TintaSiyasi.id -- Normalnya seorang ibu itu tidak ingin jauh dari anaknya. Apalagi anaknya masih bayi merah. Bayangkan saja, Sang ibu baru saja bertaruh nyawa untuk melahirkan, bagaimana mungkin dia tega menyerahkan bayinya pada orang lain.
Namun, nyatanya desakan ekonomi mampu mengalahkan naluri keibuan ini. Sebagaimana yang terjadi di Medan. Seorang ibu (27) tega menjual bayi yang baru dilahirkannya pada Selasa (6/8/2024). Si ibu mengaku terpaksa menjual bayinya seharga Rp 20 juta karena kesulitan ekonomi. (Kompas.com, 14-08-2024)
Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa seorang ibu tega menjual bayinya? Jika memang karena desakan ekonomi, di mana ayah si bayi yang harusnya menanggung nafkah istri dan anaknya? Jika memang sang ayah kesulitan dalam menafkahi, di manakah kerabat dan saudaranya yang harusnya saling menolong saudaranya? Dan di manakah peran negara yang harusnya memudahkan rakyatnya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya?
Kapitalisme Menggerus Fitrah Ibu
Perasaan ingin dekat dengan anak ialah naluriah yang alami ada pada setiap manusia, khususnya seorang ibu. Ia merupakan perwujudan gharizah nau' (naluri menyayangi) yang diciptakan Allah agar manusia dapat terus melestarikan kehidupannya. Naluri ini juga ada pada hewan. Makanya, bisa kita lihat, hewan pun sayang pada anak yang baru dilahirkannya. Lalu apa bedanya hewan dengan manusia? Bedanya, Allah menciptakan akal pada manusia agar naluri menyayangi ini dapat terpenuhi dengan cara yang benar.
Namun, sayangnya fitrah menyayangi dan akal yang mengarahkan kebenaran ini ternyata bisa tunduk pada nafsu atas dunia. Kondisi ekonomi yang sulit menuntut manusia untuk mempertaruhkan apapun yang dia punya. Ditambah gaya hidup hedonisme menjadikan manusia gelap mata. Ingin mendapatkan cuan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa peduli halal maupun haram.
Gaya hidup hedonisme dan kondisi ekonomi yang memiskinkan rakyat kecil ini bersumber dari ideologi kapitalisme sekuler. Ideologi kapitalisme sekuler ini adalah paham yang mengesampingkan nilai-nilai agama. Paham yang menjadikan uang adalah segalanya. Paham yang melarang Sang Pencipta ikut campur dalam urusan kehidupan manusia. Tuhan hanya boleh mengatur urusan ibadah ritual semata.
Karenanya, tidak heran dalam sistem ini, Banyak orang yang haji berkali-kali tapi korupsi. Banyak orang rajin puasa sunnah tapi memakan riba. Banyak orang yang rajin baca al-Qur'an tapi berzina. Banyak orang yang shalat tapi membuang atau menjual bayinya.
Sistem yang memiskinkan rakyat kecil ini juga menjadikan kondisi ekonomi semakin sulit. Kebutuhan hidup serba mahal. Berbagai pelayanan publik harus bayar. Semuanya butuh uang. Fungsi negara yang mestinya menjadi pelayannya rakyat (khadimul ummah) justru diabaikan. Bukannya melayani, tapi negara justru berbisnis dengan rakyat sendiri. Ketimpangan ekonomi ini mendesak rakyat untuk mendapatkan uang dengan berbagai cara, termasuk menjual bayinya.
Ideologi kapitalisme sekuler ini pula yang melahirkan sistem pendidikan sekuler. Di mana orientasi pendidikan adalah materi. Tidak ada landasan aqidah yang mendasari pendidikan. Sehingga, wajar saja outputnya ialah manusia yang siap kerja, siap dipekerjakan. Bukan manusia yang siap mental melanjutkan visi hidup ke depan. Mereka tidak siap menjadi ayah, tidak siap menjadi ibu, tidak siap mengasuh dan mendidik anaknya, serta tidak siap menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Walhasil, terjadilah para ibu yang menjual anaknya karena takut miskin.
Islam Menjamin Kehidupan Ibu dan Anak
Islam memuliakan para perempuan dan menjamin kesejahteraan mereka serta anaknya. Tidak ada kewajiban bekerja bagi perempuan. Sejak dia kecil, ayahnya yang wajib menafkahinya. Setelah menikah, maka suaminya yang wajib menafkahi dia dan anak yang dilahirkannya. Jika suami telah tiada, maka nafkah si perempuan dan anaknya ini kembali pada walinya masing-masing. Jika walinya tidak mampu, maka negara lah yang bertanggung jawab membantunya agar mampu untuk menafkahi.
Jika walinya tetap tidak bisa menafkahi karena sakit atau udzur syar'i lain, maka negara wajib menanggung nafkah bagi para perempuan dan anak-anak tadi.
Islam mengatur kepemilikan. Di antaranya ada kepemilikan umum, kepemilikan individu, dan kepemilikan negara. Masing-masing tidak bisa dipertukarkan. Sehingga, dalam Islam tidak boleh ada kasus milik individu dipaksa (dirampas) oleh negara. Tidak boleh ada orang-orang berduit yang menguasai sebagian besar sumber daya alam milik umum hingga banyak orang yang tidak bisa menikmati sumber daya alam tersebut. Walhasil, dalam Islam distribusi kekayaan merata, tidak hanya terhimpun di kantong-kantong atau rekening segelintir orang saja. Hal ini meminimalisir kriminalitas yang mengatasnamakan 'demi ekonomi' sebagaimana yang terjadi pada ibu yang menjual bayinya tadi.
Pendidikan dalam Islam juga harus berlandaskan aqidah Islam. Sehingga setiap orang paham bahwa tujuan hidupnya bukan sekedar mencari uang. Tapi tujuan utama hidup ialah meraih ridha Allah ta'ala. Sehingga, tidak ada yang berani melakukan hal yang tidak diridhai Allah seperti menjual anaknya.
Islam merupakan sistem kehidupan yang lengkap. Penerapan Islam secara sempurna akan membawa kebaikan bagi seluruh alam. Allahu a'lam bish shawab.
Oleh: Kholila Ulin Ni'ma, M.Pd.I.
Analis Mutiara Umat Institute