TintaSiyasi.id -- Negeri Para Pembegal. Sepertinya istilah ini layak disematkan. Mengingat apa yang terjadi dalam kehidupan perpolitikan akhir-akhir ini. Sayangnya, sang pembegal justru berasal dari pihak dalam lingkaran kekuasaan. Khususnya yang berwenang membuat peraturan (kebijakan). Sungguh ironis bukan?
Adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut oleh berbagai pihak sebagai Pembegal Konstitusi. Gegara DPR main akrobat, merevisi UU Pilkada hanya dalam kurun waktu 24 jam setelah diketoknya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Di sini MK telah mengubah ketentuan suara dukungan pasangan calon kepala daerah. MK juga menyatakan bahwa ketentuan usia calon gubernur-wakil gubernur minimal 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon.
Setelah sidang Baleg DPR memutuskan menyetujui revisi UU Pilkada yang memungkinkan Kaesang maju dalam pencalonan gubernur atau wakil gubernur, Nusantara pun gaduh. Reaksi penolakan dari berbagai kalangan bermunculan. Di media sosial, unggahan gambar Garuda biru dengan tulisan peringatan darurat serta #kawalputusan MK ramai dibagikan warganet (metrotvnews.com, 24/8/2024).
Bila DPR justru sebagai Pembegal Konstitusi, lantas bagaimana bisa dipercayai? Terlebih membegal terhadap putusan mahkamah tertinggi di negeri ini. Meski tindakan tak elok tapi sejatinya pembegalan bukan hal mengejutkan di alam demokrasi. Berkonsep kedaulatan rakyat, sistem politik yang lahir di Yunani ini pada dasarnya menolak kedaulatan Tuhan (Allah SWT) sebagai Sang Pembuat Hukum. Bila agama tak diperkenankan hadir dalam prosesi politik, kasus begal-membegal akan mungkin terulang lagi. Pun peringatan darurat akan menyala kembali.
Oligarki Kartel dan Indikasi Terjadi Pembegalan Konstitusi
Demokrasi Indonesia hanya dipenuhi basa-basi. DPR sebagai entitas terhormat justru kerap kali "berselingkuh” dengan eksekutif. Tidak membela rakyat, bahkan menindasnya. Pun konstitusi kadang lahir karena untuk menjaga kursi baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Pembegalan konstitusi ala DPR seperti yang terjadi kemarin, diduga terkait dengan partai politik Indonesia yang berperilaku layaknya kartel. Ini adalah sebutan bagi perilaku partai yang menggunakan sumber daya negara untuk membatasi persaingan politik dan menjamin keberhasilan Pemilu demi kepentingan mereka sendiri. Praktik ini jamak terjadi pasca-Orde Baru.
Salah satu ciri penting kartel politik adalah partai-partai cenderung bergabung dalam koalisi besar partai penguasa. Masuknya partai-partai ke koalisi besar itu dihargai dengan jatah kursi menteri, posisi di BUMN, atau pemberian konsesi-konsesi ekonomi. Praktik ini membuat partai politik sangat bergantung kepada penguasa, yang memang menguasai sumber daya politik dan ekonomi yang besar. Akibatnya, partai menjadi sangat mudah dipakai untuk mengamankan kepentingan kelompok berkuasa, baik dalam menyusun regulasi atau mengamankan kebijakan.
Inilah yang tengah terjadi. Partai politik di DPR hanya membebek semua keinginan pemerintah. Buktinya, beberapa waktu lalu mereka menyetujui usulan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 meski mendapat protes dari pelbagai kalangan.
Revisi kilat DPR terhadap UU Pilkada pun diduga demi memenuhi pesanan. Dengan dominasi segelintir partai politik besar, sangat wajar mereka bias dalam pembuatan UU yang berkaitan dengan kepentingannya sendiri. Ambang batas 4 persen untuk parlemen dinilai sebagai upaya kartel politik dalam menutup masuknya kompetitor dari partai baru.
Ambang batas pencalonan presiden 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional juga dinilai punya semangat sama. Tujuannya mempersempit ruang permainan dan menutup peluang munculnya banyak calon lain.
Operasi politik kartel ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeffrey A. Winters (2011) sebagai oligarki politik, di mana kekuatan elite menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mengontrol hasil politik dan mempertahankan kekuasaan. Jadilah DPR hanya sebagai tukang stempel pemerintah.
Terkait hal tersebut, banyak yang apriori terhadap pengaruh oligarki dalam penyelenggaraan negara. Benarkah oligarki telah memengaruhi sistem dan proses hukum? Hal ini tentu saja menyangkut law and power, hukum dan kekuasaan.
Sebenarnya hukum itu hadir untuk membatasi kekuasaan yang cenderung absolut. Ketika kekuasaan yang dahulu diatur oleh hukum kemudian berbalik menjadikan hukum sebagai alat melanggengkan kekuasaan, maka kekuasaan itu sudah mengendalikan hukum. Kekuasaan bisa berisi politik (jabatan-jabatan strategis) dan ekonomi (pengusaha) yang dikendalikan oleh segelintir orang yang kita sebut oligark dalam bahasa kasarnya yaitu peng-peng.
Dan diduga, oligarki kartel inilah yang terjadi di balik pembegalan konstitusi oleh DPR. Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Kita mengaku berada dalam sistem demokrasi, padahal senyatanya menurut Ian Dallas kita telah berada di sistem okhlokrasi.
Dampak Pembegalan Konstitusi terhadap Upaya Pencarian Kebenaran dan Keadilan
Independensi penegak hukum bisa terwujud bila benar-benar diterapkan sparation of power atau hukum bukan hasil rekayasa/kesepakatan manusia belaka. Jika hukum hanya merupakan hasil kesepakatan rakyat atas nama numeric democracy (demokrasi dalam angka melalui voting), maka sejak awal hukum itu pasti memihak the haves (oligarki).
Apalagi soal penegakan atau bekerjanya dalam masyarakat. Lembaga-lembaga penegak hukum itu tidak bekerja di ruang hampa, melainkan di ruang yang dipenuhi conflict of interest akibat nepotisme atau kepentingan lainnya. Sebagaimana saat DPR-pemerintah membangkang pada putusan MK maka akan rusaklah sistem hukum negara.
Berikut dampak pembegalan konstitusi terhadap upaya pencarian kebenaran dan keadilan. Pertama, aturan (hukum) tak kunjung tegak. Bahkan the haves always come out ahead maupun down ward law is greater than upward law (Hukum Pisau Dapur). Dalam keadaan ini, para penegak hukum tak lagi independen.
Kedua, kian meneguhkan citra buruk negara sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum. Ketika hukum dipakai alat kekuasaan dan saat kekuasaan mengangkangi hukum, di sinilah kekacauan akan berlangsung seperti saat ini. Seperti DPR yang membegal konstitusi demi pesanan oligarki memuluskan peraihan jabatan kekuasaan.
Ketiga, berpotensi terjadinya distrust rakyat. Adanya "lack" pada tiga nilai dasar hukum (keadilan, kepastian, kebijaksanaan) sebagaimana konsepsi Gustav Radbruch, akan menggerus modal social trust menjadi distrust. Pembegalan konstitusi oleh legislatif menjadi ironi tersendiri. Pembuat aturan tapi menyalahi aturan. Bagaimana rakyat akan percaya?
Keempat, berpotensi memunculkan sikap civilb disobedience (pembangkangan sipil). Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap kebijakan penguasa dan tak mau menaatinya. Karena mereka mendapat contoh dari penguasa. Ketika aturan dibuat untuk dilanggar, lantas?
Kelima, rezim penguasa berpeluang runtuh di puncak kekuasaannya. Menilik fragmen sejarah yang mungkin berulang, tumbangnya sebuah kekuasaan justru terjadi saat penguasa berada di puncak kezalimannya. Sebagaimana Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah di puncak kekuasaan namun bertabur kezaliman.
Keenam, mengantarkan pada matinya sistem politik (demokrasi) yang tengah berlangsung. Penguasa yang bertindak tidak adil biasanya berkarakter otoriter. Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa kematian tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah ini sedang terjadi di seluruh dunia. Pun termasuk di negeri kita, Indonesia.
Demikian beberapa dampak buruk pembegalan konstitusi terhadap upaya pencarian kebenaran dan keadilan. Dengan keberadaan dampak tersebut, upaya pencarian kebenaran dan keadilan akan kian sulit didapatkan.
Strategi Mencegah Pembegalan Konstitusi
Pembegalan konstitusi atau tindakan tidak taat hukum di kalangan penguasa tidaklah terjadi sekali dua kali. Tapi seringkali. Bila demikian patut dipertanyakan; apakah ini kesalahan oknum penguasa ataukah keburukan sistem politik yang dijalankan? Bila kasus ini banyak terjadi, maka patut diwaspadai ini adalah problem sistemis. Individu atau kelompok manusia rusak akibat penerapan sistem (aturan) yang rusak.
Bila akar masalahnya pada sistem demokrasi, tentu tidak cukup menyelesaikan problem pembegalan konstitusi akibat dominasi oligarki kartel hanya pada perbaikan orang (penguasa) atau hal-hal yang sifatnya teknis. Terlebih demokrasilah yang justru membuka peluang besar bagi masuknya oligarki dalam prosesi politik; dari pendirian partai politik, pencalonan pemimpin/wakil rakyat, hingga intervensi pembuatan kebijakan.
Mengapa? Karena berasas sekularisme dan berpilar kebebasan individu, praktik demokrasi jauh dari nilai agama. Konsep kedaulatan rakyat yang diagungkan hakikatnya meniadakan peran Tuhan (Allah) sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum bagi seluruh aspek kehidupan.
Berkelindan dengan kapitalisme, jadilah yang bermodal besar (oligark) menjadi pemenang kekuasaan. Inilah cacat demokrasi sejak lahir. Oleh karena itu, alangkah idealnya bila penerapan sistem demokrasi diganti dengan sistem yang terbaik dan memungkinkan masyarakat hidup dalam ketaatan pada aturan. Tak lain sistem Islam yang bersumber dari kalam Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebagai ajaran paripurna, sistem politik Islam juga mengatur tentang pemilihan wakil rakyat (majelis umat). Proses menjadi anggota majelis umat melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat.
Di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Maka anggota majelis umat harus dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).
Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148).
Maka umat berhak memberhentikan para wakilnya di majelis umat. Ini berbeda dengan akad khilafah, sebab dalam akad khilafah umat tidak berhak memberhentikan khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah sempurna sesuai syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).
Demikian gambaran pemilihan wakil rakyat dalam sistem politik Islam. Insya Allah akan mencegah munculnya para pembegal konstitusi. Selain itu menghindarkan proses pemilihan wakil rakyat dari intervensi oligarki hingga lebih menjamin integritas mereka.
Yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani Allah SWT dan umat melalui pengaturan urusan kehidupan berdasarkan syariat Islam. Tentu ini berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi yang menihilkan peran agama, serta tidak menjadikan pelayanan rakyat sebagai poros kekuasaannya. Dan justru menghamba pada pemilik modal atau penguasa sumber daya.
Oleh: Prof..Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati