnya keluarga keluarga Muslim taat syariat.
Ketika terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tindakan kekerasan suami yang mengancam keselamatan, Islam menetapkannya sebagai tindak kejahatan (jarimah). Untuk itu, negara akan menerapkan sistem sanksi Islam yang menghukum para pelaku dengan sanksi sesuai.
Demikianlah cara Islam menyolusi persoalan KDRT. Inilah solusi terbaik karena berasal dari Allah Taala. Selayaknya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi bagi problematika umat, bukan kesetaraan gender atau solusi lainnya.
Pustaka
Noeraini, Wiwing, Menyoal KDRT, Bagaimana Islam Menyolusi? muslimahnews.net, 10 Februari 2022
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)