Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Benarkah Kita Sudah Merdeka?

Minggu, 18 Agustus 2024 | 19:26 WIB Last Updated 2024-08-18T12:26:24Z

TintaSiyasi.id -- Kemerdekaan Semu ala Demokrasi Kapitalisme

Tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya hari diproklamirkannya kemerdekaan negeri kita Indonesia. Jepang yang telah menjajah negeri ini selama tiga tahun lamanya, menghentikan penjajahannya dan seketika itu juga menyetujui kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, semenjak diproklamirkannya kemerdekaan itu, tidak serta-merta kondisi rakyat Indonesia memang betul-betul merdeka.

Jika dicermati hampir delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka, kondisi umat semakin hari semakin menderita. Buktinya segala kebutuhan masyarakat semakin sulit untuk diakses. Jangankan yang sekunder dan tersier, kebutuhan pokok seperti papan, sandang dan pangan yang layak dan bergizi masih sulit tercukupi. Bahkan hanya sekedar makan sekali sehari saja masih banyak masyarakat yang belum mampu untuk memenuhinya.  

Anehnya, di sisi lain ada segelintir orang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah, barang-barang mewah senantiasa menemani hari-hari mereka. Jalan-jalan keliling dunia sudah biasa dan berbagai macam makanan terhidang dengan mudah dan banyak bersisa. Mereka adalah para konglomerat, para korporat dan pejabat negara. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin terlihat nyata dan tak bisa dihindari. Benarlah lagu yang dinyanyikan oleh H. Rhoma Irama, "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin". Siapakah sebenarnya yang merdeka?

Demikian juga dengan meningkatnya kriminalitas, baik jenis maupun jumlahnya. Tidak hanya rakyat jelata yang menjadi pelakunya, tapi juga pejabat negara yang merekalah yang melegalisasi hukumnya. Bahkan aparat penegak hukum menjadi biangnya, yang seharusnya merekalah yang menegakkan hukum. Keadilan sangat susah didapat, jika tidak ada laporan jangan harap bisa diproses. Dan uanglah yang menjadi akhir penentuan kasusnya. Layakkah dikatakan kita sudah merdeka?

Berbagai gerakan separatisme tidak bisa diatasi oleh negara. Seperti, Timor-Timur yang sudah terlepas dari Indonesia yang saat ini menjadi Timor Leste, Aceh juga pernah bergejolak dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Maluku dan dan juga Papua yang masih terus bergejolak hingga saat ini. Ada indikasi gerakan-gerakan tersebut diinisiasi dari luar negeri. Terbukti dalam penyelesaian beberapa kasus separatisme ini harus melibatkan orang Asing. Ini membuktikan negara ini tidak memiliki kedaulatan untuk mempertahankan negerinya sendiri. Lagi-lagi kita belumlah merdeka.

Setelah penjajahan dan kemudian Indonesia dimerdekakan dalam bentuk negara bangsa (nation state), sejatinya negeri kita masih dijajah. Kemerdekaan yang diproklamirkan hanya sekedar simbolis semata alias kemerdekaan semu. Hanya peralihan metode penjajahan saja, dari penjajahan fisik yaitu perang mengunakan senjata (hard power), ke penjajahan non fisik yaitu perang tanpa senjata alias perang pemikiran/ghadzul fikr (soft power).

Karena itu, penjajahan sejatinya masih mencengkram negeri ini, walaupun tanpa peperangan. Yaitu dengan cara meletakkan para pemimpin yang bisa melanjutkan kepentingan mereka di negeri yang pernah dijajah tersebut. Para pemimpin tersebut akan membuat atau menerima regulasi dari sang penjajah Barat maupun Timur untuk kepentingan mereka, tentunya regulasi yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat.

Terbukti sudah delapan kali pemimpin negeri ini berganti. Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh penguasa semakin lama semakin menzalimi rakyat. Sumber daya alam (SDA) diserahkan pengelolaannya kepada korporat baik swasta dan asing. Tidak ada sedikitpun hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Subsidi untuk rakyat terus-menerus dikurangi, bahkan hendak dihapuskan karena menurut mereka (para penguasa) menjadi beban bagi APBN. Berbagai iuran dikutip, berbagai jenis barang komoditi dipungut pajak dan berbagai pajak dinaikkan.

Yang berubah hanyalah orang-orangnya saja. Hampir semua kalangan sudah pernah dicoba, mulai dari aparat negara hingga ibu rumah tangga. Dari priyayi hingga pak kyai, pengusaha hingga rakyat biasa. Tapi kondisi masyarakat tetap tidak berubah menjadi lebih baik dan malah semakin parah. Itu artinya kita memang betul-betul belum merdeka. Tidak maukah belajar dari fakta yang sudah terjadi?

Jika penjajahan fisik, masyarakat mudah menyadari bahwa mereka sedang dan masih dijajah, sebab mereka langsung berhadapan dengan penjajahnya. Sehingga, masyarakat mudah untuk mendeteksi dan melakukan perlawanan. Apalagi dengan kekuatan keimanan para pejuang Islam, yang tidak akan gentar walaupun maut dihadapan. Demi mempertahankan tanah kelahiran, karena hal itu diperintahkan oleh Islam. Sebab, Islam mengharamkan penjajahan.

Namun, karena penjajahan berubah ke non fisik masyarakat sangat sulit untuk mengetahuinya, bagaimana mau berusaha melawannya. Karena penjajahannya sudah tidak tampak oleh mata. Perang non fisik inilah yang lebih berbahaya dari pada perang fisik. Sebab, masyarakat terlena dengan euforia kemerdekaan semu dan bisa tanpa sengaja ikut mempertahankan keterjajahan tersebut. Bahkan bisa saja masyarakat membendung orang-orang yang ingin mencoba memerdekakan negeri ini dengan kemerdekaan yang hakiki. 

Perang pemikiran yang paling berbahaya yang disusupkan oleh penjajah kepada masyarakat adalah ide demokrasi. Ide ini menjadi biang kerok masih bercokolnya penjajahan di negeri ini. Ide-ide inilah yang membuat rakyat tidak bisa meraih kemerdekaan hakiki.

Demokrasi telah mengizinkan SDA untuk dikelola oleh para korporat swasta maupun asing dengan mengatasnamakan investasi. Nama lain untuk menjual SDA negeri ini secara legal. Yang seharusnya SDA dikelola oleh negara kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Pemahaman demokrasi yang menyatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat hanyalah sebuah ilusi yang tidak pernah bisa terwujud sama sekali. Karena tidka mungkin semua rakyat menjalankan pemerintahan. Dan juga terbukti 'kebohongannya' bahwa rakyat tidak pernah berperan sama sekali dalam menentukan suatu regulasi.

Apalagi menyatakan sistem pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang ideal bagi negeri, pernyataan ini telah melenakan dan menyesatkan umat. Karena, nyata-nyata demokrasilah biang kezaliman dan ketertindasan itu.

Pemilihan umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali, berharap akan terwujudnya kepemimpinan yang lebih baik dari sebelumnya, tidak bisa terealisasi sama sekali. Karena, tabiat kepemimpinan dalam demokrasi sudah disetir, agar orang-orang yang nantinya naik dalam tampuk kekuasaan akan melanjutkan program kepemimpinan selanjutnya, bagaimana pun caranya. 

Sehingga, kita dapati pemilihan dalam sistem demokrasi senantiasa akan ada kecurangan demi kecurangan. Bahkan dalam beberapa pemilihan terakhir kecurangan sangat terorganisir dan masif dilakukan.

Maka, tidak heran semakin lama kebutuhan pokok terus meningkat, pendidikan mahal, iuran kesehatan/BPJS naik, harga BBM naik, subsidi semakin lama semakin dikurangi. Adakah dari yang demikian itu ketika seorang pemimpin terpilih kebutuhan hidup menurun, sedikit saja? Tidak ada kan? Karena, memang orang-orang yang naik ke tampuk kekuasaan adalah memang orang-orang yang telah dipilih untuk melanjutkan penjajahan secara non fisik tersebut.

Untuk itu, jika kita memang betul-betul menginginkan kemerdekaan yang hakiki, maka campakkan sistem demokrasi dari mengatur negeri ini. Jangan berikan peluang bagi pengusung demokrasi sedikit pun untuk mempertahankan sistem demokrasi. Ganti segera sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan yang pernah terbukti memberikan kesejahteraan bagi manusia tanpa pandang suku, bangsa, bahkan agama. Yaitu sistem Islam khilafah. Insya Allah. Wallahu a'lam bishshawab. []


Fadhilah Fitri, S.Pd.I.
Analis Mutiara Umat Institute

Opini

×
Berita Terbaru Update