“Begini penjabaran hadis yang dianggap sebagai sebagai
hujah bahwa mengkritik pemimpin itu harus diam-diam atau haram dilakukan secara
terbuka,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Kamis (29/08/2024).
Sebagian ulama ada yang mengharamkan demonstrasi
berhujah dengan dalil yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin
secara terbuka.
Kiai Shiddiq menukil hadis dari Iyadh bin Ghanam ra.,
bahwa Nabi saw. bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ،
فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa
hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan
perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan
pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau
tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.
(H.R. Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).
“Hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah (dalil) bahwa
mengkritik pemimpin wajib secara diam-diam atau haram dilakukan secara terbuka,
berdasarkan 2 (dua) alasan sebagai berikut,” urainya.
Pertama, hadis itu
merupakan hadis daif (lemah), sehingga tidak sah untuk dijadikan hujah.
Kedua, katakanlah hadis
itu sahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara
terbuka. “Karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah
dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw. yang sering mengkritik para khalifah
secara terbuka,” imbuhnya.
“Pada penjelasan pertama, hadis
ini merupakan hadis daif (lemah) sehingga tidak sah untuk dijadikan hujah,
berdasarkan dua alasan:
(1) Sanadnya
terputus (inqitha’), yaitu periwayat hadis bernama Syuraih bin Ubaid
tidak mendengar (samâ’) hadis ini secara langsung dari Iyadh bin Ghanam.
(2) Ada
periwayat hadis yang dinilai lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyâsy.
Ini seperti pendapat M. Abdullah Al-Mas’ari dalam
kitabnya Muhâsabah Al-Hukkâm di halaman 41-43,” jelasnya.
Sedangkan penjelasan kedua, katakanlah hadis itu sahih,
tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara terbuka. “Karena
kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah dicontohkan oleh para
sahabat Nabi saw. yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka,”
ungkapnya lebih lanjut.
“Mari kita perhatikan beberapa contoh sahabat Nabi saw.
yang mengkritik para khalifah secara terbuka di muka umum:
Diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar ra. ketika
menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin Khaththab tidak membagikan tanah Syam
kepada para mujahidin. Maka Bilal ra. memprotes dengan berkata:
لَتَقْسِمَنَّهَا أَوْ لَتَتَضَارَبَنَّ
عَلَيْهَا بِالسَّيْفِ
”Kamu harus benar-benar membagi tanah itu atau kamu harus mengambil tanah itu dengan pedang!” (H.R. Baihaqi, no 18764, hadis sahih)," terangnya.
Hadis ini menunjukkan Bilal telah mengkritik Khalifah
Umar bin Khaththab secara terbuka di hadapan umum. Seperti yang disampaikan Ziyad
Ghazzal di dalam kitabnya Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fi Ad-Daulah
Al-Islâmiyah halaman 24,” ungkapnya.
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah ra., bahwa Khalifah Ali bin
Abi Thalib ra. telah membakar kaum zindik. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra.,
maka berkatalah Ibnu Abbas ra.:
لَوْ كُنْتُ أَناَ لَمْ
أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (لاَ
تُعّذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ كَماَ قاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فاَقْتُلُوْهُ
Kalau aku,
niscaya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi saw. telah bersabda, ”Janganlah
kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka
karena sabda Nabi saw.,’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”
(HR. Bukhari, no. 2854 & 6524).
Lanjut dikatakan, “Hadis ini juga jelas menunjukkan
bahwa Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib secara terbuka. Sebagaimana
pendapat Ziyad Ghazzal di dalam kitabnya Masyrû’ Qânûn Wasâ’il
Al-I’lâm fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah halaman 24).”
Berdasarkan dalil-dalil syar’i yang diuraikan
di atas, boleh hukumnya melakukan demonstrasi untuk mengkritik pemimpin secara
terbuka di muka umum. “Asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang sudah diterangkan
di atas, yaitu:
Pertama,
tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariat.
Kedua,
demonstrasi tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata.
Ketiga,
demonstrasi tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah.
“Kesimpulannya, boleh hukumnya demo menurut syariah
untuk mengkritik penguasa secara terbuka, asalkan memenuhi syarat-syaratnya,”
ujar Kiai menyimpulkan.
Lanjut dikatakan, boleh juga mengkritik penguasa
dengan berbagai cara di berbagai forum yang seluas-luasnya, misal di berbagai
pengajian di masjid-masjid, kajian-kajian Islam di kampus, obrolan-obrolan
santai di pasar, warung kopi.
“Termasuk juga boleh mengkritik penguasa via berbagai
platform media apa pun juga yang memungkinkan, seperti video di YouTube,
atau menulis artikel di koran, majalah, buletin Jumat, dan lain-lain, khususnya
melalui media sosial (medsos), seperti WA (Whatsap), Facebook,
X (ex Twitter), TikTok, dan sebagainya. Wallāhu
a’lam,” pungkasnya.[] Rere