Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Berharap Keadilan dalam Sistem Demokrasi, Apa Bisa?

Jumat, 09 Agustus 2024 | 10:49 WIB Last Updated 2024-08-09T03:49:31Z

TintaSiyasi.id -- Beberapa minggu lalu kasus kriminal terjadi lagi yang mengakibatkan kepada kematian. Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald Tannur terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti, keputusan tersebut langsung menjadi sorotan publik. Sehingga yang terjadi dalam negeri ini sanksi yang tidak tegas, serta keputusan pengadilan pada sebagian kasus kriminal hanya menguntungkan satu pihak saja dan menzalimi pihak lain. 

Di antaranya kasus asusila yang dilakukan oleh mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp9,5 miliar. Hasyim Asy'ari yang menurut DKPP sudah terbukti melakukan tindak asusila itu dengan memiliki sejumlah aset dan kasus Ronald Tannur yang divonis bebas, sehingga ratusan massa bakal gelar aksi tuntutan keadilan bagi Dini sera Afrianti.

Penyebabnya, majelis hakim mereka menilai Edward Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dia tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sebagaimana yang dituangkan dalam dakwa pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 259 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP, padahal barang bukti berupa CCTV serta hasil visum korban sudah dihadirkan dalam persidangan. Maka bisa kita lihat inilah bukti lemahnya hukum buatan akal manusia yang diterapkan saat ini dalam sistem Demokrasi. (Jpnn.com, 28/07/2024)

Kasus kriminal yang ada di negeri ini yang tidak mendapatkan sanksi tegas dari pengadilan, tentu hal ini menggambarkan bahwa sistem hukum sekarang yang jauh dari keadilan dan tidak memberikan efek jera bagi para pelakunya. Bahkan hukum yang ada di negeri ini bagaikan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Sistem demikian terwujud, karena keputusan yang dibuat oleh manusia bersifat batil dan terbatas, sehingga menghasilkan ketimpangan hukum secara mendalam. 

Demikian hal ini dilakukan bukan sekali dua kali oleh para pejabat, korporasi dan kawanannya mudah terbebas dari jerat hukum dengan cara mengotak-atik pasal-pasal yang digunakan sebagai hukum praktik saat ini. Bahkan praktik suap menguap dalam pengadilan sudah biasa dilakukan hingga muncullah slogan "hukum di negeri ini bisa dibeli." 

Terbukti pada kasus sebelumnya, tuntutan yang awalnya 12 tahun bisa berakhir vonis bebas di pengadilan. Maka ini membuktikan lemahnya sistem hukum di bawah politik demokrasi, hukum dalam sistem demokrasi memang sangat mudah untuk melindungi pihak yang memiliki Previblege. Sehingga asas yang dibangun dalam hukum demokrasi adalah ide sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. 

Oleh karena itu, aturan sistem demokrasi termasuk dalam penetapan sanksi yang berasal dari akal manusia, serta wajar jika adanya kezaliman yang akan terjadi pada masyarakat. Sistem hukum dalam politik demokrasi akan membuka celah keburukan bagi manusia, maka selama manusia hidup dalam aturan sekularisme demokrasi keadilan tidak akan pernah terwujud.

Berbeda dengan sistem Islam akan menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah SWT Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil. Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu bentuk kemuliaan sebuah peradaban. hal ini pernah terjadi dalam sistem sanksi Islam yang diterapkan dalam negara Islam secara praktis yang bernama Daulah khilafah.

Dalam kitab Nizhamul al-Islam halaman 44, Syekh Taqiyuddin an Nabani menggambarkan keberhasilan Islam yang gemilang dalam bidang peradilan membentang sejak Rasulullah Saw di Madinah pada tahun 662 M hingga tahun 1918 M (1336 H), ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris). 

Kunci keberhasilan keadilan hukum yang diterapkan adalah hukum Allah SWT yang akan memberikan keadilan, serta tidak akan bisa diintervensi oleh siapapun. Allah SWT berfirman, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah [5] : 50).

Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya At-Tafsir al-Munir 6/224 menerangkan bahwa ayat ini bermakna tidak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah SWT juga tidak ada sanksi hukum hukum pun yang lebih baik daripada hukumnya. Maka dalan negara khilafah pelaksanaan hukuman bagi pelaku kejahatan berujung pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Hukum Pidana dalam Islam (khilafah) memberikan ketentuan yang jelas dan syarat yang begitu ketat, sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan. Hukum Pidana dalam Islam menyajikan keadilan bagi pelaku, yaitu dengan memberikan syarat yang ketat terhadap pemberlakuan sanksi-sanksi tertentu, seperti rajam, qishash, dan potong tangan.

Sanksi yang akan diterapkan harus tegas dan menjerakan pelakunya, sistem sanksi yang dibuat berfungsi sebagai Jawabir (penebus dosa) dan Zawajir (pencegahan berulang nya kejahatan di tengah masyarakat). Dalam negara khilafah juga akan menetapkan sanksi ta'zir kepadanya, hukuman ta'zir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajan, adapun ragam ta'zir yang dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat yaitu ada lima belas macam takzir di antaranya adalah dera dan pengasingan.

Upaya pencegahan kriminal ini akan terus dilakukan khilafah melalui penerapan sistem Islam kaffah dan hadirnya penegakan hukum yang amanah dan bertakwa kepada Allah SWT. Keadilan dalam negara Islam tidak akan memandang dia orang kaya atau miskin, tetapi disamaratakan, maka hanya negara khilafah yang mampu memberikan keadilan bagi umat manusia. []


Oleh: Marlina Wati, S.E
(Muslimah Peduli Umat)

Opini

×
Berita Terbaru Update