TintaSiyasi.id -- PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga Pertamax dari Rp12.950 menjadi Rp13.700 per liter mulai Sabtu (10/8).
Berdasarkan laman resmi Pertamina, harga Pertamax kenaikan itu berlaku di Aceh, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT.
Sedangkan di Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, harga Pertamax dibanderol Rp14.300 per liter. Pertamax Turbo juga naik dari Rp14.440 menjadi Rp15.450 per liter. Dexlite naik dari Rp14.550 ke Rp15.350 per liter, Pertamina Dex naik dari Rp15.100 ke Rp15.650 per liter, dan Pertamax Green dari Rp13.900 ke Rp15 ribu per liter.(cnnindonesia.com, 12/8/2024)
Dialnsir dari republika.co.id (10/8/2024) Pakar Ekonomi Bisnis, Abdul Hamid Paddu, mengungkapkan bahwa Pertamina harus menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas) menyebut bahwa hal tersebut terpaksa dilakukan agar Pertamina tidak mengalami kerugian sebagai dampak dari kondisi harga minyak berfluktuasi serta nilai tukar mata uang yang tertekan seperti saat ini.
Begitulah, negara yang berparadigma kepemimpinan kapitalisme, yaitu selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam menetapkan kebijakan. Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat seperti penjual dan pembeli. Artinya, jika hari ini negara mengelola BBM bersama pihak swasta, maka negara akan terus mencari cara agar mendapat keuntungan besar dari bisnis BBM ini. Alhasil, peran negara sebagai pelayan rakyat pun secara otomatis hilang, maka tersisalah peran negara sebagai regulator yang abai terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Padahal, sejatinya segala yang terkandung di alam ini bukan milik negara sehingga pemerintah lantas dengan bebas menyerahkan pengelolaan sumber daya alam tersebut kepada siapa yang dikehendaki. Migas sebagai bahan baku BBM dalam jumlah berlimpah pada hakekatnya adalah milik rakyat sehingga rakyat miskin maupun kaya berhak mengaksesnya dengan mudah dan murah.
Lalu mengapa menjadi mahal? Karena persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari konsep liberalisasi ekonomi yang diberlakukan di negeri ini. Liberalisasi sektor hulu hingga hilir Migas telah membuka kesempatan bagi pemain Asing untuk berpartisipasi dalam bisnis Migas. Liberalisasi sektor Migas adalah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.
Liberalisasi ini sejatinya hanya berpihak pada kepentingan perusahaan tambang Migas Asing dan para kompradornya di dalam negeri. Mereka ingin jualan migas di negeri ini yang memandang pasarnya akan terus tumbuh membesar seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan konsumsi BBM, ini merupakan hal yang ironi. Sebab, sumber daya alam Migas itu berasal dari negeri kita sendiri, namun bagaimana mungkin harganya harus menyesuaikan keinginan pihak swasta Asing yang notabenenya pendatang di negeri ini? Tentu kondisi ini layak dikatakan penjajahan ekonomi.
Oleh karena itu, negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme mustahil memberi harga BBM secara murah atau gratis kepada rakyatnya.
Pengelolaan BBM dalam Islam
Islam memandang bahwa BBM merupakan harta milik umum.
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Karena harta milik umum, maka negaralah bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hingga pendistribusiannya, tidak boleh dikelolakan kepada individu, ormas, swasta, Asing ataupun korporasi dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum Muslim.
Disamping itu, BBM adalah barang yang dibutuhkan semua orang, maka setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta tersebut dan pendapatannya dalam hal ini tidak ada bedanya apakah rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, orang salih atau penjahat, orang kaya atau miskin, Islam atau non Islam, semuanya mempunyai hak yang sama. Karena ini merupakan harta milik mereka.
Hanya saja harus dicatat bahwa dalam pemanfaatan harta milik umum tidak semuanya sama. Karena ada yang bisa dimanfaatkan oleh manusia secara langsung maupun dengan alat tertentu, seperti seperti air, padang rumput, api, jalan umum, laut, sungai, danau dan terusan atau kanal, semuanya ini bisa dimanfaatkan secara langsung.
Air, padang rumput maupun api bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat untuk kebutuhannya sendiri atau memanfaatkan sumur, mata air dan sungai untuk diambil airnya dan dialirkan untuk hewan serta ternaknya. Para penggembala juga bisa menggembalakan hewan dan ternaknya di padang rumput. Pengumpul kayu, juga bisa mengambil kayu di hutan. Seseorang bisa saja memasang alat hidran pengatur air di sungai yang besar untuk menyirami tanaman dan pohon-pohon miliknya. Karena sungai yang besar itu terbuka bagi semua orang sehingga pemasangan alat-alat di atasnya tidak akan membahayakan siapapun dari kaum Muslim. Setiap orang bisa memanfaatkan jalan umum, laut sungai dan kanal.
Ada pula harta milik umum yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung. Karena membutuhkan upaya dan biaya untuk mengeluarkannya, seperti minyak, gas dan barang-barang tambang lainnya. Oleh karena itu, negaralah yang wajib mengambil alih tanggung jawab eksploitasinya mewakili kaum Muslim dan hasilnya disimpan di baitul mal kaum Muslim. Khalifahlah yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya yang dijamin oleh hukum-hukum syara.
Tujuannya adalah pertama, ntuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim. Distribusi dan pembagian hasil dari barang tambang dan pendapatan milik umum tersebut bisa dilakukan untuk berbagai hal, seperti membiayai kebutuhan yang berhubungan dengan hak milik umum, seperti
1. Pos hak milik umum, bangunan, kantor, catatan, sistem pengawasan dan pegawainya.
2. Para peneliti, penasihat, teknisi, pegawai, orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk melakukan penelitian dan penemuan, eksplorasi minyak bumi, gas, barang tambang dan dana untuk eksplorasinya, untuk produksi dan proses penyelesaiannya hingga membuatnya layak untuk digunakan. juga untuk orang-orang yang memberikan jasanya menemukan sumber dan penyalurannya untuk pembangkit listrik dan jaringan kawatnyam
3. Membeli berbagai peralatan dan membangun industri, pemboran dan penyulingan minyak bumi dan gas, pemisah dan pembersih biji-biji barang tambang, pemrosesan barang-barang tambang hingga layak digunakan. Juga digunakan untuk membeli alat dan industri yang biasa dipakai pada industri milik umum dan proses pemanfaatannya.
4. Untuk alat-alat yang bisa mengeluarkan air, memompa dan untuk pipa-pipa salurannya.
5. Pembangkit listrik, gardu, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya.
6. Untuk membeli kereta api dan trem listrik dan sebagainya.
Seluruh pengeluaran ini berkaitan dengan hal milik umum termasuk manajemen dan pemanfaatannya. Karena itu, biayanya menggunakan pendapatan dari harta milik umum.
Kedua, mengelola harta milik umum secara syariat demi menjaga hubungan penguasa dengan rakyat sesuai Islam. Dalam Islam, khalifah ibarat penggembala dengan rakyat sebagai gembalaannya. Sebagaimana tugas penggembala, maka ia harus merawat dan mengurusi setiap kebutuhan gembalaannya. Artinya, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan baik, seperti kemudahan mendapatkan sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan, kesehatan, dan hajat publik lainnya seperti BBM.
Ketiga, tidak ada tujuan komersialisasi BBM seperti halnya pengelolaan BBM dalam kapitalisme. Dalam Khilafah, pengelolaan migas dan harta milik umum lainnya murni dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. Negara haram berjual beli dengan harta rakyat.
Demikianlah pengelolaan BBM menurut Islam yang akan memberikan kemudahan tersedianya kebutuhan BBM. Dengan kepemimpinan sistem Islam secara kafah, negara dapat menjalankan perannya sebagai raa’in dengan totalitas, tanpa tercampuri kepentingan tertentu.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis