TintaSiyasi.id -- Pengamat Ekonomi Ustazah Nida Sa'adah menanggapi data International Monetary Fund (IMF) yang menyatakan, "Indonesia negara pengangguran tertinggi di Asean, hampir 10 juta Gen Z menganggur, kenapa?” ungkapnya pada Supremacy Channel, Jutaan Gen Z Menganggur, Apa Solusi Islam? Jumat (2/8/2024).
Nida menyebut, data dari BPS bahwa hampir 10 juta Genzi (anak yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012) sampai sekarang masih menganggur. Mereka berada di usia yang produktif, 10 juta Genzi menganggur itu adalah anak-anak muda yang memang betul-betul tidak masuk dalam serapan sektor ekonomi. Dari 9,9 juta itu 5,73 jutanya adalah perempuan dan 4,17 jutanya adalah laki-laki.
“Nah, data ini ramai sekali diperbincangkan kemudian ada respons dari Menteri Ketenagakerjaan bahwa problemnya adalah tidak sinkron antara kurikulum yang berjalan di dunia pendidikan dengan kebutuhan di pasar. Sehingga pemerintah menyatakan akan memastikan membangun pendidikan pelatihan vokasi yang link and match antara pendidikan dengan pasar kerja,” sebutnya
Nida menganalisis, sebetulnya pertanyaan besarnya yang mungkin luput dari perhatian pemerintah atau apa pun itu, dengan tidak keluar statement ke arah sana. Di dunia kerja sendiri ada problem besar, ada banyak pemutusan tenaga kerja, ada PHK, bahkan masal di berbagai lini, termasuk di industri-industri yang menjadi basis pengembangan teknologi.
“Jadi kalau kita lihat sebetulnya di dunia kerja sendiri ada problem ketika ekonomi lesu. Maka, tentu demand atau permintaan konsumen menurun, maka biasanya yang dipangkas oleh dunia kerja itu adalah tenaga kerja manusianya,” sesalnya.
“Nah artinya, kalau pun nanti terjadi link and match, tetapi dari aspek sektor ekonominya tidak ada perubahan, maka pemutusan hubungan kerja masal ini sebetulnya bukannya problem di Indonesia, tetapi problem dunia hari ini secara keseluruhan karena ekonomi dunia ini makin terseok-seok begitu. Sehingga, baik negara maju atau pun negara berkembang, semuanya banyak melakukan pemutusan hubungan tenaga kerja dan itu jumlahnya masal jutaan,” jelasnya.
Kalau didetaili lagi, katanya, bagaimana dalam perspektif Islam tentang situasi tersebut? Memang harus dipilah mana yang menjadi persoalan utama dan mana yang menjadi persoalan sub bidang dari itu. Bisa dikatakan bahwa persoalan utamanya itu justru ada di konsep politik bernegara yang di dalamnya nanti ada aspek pendidikan. Jadi sebetulnya tidak link and match itu yang menjadi persoalan utama. Karena sebetulnya pendidikan itu juga bukan di situ tugas utamanya.
“Tapi persoalan utamanya itu adalah di aspek politik bernegaranya. Kenapa bisa kita katakan demikian?” tanyanya. Jawabnya kalau dari perspektif Islam, maka kita akan menemukan memang ada yang salah dalam perjalanan bernegara negeri ini sampai dengan hari ini. Sebab, Indonesia itu mencanangkan visi Indonesia emas dengan generasi yang tadi, ya sangat banyak yang itu sebetulnya adalah rezeki dari Allah," terangnya.
Menurutnya, ketika ada banyak usia produktif dalam satu negara, tetapi visi misi bernegaranya Indonesia itu didikte oleh negara luar. Jadi dia mengikuti, sedang yang diratifikasi 193 negara termasuk Indonesia, sehingga cara bernegaranya ini tidak mandiri, tetapi mengikuti regulasi tadi yang ada dalam ratifikasi itu.
"Nah, salah satunya adalah dalam bidang pendidikan tinggi. Kalau tadi dikatakan bahwa sekian juta anak-anak lulusan pendidikan tinggi tidak bisa masuk ke serapan dunia tenaga kerja, maka pertanyaan besarnya justru adalah ada apa dengan negara ini? Karena sebetulnya pendidikan tinggi itu kalau di dalam regulasi Islam, dia akan didesain oleh negara untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam desain pembangunan Negara," jelasnya.
Jadi menurutnya, mustahil sekali kalau negara itu memiliki desain tentang bagaimana dia membangun negeri ini ke depan, mustahil akan terjadi tidak terserapnya anak-anak muda itu dalam desain negara tersebut.
Nida melanjutkan, dalam desain negara akan ada banyak sekali. Dalam regulasi Islam, dalam aspek vokasi dalam aset pengembangan riset, aspek pengembangan politik, terutama ke luar negeri, apalagi nanti kalau bicara dalam aspek memenuhi perintah Allah untuk menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad.
"Itu banyak sekali kebutuhan terhadap manusia dan dalam hal ini, apalagi mereka dalam usia yang muda produktif. Maka, pasti dia akan masuk dalam serapan desain pembangunan negara tersebut. Ada pun dalam bidang pendidikan itu memang tidak didesain untuk menyiapkan anak-anak muda yang dibutuhkan dalam dunia industri," terangnya.
Itu katanya, hanya salah satu aspek yang bisa mereka tempuh kalau mereka tidak punya keinginan masuk dalam desain yang tadi ada kebutuhan negara terhadap sumber daya manusia, mereka punya pilihan yang lain. Jadi bisa masuk ke berbagai bidang yang lain di luar dari yang tadi ada memang regulasi negara yang membutuhkan banyak sekali manusia.
“Nah, dalam bidang pendidikan sebetulnya visi utamanya itu adalah menyiapkan manusia memiliki kepribadian yang kokoh. Sehingga pada saat dia masuk usia mukalaf dia siap mengarungi kehidupan dengan struggle, dengan kuat hatinya, kuat mentalnya, kuat serius dia dalam menjalani kehidupan,” paparnya," imbuhnya.
Perempuan dalam regulasi Islam
Jika tadi ada angka 5,7 juta perempuan yang tidak bekerja, kalau dalam regulasi Islam tidak menjadi masalah sama sekali karena nanti kita bicara aspek ekonominya. Bahas dulu dari sisi pendidikannya karena di sini ketika pendidikan berjalan di dalam Islam, kalau perempuan tujuannya tadi mereka disiapkan menjadi sosok-sosok yang tangguh untuk membentuk generasi sumber daya manusia yang kokoh.
“Nah dia disiapkan untuk itu. Sehingga, sebetulnya pada saat dia masuk usia produktif, memang dia siap untuk melahirkan generasi baru. Kalau mereka tidak masuk dalam sektor ekonomi, tidak menjadi masalah bagi negara. Negara tidak punya kebutuhan memungut pajak dari mereka ini, termasuk dari laki-laki," katanya.
Nida mengatakan, berbeda dengan laki-laki yang 4,17 juta tadi, mereka harus disiapkan sistem pendidikannya. Sehingga terbentuklah dia jadi laki-laki yang kuat yang mandiri yang bertanggung jawab pada saat dia masuk usia mukalaf, dia juga siap untuk membiayai dirinya sendiri, dia sadar tentang hal itu.
"Sebab, dia punya tanggung jawab besar di situ, termasuk menyiapkan mereka membangun kesadarannya bahwa dia punya tanggung jawab menafkahi perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya dalam kekerabatannya. Nah itu yang diajarkan dalam konsep pendidikan,” tegasnya.
Kemudian Nida menjelaskan, di jenjang pendidikan tinggi tadi, desain negara ada lima jenis pendidikan tinggi yang itu disiapkan untuk membangun sumber daya manusia yang terampil dan kokoh. Tidak perlu tadi, dia bicara mana dunia industri tidak bisa menyerap saya. Karena ada desain pembangunan yang memang dijalankan oleh negara yang membutuhkan manusia untuk menjalankan rencana dan program pembangunan
Dalam aspek ekonomi justru inilah yang jadi persoalan hari ini yang jika tidak dibenahi, niscaya tidak akan ada perubahan apa pun di semua negara hari ini yang mereka punya problem yang sama yaitu apa? Utangnya tinggi, PHK-nya luar biasa tinggi juga, kemudian kemiskinannya juga tinggi. Dan itu indikator bahwa memang negara ada masalah dengan pembangunan ekonominya.
"Kalau kita simpulkan problem utamanya itu adalah karena sistem ekonominya berbasis ribawi, berbasis sektor non riil, berbasis bunga deposito dan lain-lain, yang itu memang diharamkan di dalam Islam,” sesalnya.
Akhirnya katanya, panjangnya menciptakan sektor ekonomi yang tidak produktif, tidak banyak menyerap tenaga kerja. Berbeda kalau yang dijalankan adalah sektor ekonomi riil bertumpu kepada produksi barang dan jasa riil, tidak ada sektor finansial, tidak ada sektor keuangan, tidak dikembangkan bahkan tidak diperbolehkan itu didirikan. Nah kemudian di saat yang sama juga negara tidak mengambil utang kepada negara luar, sehingga tidak bisa didikte. Investasinya pun juga bertumpu pada keuangan Baitul Mal secara mandiri.
“Maka, jika itu semua dilakukan barulah tadi problem ekonomi ini akan selesai, serapan ekonominya tidak akan buntu dan itu sudah dipraktikkan dalam sistem bernegara yang dibangun oleh Rasul kita Rasulullah Muhammad SAW, dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau dalam negara yang sangat besar yang kita kenal sebagai negara memegang peradaban waktu itu negara Khilafah Islam wallahuam a’lam,” tutupnya. []Titin Hanggasari