Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hancurnya Demokrasi di Indonesia dengan Duit dan Menghalalkan Segala Cara

Jumat, 23 Agustus 2024 | 17:43 WIB Last Updated 2024-08-23T10:43:31Z

TintaSiyasi.id -- Hancurnya demokrasi di Indonesia sering kali dikaitkan dengan kekuatan uang dalam politik dan praktik-praktik tidak etis yang menghalalkan segala cara. Fenomena ini dikenal sebagai "politik uang" atau "money politics", di mana para elit politik menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan dukungan, baik dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan legislatif.

Beberapa bentuk penghancuran demokrasi di Indonesia melalui uang dan tindakan tidak etis meliputi:

1. Politik Uang dalam Pemilu: Banyak kandidat politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, mengandalkan praktik politik uang untuk memenangkan suara. Ini bisa berupa pemberian uang, sembako, atau barang-barang lainnya kepada masyarakat sebagai imbalan untuk dukungan politik. Praktik ini merusak prinsip demokrasi karena suara rakyat tidak lagi dipilih berdasarkan visi, misi, atau kompetensi calon, melainkan atas dasar uang.

2. Korupsi yang Sistemik: Setelah terpilih, para pejabat yang sebelumnya menggunakan uang untuk memperoleh jabatan sering kali merasa perlu "mengembalikan modal" melalui korupsi dan penyelewengan anggaran. Ini memperparah kualitas pemerintahan dan menghambat pembangunan, karena kebijakan yang diambil lebih berfokus pada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kepentingan rakyat luas.

3. Manipulasi Hukum dan Regulasi: Dalam banyak kasus, hukum dan regulasi dapat dimanipulasi demi melanggengkan kekuasaan pihak-pihak tertentu. Misalnya, ada upaya untuk menekan lawan politik atau mempermudah pencalonan dengan cara mengubah aturan sesuai kebutuhan elit politik tertentu. Penggunaan aparat penegak hukum untuk kepentingan politik juga mencederai demokrasi.

4. Penyalahgunaan Media dan Propaganda: Media massa sering kali digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda yang menguntungkan kelompok tertentu, terutama mereka yang memiliki kendali finansial. Alih-alih menjadi pengawas yang independen, media bisa dibeli untuk membentuk opini publik yang tidak objektif.

5. Intimidasi dan Kekerasan: Selain politik uang, cara-cara intimidasi dan kekerasan juga digunakan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Ini bisa dalam bentuk intimidasi terhadap calon lawan, penggalangan massa untuk mempengaruhi hasil pemilu, hingga serangan fisik terhadap mereka yang dianggap mengancam kepentingan kekuasaan.

Secara keseluruhan, fenomena ini menggambarkan betapa demokrasi Indonesia masih rentan terhadap pengaruh uang dan kekuasaan. Demokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat malah terdistorsi oleh kepentingan segelintir elit. Tanpa adanya reformasi yang serius dan komitmen untuk menegakkan integritas dalam politik, demokrasi di Indonesia akan terus terancam oleh praktik-praktik semacam ini.

Otoriter yang dilegalisasi dengan Undang-undang atau konstitusi.

Pemerintahan otoriter yang dilegalisasi melalui undang-undang atau konstitusi adalah fenomena di mana penguasa menggunakan kerangka hukum untuk melegitimasi kekuasaan yang sentralistik dan represif. Dalam konteks ini, kekuasaan yang bersifat otoriter tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau kepolisian, tetapi juga mendapatkan justifikasi hukum melalui perubahan konstitusi atau penerbitan undang-undang yang memperkuat kontrol negara atas rakyat dan mengurangi ruang kebebasan.

Beberapa ciri khas dari otoritarianisme yang dilegalisasi melalui undang-undang atau konstitusi adalah:

1. Sentralisasi Kekuasaan
Konstitusi dan undang-undang diubah untuk memperluas kekuasaan eksekutif, seperti memperpanjang masa jabatan presiden atau menghapus batasan periode jabatan. Hal ini memberikan penguasa otoritas lebih besar untuk mengontrol lembaga-lembaga negara tanpa pengawasan yang efektif.

2. Pelemahan Lembaga Pengawas
Lembaga-lembaga independen seperti badan peradilan, parlemen, dan komisi antikorupsi sering kali dilemahkan melalui intervensi hukum. Penguasa otoriter dapat mengesahkan undang-undang yang merestrukturisasi lembaga-lembaga ini, mengangkat orang-orang loyalis, atau memotong kewenangan mereka sehingga pengawasan terhadap pemerintah menjadi tidak efektif.

3. Pemberangusan Kebebasan Berpendapat
Undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, seperti UU ITE di Indonesia, sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Dengan demikian, otoritarianisme mendapatkan legitimasi hukum dalam menekan oposisi, media, dan masyarakat sipil yang kritis.

4. Kriminalisasi Aktivitas Politik Oposisi
Penguasa otoriter sering kali menggunakan hukum untuk mengkriminalisasi kegiatan politik oposisi. Ini dapat berupa undang-undang tentang "keamanan nasional" atau "anti-terorisme" yang digunakan secara sewenang-wenang untuk menahan atau mengadili tokoh-tokoh oposisi, aktivis, dan kritikus.

5. Manipulasi Proses Pemilu
Pemerintah otoriter dapat menggunakan hukum pemilu yang direkayasa untuk menguntungkan partai penguasa. Misalnya, melalui regulasi yang membatasi partisipasi politik oposisi, pengaturan daerah pemilihan yang tidak adil (gerrymandering), atau pengendalian komisi pemilu yang seharusnya independen.

6. Penggunaan Status Darurat
Penguasa otoriter sering kali mengesahkan undang-undang atau mengamandemen konstitusi untuk memperluas kekuasaan mereka selama keadaan darurat. Status darurat ini, meskipun awalnya bersifat sementara, dapat diperpanjang tanpa batas waktu sehingga menjadi alat permanen untuk mengonsolidasikan kekuasaan.

7. Legalisasi Kekerasan Negara
Konstitusi atau undang-undang dapat digunakan untuk mengesahkan tindakan represif, seperti penangkapan massal, penahanan tanpa proses pengadilan, atau pembatasan hak-hak sipil tertentu atas nama keamanan atau stabilitas. Ini memberikan legitimasi hukum bagi tindakan represif yang sebelumnya melanggar hak asasi manusia.

Contoh di Indonesia

Di Indonesia, praktik otoritarianisme yang dilegalisasi pernah terlihat pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Melalui UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, pemerintah memperkuat kontrol pusat dan mengatur ketat organisasi-organisasi sipil, sehingga membatasi ruang demokrasi.

Di era kontemporer, isu serupa kembali muncul dalam bentuk pelemahan KPK melalui revisi UU KPK pada 2019, serta potensi perpanjangan masa jabatan presiden melalui wacana amandemen UUD 1945 yang kerap dibicarakan. Semua ini menggambarkan bagaimana hukum bisa menjadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan otoriter dengan justifikasi legal.

Secara keseluruhan, otoritarianisme yang dilegalkan melalui undang-undang dan konstitusi menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan dalam bingkai hukum. Hal ini menjadikan demokrasi hanya formalitas, sementara hakikat kekuasaan tetap bersifat represif dan sentralistik.


DPR Pembegal Konstitusi Di Indonesia Hari Ini

Istilah "DPR sebagai pembegal konstitusi" merujuk pada kritik terhadap praktik legislasi di mana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap menyalahgunakan kekuasaan untuk merumuskan undang-undang yang bertentangan dengan semangat konstitusi dan kepentingan rakyat. Ada beberapa contoh dan dinamika di Indonesia yang menimbulkan persepsi bahwa DPR justru menjadi alat bagi kepentingan elite politik atau oligarki, alih-alih menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat yang seharusnya menjaga konstitusi dan memperjuangkan keadilan sosial.

Faktor-Faktor yang Membuat DPR Dianggap "Pembegal Konstitusi"

1. Proses Legislasi yang Tidak Transparan dan Kilat: Salah satu kritik utama adalah terkait dengan pembahasan undang-undang yang sering kali dilakukan secara cepat dan minim partisipasi publik. Contoh utamanya adalah pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020 yang dinilai dilakukan secara terburu-buru dan kurang melibatkan masyarakat. UU ini banyak dikritik karena lebih mengutamakan kepentingan investasi dan pengusaha daripada hak-hak pekerja dan lingkungan hidup. Proses legislasi yang serba cepat dan minim diskusi ini dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusionalisme.

2. Revisi UU yang Melemahkan Lembaga Independen: Salah satu kasus yang menonjol adalah revisi UU KPK pada 2019 yang secara signifikan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi tersebut dianggap sebagai bentuk pelemahan institusi yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Dalam konteks ini, DPR dikritik karena menggunakan kewenangannya untuk meloloskan regulasi yang justru melindungi kepentingan koruptor, bukan menegakkan prinsip keadilan sesuai dengan konstitusi.

3. Amandemen Konstitusi yang Menguntungkan Elite: Ada juga kekhawatiran bahwa DPR bisa digunakan untuk mengubah konstitusi demi kepentingan politik tertentu, seperti memperpanjang masa jabatan presiden atau memuluskan jalan bagi agenda-agenda yang merugikan demokrasi. Isu ini muncul dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu yang sempat diusulkan beberapa pihak. Meskipun wacana tersebut tidak terwujud, diskusi ini menunjukkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh DPR dalam mengubah aturan fundamental negara.

4. Tumpang Tindih Kepentingan Politik dan Bisnis: Banyak anggota DPR memiliki afiliasi dengan kelompok bisnis atau oligarki yang memiliki kepentingan dalam proses legislasi. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan, di mana undang-undang yang disahkan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan ekonomi kelompok tertentu dibandingkan kepentingan rakyat luas. Situasi ini mengindikasikan bahwa DPR sering kali menjadi alat bagi kepentingan korporasi yang bisa mengesampingkan prinsip-prinsip konstitusi.

5. Pelemahan Demokrasi Melalui Regulasi Otoriter: Beberapa undang-undang yang disahkan DPR cenderung memiliki muatan yang membatasi kebebasan sipil, seperti UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Dalam hal ini, DPR dianggap berperan aktif dalam menyusun dan mengesahkan regulasi yang mengikis ruang demokrasi, yang secara fundamental bertentangan dengan semangat konstitusi yang seharusnya melindungi kebebasan berekspresi.

Dampak dari "Pembegalan Konstitusi" oleh DPR

Praktik-praktik di atas memiliki dampak yang serius terhadap kualitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Saat DPR lebih berfungsi sebagai "mesin legislasi" yang menguntungkan elit daripada sebagai penjaga konstitusi dan pelindung kepentingan rakyat, terjadi degradasi kepercayaan publik. Hal ini juga memperlebar kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat, meningkatkan polarisasi, serta memperkuat kesan bahwa hukum hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Secara keseluruhan, sebutan "DPR sebagai pembegal konstitusi" menggambarkan kekecewaan dan kritik tajam terhadap praktik legislatif yang dianggap tidak demokratis, tidak transparan, dan cenderung merusak prinsip-prinsip dasar konstitusi demi kepentingan sempit.

Hanya dengan Sistem Islam yang Adil dan Beradab Membawa Kemaslahatan Umat Manusia

Pernyataan bahwa "hanya dengan sistem Islam yang adil dan beradab membawa kemaslahatan umat manusia" mencerminkan pandangan bahwa penerapan nilai-nilai Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dalam perspektif ini, sistem Islam dipandang sebagai alternatif yang menawarkan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun moral.

Prinsip-Prinsip Utama dalam Sistem Islam yang Adil dan Beradab

1. Keadilan Universal (Al-‘Adl): Dalam Islam, keadilan adalah fondasi dari setiap sistem pemerintahan dan kehidupan sosial. Konsep keadilan dalam Islam meliputi keadilan dalam hukum, distribusi kekayaan, dan perlakuan terhadap individu tanpa memandang latar belakang sosial, agama, atau etnis. Al-Qur’an menekankan pentingnya menegakkan keadilan, seperti dalam Surah An-Nisa: 58, yang memerintahkan untuk memberikan amanah kepada yang berhak dan berlaku adil dalam setiap keputusan.

2. Syariah sebagai Landasan Hukum: Sistem Islam didasarkan pada hukum syariah yang mencakup aturan-aturan yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadis. Syariah mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan moralitas. Bagi pendukung sistem ini, syariah dianggap memberikan panduan yang jelas untuk mencapai kemaslahatan (maslahah) dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban individu serta masyarakat.

3. Pemerintahan yang Berorientasi pada Kemaslahatan Umat (Al-Mashalih Al-Mursalah): Tujuan dari penerapan sistem Islam adalah untuk memastikan kemaslahatan umum, yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip ini menekankan bahwa setiap kebijakan atau keputusan pemerintah harus bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

4. Musyawarah dan Keadaban (Syura): Islam mengajarkan konsep syura atau musyawarah, di mana keputusan diambil berdasarkan konsultasi dan diskusi yang melibatkan para ahli dan perwakilan masyarakat. Ini mencerminkan konsep demokrasi dalam Islam, tetapi dengan penekanan pada etika dan tanggung jawab moral sesuai ajaran agama.

5. Distribusi Ekonomi yang Adil: Sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil dan merata. Melalui mekanisme seperti zakat, sedekah, dan larangan riba, Islam berupaya mengurangi kesenjangan ekonomi dan memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu. Ini juga mengajarkan tanggung jawab sosial bagi yang mampu untuk membantu mereka yang kurang beruntung.

6. Penegakan Moral dan Etika: Islam sangat menekankan moralitas dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, maupun hubungan sosial. Sistem Islam tidak hanya mengatur hukum formal, tetapi juga menekankan akhlak mulia, seperti kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab. Moralitas ini dipandang sebagai fondasi penting untuk menciptakan masyarakat yang beradab.

Argumentasi tentang Kemaslahatan 
Sistem Islam

Bagi para pendukung, sistem Islam diyakini lebih unggul dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia dibandingkan sistem lainnya karena bersumber dari wahyu ilahi yang sempurna dan tidak terbatas oleh kepentingan manusia. Beberapa argumen yang sering dikemukakan meliputi:

• Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab kepada Allah: Dalam sistem Islam, pemimpin dipandang sebagai khalifah yang bertanggung jawab tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah. Ini mendorong pemimpin untuk berperilaku adil dan bijaksana.

• Keberpihakan terhadap Kaum Lemah: Islam secara eksplisit memerintahkan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak kaum lemah, seperti anak yatim, fakir miskin, dan orang yang terpinggirkan. Hal ini tercermin dalam berbagai aturan syariah yang mengedepankan keadilan sosial.

• Keselarasan antara Spiritual dan Material: Sistem Islam berusaha menciptakan keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material, sehingga masyarakat tidak hanya berfokus pada aspek duniawi, tetapi juga pada kebahagiaan akhirat.

Tantangan dan Kritik

Namun, penerapan sistem Islam secara menyeluruh juga menghadapi berbagai tantangan dan kritik. Beberapa di antaranya meliputi:

• Interpretasi yang Beragam: Sistem Islam memiliki banyak mazhab dan interpretasi yang berbeda terkait hukum dan prinsip syariah, yang dapat memunculkan perbedaan pandangan dalam penerapannya.

• Konflik dengan Pluralisme: Dalam masyarakat yang plural dan heterogen, penerapan sistem Islam mungkin menghadapi resistensi, terutama dari kelompok yang tidak menganut Islam. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana menjaga inklusivitas dan hak-hak minoritas.

• Penerapan yang Selektif dan Politis: Di beberapa negara, sistem Islam kadang digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa, tetapi penerapannya sering kali selektif dan tidak menyentuh inti keadilan yang diajarkan dalam Islam.
Kesimpulan

Sistem Islam yang adil dan beradab memang memiliki potensi besar untuk membawa kemaslahatan umat manusia jika diterapkan dengan benar, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, dan moralitas yang diajarkan dalam ajaran Islam. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana sistem tersebut diterapkan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan tantangan zaman modern dan realitas pluralitas di masyarakat.

Oleh. N. Faqih Syarif H, M.Si.
Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa

Opini

×
Berita Terbaru Update