TintaSiyasi.id -- Perayaan kemerdekaan di negeri ini telah menjadi tradisi wajib yang harus dilakukan tiap tahunnya. Masyarakat biasa menyebutnya dengan Agustusan. Hanya saja, banyak pekerjaan rumah yang mengajak kita untuk belajar dari euforia Agustusan yang ada. Yang makin ke sini bukan makin merdeka, tetapi makin terkikis rasa malunya. Munculnya perlombaan dengan konten ‘saru’ bersliweran di medsos, menunjukkan masyarakat kita justru makin jauh dari merdeka.
Sebagian besar masyarakat malah terbawa arus budaya ala luar Indonesia. Identitas sebagai negera mayoritas muslim jadi makin ‘memilukan’. Belum lagi pada acara Karnavalan, miris sekali menyaksikannya. Aurat dipertontonkan, kegila-an jadi bahan tertawaan, bahkan masyarakat dituntut jadi ‘gak waras’ demi hiburan. Dan parahnya, meskipun yang ikutan adalah mayoritas muslim, tapi demi karnavalan shalat rela ditinggalkan, berhias hingga mengumbar kecantikan dan segala macam serba serbi karnaval lainnya yang sangat jauh dari esensi kemerdekaan.
Dari kondisi ini kita belajar, ternyata masyarakat hari ini telah jauh dan sangat lemah mengambil makna dari sebuah kemerdekaan. Hal ini wajar terjadi karena pemerintahnyapun amat mendukung apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Bahkan pemerintah sendiri, dengan dalih demi mensyukuri kemerdekaan. Mereka telah menormalisasi kemaksiatan, menghambur-hamburkan dana negara hingga miliaran. Ini bukan tuduhan, tapi muncul dari pengakuan Direktur Jenderal Anggaran Kementran Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatarwata, dia mengungkapkan anggaran untuk perayaan upacara Hari Kemerdekaan RI ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Agustus 2024 mencapai Rp.87 miliar (AntaraNews,16/08/2024)
Padahal secara umum, merdeka berasal dari bahasa sanksekerta yaitu ‘Maharddhika’ yang artinya kaya, sejahtera, kuat atau bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan pihak tertentu. (wikipedia.org). Namun, salah kaprah memaknai kata merdeka hari ini malah diartikan sebagai kebebasan atau liberalism. Saat masyarakat bebas mengekspresikan semua hal yang mereka inginkan, meski sangat jauh dari akal sehat, ya mereka sebut yang penting merdeka. Termasuk pemerintah yang bebas menghamburkan uang rakyat itu dianggap sebagai merdeka. Jelas salah total!
Fakta yang ada di tengah masyarakat dan negara kita hari ini justru memperlihatkan bahwa kita belum merdeka. Kesejahteraan susah didapat, pendidikan terbentur oleh biaya selangit, kesehatan masih digadaikan pakai BPJS. Termasuk negeri ini masih terbelenggu Utang Luar Negeri yang jumlah luar biasa ngeri. Tanah, air dan tambang sudah dikuasai oleh pihak-pihak tertentu termasuk Asing dan Aseng, sedangkan rakyat hanya kebagian limbah dan musibahnya saja. Di sisi lain, pengangguran tingkat kemiskinan masih tinggi, sedangkan kesenjangan sosial makin menganga.
Kita kembali diajak untuk banyak belajar bahwa negeri ini bukan hanya butuh merdeka dari penjajahan fisik semata. Namun juga dari segala hal yang melahirkan ketidakwarasan para penguasanya dan kesengsaaran masyarakatnya. Karena Allah SWT sebagai Pencipta sekaligus Pengatur manusia, alam semesta dan kehidupan ini telah menggambarkan kemerdekaan itu pada kehidupan umat sebelum kita, jauh saat negeri ini belum merdeka dari penjajahan fisik.
Negara Islam yang dibangun oleh Rasulullah Saw. yang kemudian dilanjutkan oleh para Khulafa ar Rasyidin dan para Khalifah setelahnya, yang kita kenal kenal Khilafah Islamiyah. Yakni sebuah negara yang menjalankan perannya sebagai benteng (junnah) dan penanggungjaawab (ra’in) urusan rakyatnya. Kepemimpinannya tegak atas aqidah Islam, dan berjalannya pemerintahan dijamin oleh ketakwaan para pemimpinnya. Maka, saat Rasulullah menggambarkan kemerdekaan kepada penduduk Najran memalui surat yang beliau Saw.kirim, yang isinya. “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Akupun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)... (Al Hafizh Ibnu Katsir, A Bidayah wa an-Nihayah, V/553).
Di sanalah Rasulullah Saw mengajak penduduk Najran untuk merdeka, menjadi hamba yang hanya tunduk dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan sesama manusia. Artinya, saat kita tunduk terhadap semua aturan Sang Pencipta, di sanalah letak merdeka yang sebenarnya. Dan sebagai hasil dari kemerdekaan adalah turunnya keberkahan dari langit dan bumi atas izin-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.. ” (TQS. Al- A’raf ayat 96)
Jadi, dengan belajar atas perayaan kemerdekaan yang ada hari ini akan membuka mata dan pikiran kita bahwa kita belumlah merdeka, kecuali hanya merdeka fisik saja. Sembari memahami Islam sebagai jalan menuju merdeka yang sebenarnya. Wallaahua’lam
Oleh: Yulida Hasanah
Aktivis Muslimah Brebes