TintaSiyasi.id -- Kemudahan dalam mengakses internet saat ini menjadikan siapa saja khususnya anak-anak rentan terpapar berbagai bentuk hiburan online, termasuk judi online. Fakta bahwa judi online semakin masif di kalangan anak bukanlah rahasia lagi. Berita mengejutkan dilansir liputan6.com pada Juni lalu, yang mengatakan "80 Ribu Anak Indonesia di Bawah Usia 10 Tahun Jadi Pemain Judi Online", sungguh fenomena yang mengkhawatirkan!
Dilansir dari tvonenews.com (30/07/2024), dalam laporan yang dirangkum, dipetakan pemerintah mencapai 2,37 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, 2 persen di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Ada sekitar 2 persen dari pemain. Total 80.000 (usia di bawah 10 tahun) yang terdeteksi”. Kemudian, untuk usia 10-20 tahun ada 11 persen atau lebih kurang 440.000 penduduk. Lalu, sekitar 520.000 penduduk berusia 21-30 tahun atau sekitar 13 persen yang juga menjadi korban.
Dari data di atas jelas bahwa generasi Z dan Alfa sudah terkontaminasi judi online. Generasi Z lahir pada tahun 1997-2012 dan generasi Alfa 2013 sampai sekarang. Ini tak mengherankan, untuk generasi Z sendiri saat ini tengah mendominasi lanskap demografi Indonesia dengan kehadiran sekitar 74,93 juta jiwa atau 30,56% dari total populasi. Keberadaan Gen Z sebagai mayoritas penduduk menjadi harapan perubahan dan kemajuan di masa mendatang.
Namun siapa sangka, potensi Gen Z saat ini juga dimanfaatkan oleh para bandar sebagai sasaran empuk judol. Hal ini terbukti dari besarnya angka keterlibatan Gen Z dalam aktivitas haram ini. Begitupun dengan generasi setelahnya, yaitu generasi Alfa yang dianggap memiliki potensi besar dalam hal pemberdayaan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung.
Keterlibatan generasi muda dalam aktivitas judol merupakan bentuk awal akibat kurangnya kontrol diri sehingga mereka mencari pelarian dari sebuah ledakan karena kemarahan, kesepian, kelelahan, ataupun stres karena keadaan. Mereka dinilai ingin mencari sebuah kebahagiaan. Sebab judi online dinilai dapat memunculkan dopamine yang berpengaruh terhadap munculnya perasaan yang menyenangkan. Hal ini berkaitan pula dengan isu quarter life crisis yang menyebabkan pencarian jati diri.
Mengapa Makin Marak?
Judol merupakan permasalah sistemik yang perlu ditangani secara serius oleh berbagai pihak khususnya negara sebagai pembuat kebijakan. Tidak dimungkiri memang ada beberapa upaya yang dilakukan penguasa untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya dengan membekukan akun-akun judol, pembentukan Satgas Judi Online yang tertuang dalam Keppres No. 21 Tahun 2024 yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Kemenag pun tidak ketinggalan dengan membuat program edukasi dan penyuluhan pada calon pengantin, demikian halnya BKKBN menyerukan program penguatan dalam keluarga. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun mengusulkan agar penerima dana bansos yang menyalahgunakannya untuk berjudi agar dicabut dari daftar penerima bansos. Apakah semua upaya ini mampu mencegah makin berkembangnya judol? Ternyata tidak! Mengapa?
Berbagai upaya yang dilakukan memang harus diapresiasi. Akan tetapi, jika kita telusuri, sesungguhnya upaya ini hanya tambal sulam, bahkan memunculkan masalah baru karena memang tidak menyentuh akar masalah. Akun judol diblokir, ternyata akun perjudian baru pun terus muncul dengan berbagai bentuk dan kedok. Mirisnya lagi, masyarakat pun seolah tidak ada kapoknya terus berhubungan dengan judol.
Tidak bisa dimungkiri juga bahwa maraknya judol hari ini bukan semata karena masalah kemiskinan, tetapi lebih dari itu. Gaya hidup hedonistik masyarakat negeri ini sudah makin parah, budaya flexing di media sosial pun sudah menjadi hal lumrah. Akhirnya, judol yang dipilih sebagai jalan pintas, ingin cepat kaya tanpa perlu kerja keras.
Maraknya judol ini memang tidak bisa dilepaskan dari karut-marutnya sistem kehidupan yang kini sedang diterapkan. Yakni sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan. Sekularisme dengan paham-paham batil turunannya, seperti liberalisme dan materialisme yang diemban negeri ini, memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit.
Selain itu, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah menjadikan Islam hanya dipahami sebatas ritual. Wajar jika tidak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup hingga mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Berbagai permasalahan yang berakar pada rusaknya sistem kehidupan yang dianut menjadikan rakyat mengambil jalan pintas, di satu sisi mudah terbujuk oleh iming-iming judol yang sebenarnya juga penuh spekulasi. Di sisi lain, para pemilik akun judol pun mengambil cara mudah untuk mendapatkan uang atau materi, tanpa berpikir yang mereka lakukan itu merugikan orang ataukah tidak, sesuai dengan syariah atau tidak. Semua dilakukan semata agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya materi demi bisa hidup enak.
Fakta ini menunjukkan bahwa maraknya judol tidak hanya terkait masalah kemiskinan, budaya, dan hukum, melainkan lebih bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyatnya bahkan terhadap seluruh kerusakan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, pembentukan satgas, diblokirnya akun, pelatihan bagi calon pengantin, dan sebagainya, tidak akan mampu menjadi solusi masalah judol ini karena tidak menyentuh akar permasalahan.
Islam Sebagai Solusi
Untuk memberantas kasus judi online dibutuhkan sebuah sistem yang memiliki aturan mekanisme yang jitu, dan hal itu hanya terdapat dalam sistem Islam yang diterapkan secara sempurna. Islam mampu mencegah dan memberantas setiap pelanggaran hukum dengan aturan Islam yang berasal dari Sang Pencipta. Yang perlu dipahami aturan Islam tegak di atas tiga pilar, yaitu: ketakwaan individu, masyarakat yang saling peduli, dan negara/pemerintahan yang menerapkan syariat Islam kaffah.
Islam kaffah akan melahirkan ketakwaan individu yang tinggi dalam diri siapa pun, ini merupakan dampak dari penerapan sistem pendidikan yang berbasis pada akidah Islam yang kuat, yang menjadikan seseorang menjadi pribadi yang khas yang berkepribadian Islam. Seseorang dengan ketakwaan yang tinggi tentu akan selalu merasa takut untuk melakukan kemaksiatan, karena ia sadar setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah. Hal ini akan menutup celah terjadinya kemaksiatan atau pelanggaran hukum syariat lainnya. Islam kaffah juga akan mewujudkan masyarakat yang khas, masyarakat yang islami, yang terbiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Masyarakat seperti ini memiliki rasa saling peduli, hal ini lahir dari dorongan keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Di dalam Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali mengatakan: "Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”. Sekilas, statemen yang dilontarkan Imam Al-Ghazali tersebut mengarah kepada pemahaman bahwa antara agama dan negara merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Dengan artian, keduanya saling membutuhkan untuk saling memperkokoh antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, umat Islam membutuhkan sebuah institusi pemerintahan yang mampu menerapkan hukum-hukum Allah, mengingat kekuasaan dalam Islam digunakan untuk melaksanakan seluruh syariat-Nya.
"Sesungguhnya seorang imam atau khalifah itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan dalam Islam jelas bukan hanya sekadar mengurus urusan rakyatnya melainkan juga berfungsi sebagai "junnah" atau pelindung. Oleh karenanya, khalifah wajib mengupayakan perlindungan terhadap rakyatnya dari berbagai serangan baik fisik maupun pemikiran yang mengancam umat. Pemerintahan dalam Islam, yakni Daulah Khilafah akan menjadikan halal-haram sebagai standar hukumnya, Islam bukan hanya akidah ruhiyah melainkan sebuah akidah politik. Politik dalam Islam adalah riayah suunil ummah (mengurus seluruh urusan rakyat), termasuk dalam aspek hukum.
Oleh karena itu, Daulah Khilafah akan memberikan sanksi tegas dan setimpal bagi para pelaku judol. Selain itu, upaya pemerintah dalam mengentaskan masalah judol yakni diantaranya dengan melakukan edukasi tentang haramnya dan dampak buruk judi, melarang setiap bentuk dan menutup seluruh akses perjudian, termasuk mengontrol dan membersihkan media-media atau platform digital dari berbagai situs judi online atau dari segala hal yang menghantarkan pada aktivitas haram tersebut, serta menyejahterakan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Allah Ta'ala berfirman, dalam QS Al Maidah ayat 90-91 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Menurut mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in, judi (al-maisir) adalah semua perkara yang melibatkan taruhan, baik melalui permainan dadu, catur, dan lain sebagainya, maka itu adalah judi. Sampai-sampai anak kecil yang bermain dengan buah kenari dan kubus. Kecuali yang dibolehkan pada hadiah yang dipertaruhkan dalam suatu perlombaan (al-rihaan) berkuda dan undian untuk menentukan hak . Imam Malik berkata, “Judi (al-maisir) ada dua : maisir al-laghw dan maisir al-qimaar. Yang termasuk maisir al-laghw adalah permainan dadu, catur, dan semua alat hiburan (alat musik). Sedangkan maisir al-qimaar adalah semua hal yang memberikan dampak buruk kepada manusia, dan semua hal yang di dalamnya melibatkan taruhan”. [Imam Syaukani, Fath al-Qadiir, juz 1/220].
“Setiap permainan yang di dalamnya ada taruhan, maka diharamkan, apapun permainannya. Permainan seperti ini termasuk al-maisir (judi) yang telah Allah swt perintahkan untuk menjauhinya. Barangsiapa mengulang-ulangi hal itu, maka kesaksiannya ditolak”. [Imam Ibnu Qudamah, al-Mughniy, Juz 23/177. Maktabah Syamilah]
Adapun sanksi atau hukuman untuk para pejudi masuk pada kategori ta'zir, yakni hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim (qadhi). Ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku kemaksiatan agar ia menyadari perbuatan jarimah (pelanggaran)nya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Sanksi tegas dan setimpal dipastikan akan memberikan efek jera bagi yang lain, sehingga bisa menjadi pencegah agar tidak ada yang melakukan tindakan kriminal serupa.
Demikianlah Islam sebagai sistem tangguh pencegah terjadinya kasus judi online. Berharap sanksi tegas terhadap pelaku judol dalam sistem sekuler adalah hal yang sia-sia. Alih-alih memberantas judol, sistem ini justru menjadi penyebab munculnya berbagai masalah yang ada. Maka dari itu, sebagai umat Islam kita sudah seharusnya sadar bahwa Islam sajalah yang mampu mencegah dan memberantas kasus judi online hingga ke akarnya. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
Pemerhati Sosial dan Media