Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hukum Demo dalam Fikih Islam

Kamis, 29 Agustus 2024 | 22:56 WIB Last Updated 2024-08-29T15:59:38Z


Tintasiyasi.ID -- Melansir kepada TintaSiyasi.ID tentang Hukum Demo dalam Fiqih Islam, Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. membeberkan terkait pengertian demo, hukum demo di kalangan ulama, dan tarjih terhadap pendapat terkuat hukum demo, Kamis (29/08/2024).

 

“Pokok-pokok bahasan yang akan kita bahas tentang hukum demo dalam Fikih Islam adalah pengertian demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ), hukum demo di kalangan ulama, dan tarjih (memilih pendapat terkuat),” tuturnya.

 

Pengertian Demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ)

 

Demonstrasi (al-muzhâharât) adalah penyampaian pendapat atau perasaan di hadapan publik secara berjemaah baik kepada penguasa, partai politik, maupun kepada pihak-pihak lainnya.

(Abdurrahman Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 6; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl Al-Syar’i Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm. 3).

 

Hukum Demo di Kalangan Ulama

 

Pendapat pertama, mengharamkan demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ), misalnya pendapat Syekh Nashiruddin Al-Albani, Syekh Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Shalih Al-Fauzan.

 

Alasan keharamannya antara lain:

1)      Demo dianggap pemberontakan kepada penguasa (al-khurûj ‘ala waliy al-amr). 

2)      Demo banyak menimbulkan berbagai penyimpangan syariah, seperti ikhtilât (campur baur pria dan wanita) dan berbagai madarat (seperti perusakan fasilitas publik).

3)      Demo dianggap bertentangan dengan hadis yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin secara terbuka, yaitu hadis dari Iyadh bin Ghanam ra., bahwa Nabi saw. bersabda:


مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ


Barangsiapa hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu. (H.R. Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).

 

Pendapat kedua, membolehkan demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ) dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ziyad Ghazzal, Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari, dan Syekh Muhyiddin Al-Qarahdaghi.

 

Alasan mereka membolehkan demonstrasi antara lain:

1.      Demonstrasi dianggap sebagai salah satu cara/teknik (uslûb) dalam melakukan amar makruf nahi mungkar atau menyampaikan nasihat kepada penguasa.

2.      Namun bolehnya demo disertai syarat-syaratnya, antara lain: tujuan demonstrasi harus syar’i, tidak disertai ikhtilât, tidak boleh merusak fasilitas publik, tidak boleh menggunakan kekerasan/senjata.

 

Demikianlah pemetaan berbagai mazhab (pendapat ijtihad) para ulama seputar hukum demo (al-muzhāharāt).

 

Rujukan-rujukannya, silakan lihat:

1.      Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhāharāt fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 14-47;

2.      Ziyad Ghazal, Masyrû’ Qânûn Al-Ahzâb fî Ad-Dawlah Al-Islâmiyyah, hlm.15-27;

3.      M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 39-59;

4.      Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl Al-Syar’î Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm.5-19. 

 

Tarjih (Memilih Pendapat yang Paling Kuat Dalilnya)

 

Pendapat yang râjih (lebih kuat dalilnya) adalah pendapat yang membolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat tertentu.

 

Hal ini dikarenakan bolehnya demonstrasi sesungguhnya sudah tercakup dalam dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar makruf nahi mungkar atau dalil-dalil umum yang mensyariatkan menyampaikan nasihat kepada penguasa. (M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 5).

 

Dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar makruf nahi mungkar tersebut, misalnya firman Allah Swt.:

 

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

 

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran: 104).

 

Selain itu juga terdapat dalil-dalil umum dari hadis Nabi saw. yang mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar makruf nahi mungkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada pemimpin (muhâsabah al-hukkâm), misalnya sabda Rasulullah saw.:

 

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

 

Pemimpin para syuhada (di surga kelak) adalah Hamzah bin Abdil Muthallib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan Imam (Khalifah) yang zalim, lalu laki-laki itu melakukan amar makruf nahi mungkar kepada Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya. (H.R. Al-Hakim, Al-Mustadrak, no. 4884, hadis sahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah Ash-Shahîhah, no. 374).

 

Selain itu, juga terdapat dalil umum yang mensyariatkan amar makruf nahi mungkar kepada pemimpin yang zalim, dan bahkan perbuatan ini disebut afdholul jihâd (seutama-utama jihad) oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam hadis berikut:

 

عَنْ أبي سعيدٍ الخدري - رضي الله عنه- عنِ النَّبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: أفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ. رواه أبو داود، والترمذي، وقال: حديث حسنٌ

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) di hadapan penguasa yang zalim.” (H.R. Abu Dawud, no. 4344, Ibnu Majah, no. 4011, dan Tirmidzi, no. 2174. Imam Tirmidzi berkata, ”Ini adalah hadis hasan”).

 

Dalil-dalil umum di atas merupakan dalil wajibnya melakukan amar makruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada para pemimpin/penguasa (muhâsabah al-hukkâm), dengan berbagai macam cara/teknik (al-uslûb) yang dibolehkan syariah, yang salah satunya adalah dengan cara melakukan demonstrasi (al-muzhâharât).

 

Mengomentari dalil-dalil tersebut, Syaikh Muhammad Abdullah Al-Mas’ari berkata bahwa nas-nas hadis tersebut bersifat mutlak, yakni tidak membatasi cara tertentu dalam menasihati nasihat penguasa. (Muhammad Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 60).

 

Namun bolehnya demonstrasi tersebut wajib dibatasi dengan 3 (tiga) syarat agar tidak terjadi penyimpangan syariat, yaitu:

Pertama, tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah, misal mengajak penguasa menerapkan syariah Islam secara kâffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Dalil untuk syarat ini kaidah fiqih yang berbunyi:


 اَلْوَسَائِلُ تَتَّبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا


“Al-Wasa`il tattabi’u al-maqashid fi ahkamiha”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausû’ah Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99).

Kedua, demonstrasi yang dilaksanakan wajib dilaksanakan secara damai, yakni tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata, misalnya membakar fasilitas publik (seperti halte bus umum), menggunakan senjata tajam, senjata api, bahan peledak, dsb.

Dalilnya adalah larangan Nabi SAW untuk menggunakan senjata dalam menasihati penguasa:


 مَن حَمَلَ عَلَيْناَ السِّلاحَ فَلَيْسَ مِنَّا


Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami maka dia bukanlah golongan kami. (man hamala ‘alaynâ as-silâh falaysa minna). (H.R. Bukhari, no. 6480, Muslim, no. 161).

Ketiga, demonstrasi yang dilakukan tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah, misalnya merusak fasilitas publik, melakukan ikhtilâth (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya), dan melakukan tabarruj (perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh).

 

Dalil untuk syarat ketiga ini adalah dalil-dalil umum yang telah melarang melakukan segala hal yang diharamkan syariah Islam.

 

Benarkah Mengkritik Pemimpin Harus Diam-Diam?

 

Sebagian ulama ada yang mengharamkan demonstrasi berhujah dengan dalil yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin secara terbuka. Dalil tersebut adalah hadis dari Iyadh bin Ghanam ra., bahwa Nabi saw. bersabda:

 

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

 

Barangsiapa hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu. (H.R. Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).

 

Jawabannya:

 

Hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah (dalil) bahwa mengkritik pemimpin wajib secara diam-diam atau haram dilakukan secara terbuka, berdasarkan 2 (dua) alasan sebagai berikut:

Pertama, hadis ini merupakan hadis dhaif (lemah) sehingga tidak sah untuk dijadikan hujjah.

Kedua, katakanlah hadis itu sahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah dicontohkan oleh para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

 

Pertama, hadis ini merupakan hadis daif (lemah) sehingga tidak sah untuk dijadikan hujah, berdasarkan dua alasan:

(1)  Sanadnya terputus (inqitha’), yaitu periwayat hadis bernama Syuraih bin Ubaid tidak mendengar (samâ’) hadis ini secara langsung dari Iyadh bin Ghanam, dan

(2) ada periwayat hadis yang dinilai lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyâsy.

(M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 41-43).

Kedua, katakanlah hadis itu sahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw. yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

 

Mari kita perhatikan beberapa contoh shahabat Nabi saw. yang mengkritik para khalifah secara terbuka di muka umum:

Diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar ra., ketika menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin Khaththab tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal ra. memprotes dengan berkata:


لَتَقْسِمَنَّهَا أَوْ لَتَتَضَارَبَنَّ عَلَيْهَا بِالسَّيْفِ


Kamu harus benar-benar membagi tanah itu atau kamu harus mengambil tanah itu dengan pedang!” (H.R. Baihaqi, no 18764, hadis sahih).

 

Hadis ini menunjukkan Bilal telah mengkritik Khalifah Umar bin Khaththab secara terbuka di hadapan umum.

(Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fi Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah ra., bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum zindik. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra., maka berkatalah Ibnu Abbas ra.:


 لَوْ كُنْتُ أَناَ لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (لاَ تُعّذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ كَماَ قاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فاَقْتُلُوْهُ


Kalau aku, niscaya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi saw. telah bersabda, ”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi saw., ’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.’ (H.R. Bukhari, no. 2854 & 6524).

Hadis ini juga jelas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib secara terbuka. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).


Berdasarkan dalil-dalil syar’i yang diuraikan di atas, boleh hukumnya melakukan demonstrasi untuk mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum, asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang sudah diterangkan di atas, yaitu :

Pertama, tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah,

Kedua, demonstrasi tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata,

Ketiga, demonstrasi tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah.

 

Kesimpulannya, boleh hukumnya demo menurut syariah untuk mengkritik penguasa secara terbuka, asalkan memenuhi syarat-syaratnya.

 

Boleh juga mengkritik penguasa dengan berbagai cara di berbagai forum yang seluas-luasnya, misal di berbagai pengajian di masjid-masjid, kajian-kajian Islam di kampus, obrolan-obrolan santai di pasar, warung kopi.

 

Termasuk juga boleh mengkritik penguasa via berbagai platform media apa pun juga yang memungkinkan, seperti video di Youtube, atau menulis artikel di koran, majalah, buletin Jumat, dan lain-lain, khususnya melalui media sosial (medsos), seperti WA (Whatsap), Facebook, X (ex Twitter), TikTok, dan sebagainya. Wallāhu a’lam.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update