Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Jokowi Minta Maaf, Pamong Institute: Kabar Baik, tapi Kabar Buruknya Diucapkan Oleh...

Selasa, 13 Agustus 2024 | 09:59 WIB Last Updated 2024-08-13T03:00:21Z
TintaSiyasi.id -- Menanggapi permintaan maaf Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya pada acara Zikir dan Doa Kebangsaan di Istana Merdeka, Kamis (1/8), Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengatakan itu kabar baik, tetapi kabar buruknya permintaan itu disampaikan oleh pemimpin yang kerap ingkar janji.

"Ini kabar baik. Kabar buruknya, diucapkan oleh pemimpin yang dalam konteks ini sering mengingkari janjinya atau ucapan-ucapannya. Itu kabar buruknya. Jadi, jangan-jangan cara membacanya harus terbalik lagi seperti bagaimana yang sering diungkapkan para netizen," ungkapnya di kanal YouTube Khilafah News: Bung Roky Tanggapi Permintaan Maaf Presiden Jokowi, Sabtu (10/82024).

Jika ada pemimpin mengakui kesalahan dan kelemahan hingga minta maaf kepada rakyatnya, dinilai Wahyudi sebagai kabar baik karena berarti mengoreksi dirinya. Sebab, pemimpin yang baik memang semestinya harus sering mendengarkan masukan dari masyarakat. Akan tetapi, ketika permintaan maaf itu disampaikan oleh pemimpin yang ingkar janji, ia khawatir maknanya berkebalikan menjadi sedang tidak meminta maaf dan tidak mengakui kesalahan. 

Diikuti Perbaikan

Karena itu, selain harus diucapkan dengan tulus, permintaan maaf Jokowi, menurut Wahyudi perlu diuji apakah ditindaklanjuti dengan tindakan perbaikan atau tidak di sisa masa jabatannya sebelum lengser.

"Kalau habis minta maaf tetapi kebijakan, keputusan-keputusannya masih sama seperti yang dulu-dulu, berarti maafnya, palsu. Kan gitu pastinya. Kalaupun dia bertobat, tobatnya tidak nasuha. Jadi ini perlu kita ukur lagi. Kalau sudah minta maaf, kita uji lagi benar enggak permintaan maaf itu diikuti dengan tindakan-tindakan perbaikan ataupun pertobatan," ujarnya.

Ia mencontohkan, untuk pertobatan pemimpin yang keliru mengambil keputusan terhadap individu ataupun kelompok, di samping permintaan maaf disampaikan kepada orang ataupun kelompok tersebut, harus ditindaklanjuti dengan memperbaiki keputusannya.

"Misalnya, dia membubarkan ormas dan mencabut ormas, mengeluarkan Perppu yang ternyata itu juga keliru, maka dia tidak cukup sekadar meminta maaf, tetapi dia juga harus memperbaiki keputusannya. Misalnya, dulu mencabut BHP HTI atau membuat FPI tidak bisa memperpanjang SKT-nya dan seterusnya, itu harus diperbaiki. Diperbaikinya bagaimana? Kalau dia tahu bahwa dia harus minta maaf maka keputusan yang kemarin itu harus dianulir kembali," terangnya. 

Jika perbaikan itu tidak dilakukan, lanjutnya, permintaan maafnya palsu. "Maafnya tidak serius atau hanya formalitas. Tadi, hanya lip service ataupun manis di bibir tetapi tidak dilakukan sesuai konsekuensinya. Namanya orang minta maaf itu, kan mengakui kesalahan. Kalau sudah mengakui kesalahan, maka perbaikilah kesalahannya itu," nasihatnya.

Sementara itu, jika kebijakannya itu menzalimi banyak orang, Wahyudi mengingatkan, pemimpin harus minta maaf kepada seluruh publik yang terzalimi. Menurutnya, efek perkara ini bukan hanya di dunia, tetapi urusannya sampai ke akhirat.

"Permintaan maaf itu memang ada konsekuensi sebegitu jauh. Jadi, berat itu jadi pemimpin. Karena kesalahannya, satu saja membuat kebijakan yang keliru, maka efeknya bisa banyak orang yang terzalimi. Kalau dia berbuat kebijakan yang baik, satu saja, maka banyak orang yang akan menjadi baik. Kalau dia membuat keputusan dan kebijakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, maka dia harus bertobat. Selain itu dia minta maaf kepada orang-orang yang terdampak dengan itu," tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, ketika kesalahan pemimpin itu kepada Allah, kebijakannya bertentangan dengan hukum-hukum Allah dan melanggar larangan Allah, misalnya mengizinkan peredaran minuman keras, membiarkan perjudian padahal Allah melarang, maka harus bertobat kepada Allah, sekaligus mencabut perizinan. Jika tidak, berarti permaafannya di depan publik palsu. 

"Saya pikir inilah yang harus diingatkan bahwa tidak sekedar minta maaf. Minta maaf itu perlu, tapi tidak hanya sekadar formalitas. Harus ada efek berikutnya, yaitu tanggung jawab selanjutnya terhadap pernyataan-pernyataan tersebut," ungkapnya.

Salah Alamat

Sementara itu, terkait adanya pihak yang menyeru masyarakat agar menerima permohonan maaf dan mengubur ketersinggungan terhadap Jokowi selama menjabat sebagai presiden, Wahyudi menilai hal itu salah alamat. Karena menurutnya, justru terkesan membela rezim, padahal yang mestinya dilakukan adalah menasihati rezim agar tidak berbuat zalim ataupun membuat keputusan yang menyusahkan masyarakat.

"Sebenarnya yang harus dikoreksi, yang harusnya dia nasehati itu adalah penguasa atau rezim. Jadi kalau justru mendorong kepada masyarakat untuk berpihak kepada rezim agar memaafkan atau tidak membenci rezim dan seterusnya, ini ucapan atau tindakan atau harapan yang salah alamat. Kenapa? karena memang semestinya itu dialamatkan kepada rezim," ujarnya.

Sekalipun memang benar ada kewajiban saling menasihati di masyarakat, tetapi Wahyudi menegaskan, terkait kebijakan rezim justru ada kewajiban untuk melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Jika keputusannya menyusahkan rakyatnya, harus segera dinasihati. Bukan justru rakyat yang diminta memaafkan, sementara kebijakannya tidak dicabut sehingga terus-menerus menyengsarakan rakyat.

"Rakyat itu tidak bisa menzalimi penguasa. Dia tidak bisa membuat keputusan yang membuat penguasa susah. Justru penguasa itulah yang akan membuat keputusan atau membuat kebijakan yang bisa menyusahkan atau membahagiakan rakyatnya," pungkasnya. [] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update