TintaSiyasi.id -- Hati siapa yang tidak teriris, remuk dan hancur setelah melihat video viral yang beredar dijagat media sosial. Video yang berisi adegan kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya adalah salah satu selebgram tanah air. Seperti diketahui, selebgram tersebut baru beberapa hari melahirkan. Miris sekali, bukannya mendapatkan perhatian dan dukungan pasca melahirkan, nahasnya ia justru mendapat pukulan yang membabi buta dari suami. Sumpah serapah netizen pun tak terbendung lagi melihat kelakuan biadab sang suami.
Isu KDRT memang makin kesini makin marak terjadi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan sejak awal hingga pertengahan tahun 2024 terdapat 15.459 kasus kekerasan. sebanyak 13.436 dialami oleh perempuan dan 3.312 oleh laki-laki. Patut diduga data ini belumlah semua, bisa jadi yang tidak melaporkan atau tidak diketahui lebih banyak lagi.
Sebenarnya kasus KDRT layaknya fenomena gunung es. Bentuk kekerasannya pun beragam, tidak hanya kekerasan fisik (ditendang, dipukuli, dicekik dsb), kekerasan psikis (kata-kata kasar, hinaan, caci maki), kekerasan seksual bahkan hingga pembunuhan.
Gambaran sebuah pernikahan memang tidak luput dari selisih paham. Namun terlepas apa pun pemicu pertengkaran. Di dalam Islam, tidak dibenarkan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga karena itu termasuk perbuatan dosa.
Bila dicermati, sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk menekan kasus KDRT seperti yang tertera dalam undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT). Namun, realitanya kasus KDRT terus mengalami peningkatan setiap tahun. Bahkan kasusnya bisa berakhir pada tindak kriminal, tidak sedikit kasus KDRT yang berujung maut, suami bunuh isteri dan sebaliknya.
Lalu kenapa upaya pemerintah tidak kunjung menyelesaikan kasus KDRT? Perlu kita pahami, bahwa sebenarnya aturan yang dibuat pemerintah dibangun dengan landasan sekularisme. fenomena kekerasan dalam rumah tangga memang mesti dicermati secara mendasar dan menyeluruh. Sistem kehidupan yang sedang diemban negeri ini adalah sekularisme.
Sistem yang menjauhkan manusia dari aturan agama. Akibatnya, saat ini banyak rumah tangga tidak berjalan sesuai dengan harapan yang berakhir hancur berantakan. Banyak aturan-aturan agama yang mengatur urusan rumah tangga malah diabaikan. Justru paradigma liberal yang dilestarikan dalam sistem sekularisme saat ini.
Adapun pemicu terjadinya KDRT bukan hanya dari faktor internal (fondasi akidah/ keimanan lemah) tapi juga eksternal (lingkungan). Bisa dibayangkan kalau keimanannya lemah ditambah lingkungan yang mendewakan kebebasan. Maka tidak mengherankan lagi rusaknya hubungan pernikahan, misalnya bisa berawal dari perselingkuhan yang kemudian berujung KDRT.
Kita bisa melihat, aturan agama hanya diberi ruang saat seremonial ketika melangsungkan akad pernikahan namun dimarginalkan saat menjalani kehidupan berumahtangga. Sedangkan Islam memberi perhatian yang cukup besar terhadap ikatan pasangan suami isteri, sampai-sampai Allah memberi istilah mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kuat) sebagaimana yang ada dalam firmannya surah An-Nisa ayat 21 yang berbunyi, "Dan mereka (Isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."
Begitulah agungnya sebuah ikatan pernikahan menurut Islam. Karenanya, sebelum menikah perlu diperhatikan faktor internal terkait membangun fondasi keimanan, tujuan pernikahan, mempelajari hak dan kewajiban sebagai isteri atau suami, cara memahami psikologi pasangan, cara mengendalikan emosi, management konflik dan lain sebagainya.
Karena pernikahan bukan hanya tentang romantisme belaka namun lebih kepada menjalin hubungan layaknya sahabat, sahabat yang akan menemani kita dalam segala kondisi dan keadaan. Menjalani hidup yang penuh suka duka dan yang terpenting menjadi partner yang mau sama-sama belajar untuk taat dalam beribadah, sehingga kelak bisa sehidup sesurga. Perkara yang penting seperti ini sering sekali terlewati dari pembahasan. Padahal pernikahan adalah ibadah terpanjang, yang mestinya butuh persiapan ilmu sejak jauh-jauh hari.
Karenanya, berharap penyelesaian problematika rumah tangga, apalagi yang menyangkut KDRT ini dalam sistem sekularisme ibarat jauh panggang dari api. Karena kasusnya semakin bertambah solusinya tidak menyentuh akar masalah.
Untuk mengatasi ini, bukan hanya menjadi masalah individu suami, istri atau bukan hanya masalah rumah tangga semata. Namun juga ada peran negara yang harusnya bisa menciptakan suasana yang harmoni bagi kehidupan rakyatnya dalam berkeluarga.
Maka peraturan yang akan mengatur kasus KDRT bila disandarkan dengan Islam itu bisa menyelesaikan atau bisa mencegah terjadinya KDRT. Namun kalau landasannya masih pada sekularisme, maka itu tidak akan mampu menyelesaikan justru akan menambah masalah.
Padahal kalau ingin menuntaskan masalah KDRT ini pendekatannya harus mulai dari perkara yang mendasar yakni perkara akidah. Kemudian hukum yang ditegakkan pun hukum yang berasal dari Allah SWT dan telah diemban oleh Rasul-Nya, yakni hukum Islam.
Didalam Islam itu ada hukuman/sanksi yang tegas terhadap pelaku. Pelaku KDRT akan dihukum sesuai dengan apa yang dia lakukan, bila KDRT berujung pembunuhan maka pelaku juga harus dibunuh sesuai atau sama persis dengan apa yang telah dia lakukan, itulah disebut hukum qisas. Tapi berbeda dengan hukum sekular saat ini, landasan dan hukumnya dibangun atas dasar perbuatan manusia yang tidak membuat jera apalagi menjadi pencegah agar tidak terulang hal yang sama.
Maka, kalau kita mau melirik kepada sebuah sistem yang sempurna, pastilah persoalan ini dengan mudah bisa diatasi. Sistem ini telah berhasil dipraktekan selama hampir 14 abad dalam sebuah peradaban yang terdepan dan gemilang. Sistem yang merujuk kepada satu-satunya teladan kita, Rasulullah SAW adalah sistem Islam yang mampu menyolusi apapun juga persoalannya, termasuk memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga. []
Tenira S., S.Sos.
Analis Mutiara Umat Institute