“Mengamati
apa yang dilakukan intelijen AS di balik kerusuhan massal di Bangladesh, Amerika telah merancang proses kudeta Perdana Menteri
Syekh Hasina,” ungkapnya, Senin (12/08/2024)
Faisal juga membeberkan, mereka menebar isu kegagalan
demokrasi, kemunduran ekonomi, dan penguatan otoritarianisme rezim.
“Nafsu Amerika ini, untuk menjatuhkan Hasina sejak
penyelenggaraan dua pemilu terakhir di Bangladesh. Amerika secara terbuka
mengumumkan kecaman dengan menuding Hasina dan Partai Liga Awami melakukan
penyimpangan signifikan, termasuk kotak suara yang dipalsukan dan ribuan
pemilih siluman,” bebernya.
Kemudian Amerika marah dan jengkel terhadap Hasina, lanjutnya, yang menjadi proksi Rusia dalam pengembangan
reaktor nuklir untuk listrik PLTN di kawasan Asia Selatan, sejak 2017. “Bersama perusahaan Rusia, Rosatom
State Atomiс Energy Corporation, Hasina membangun reaktor nuklir untuk PLTN
pertama di Ruppur, Distrik Pabna, bagian barat Bangladesh, 90 mil dari Dhaka,”
ujarnya.
Ia membeberkan, beton pertama pada tahap konstruksi proyek
dimulai sejak 2017, sedangkan batu fondasi diletakan pada 2023 lalu. Proyek ini
senilai US$ 12,65 miliar, 90 persen di antaranya dibiayai melalui pinjaman Rusia yang
dapat dilunasi dalam waktu 28 tahun, dengan masa tenggang 10 tahun. Pembangkit
dengan kapasitas 2.400 MW. “Ini menjadi proyek infrastruktur terbesar di negara
berpenduduk sekitar 170 juta orang itu,” sorotnya.
“Kemarahan Amerika terhadap Hasina
memuncak sejak 6 Oktober 2023 lalu, bertepatan dengan momen penyerahan uranium
Rusia kepada Hasina sebagai bahan dasar reaktor nuklir. Menlu Rusia, Sergey
Lavrov, hadir langsung dalam upacara penyerahan di Bangladesh. Sementara
Vladimir Putin dan Hasina saling memberikan sambutan secara virtual,”
bebernya.
“Lewat proyek Rusia ini, Bangladesh menjadi pengguna bahan
bakar nuklir ke-33 di dunia. Bangladesh kini dapat menyediakan energi nuklir
untuk PLTN yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan kekuatan ekonominya yang
sedang berkembang di level regional,” katanya.
Sebab, Rusia tidak hanya membangun reaktor nuklir untuk
pengembangan PLTN saja, melainkan juga memberikan bantuan sepanjang siklus
proyek nuklir beroperasi di Bangladesh. “Rangkaian bantuan tersebut meliputi
kewajiban penyediaan bahan-bahan reaktor jangka panjang, pemeliharaan
pembangkit listrik tenaga nuklir, pengelolaan bahan nuklir bekas, serta melatih
personel berkualifikasi tinggi untuk industri nuklir Bangladesh,” terangnya.
“Bangladesh yang terletak di antara
India dan Myanmar di Teluk Benggala, menjadi sasaran persaingan geopolitik yang
ketat. Sebelum diterima, Rusia bersaing ketat dengan Amerika memberi tawaran
kerja sama dan investasi kepada Syekh Hasina,” ujar Faisal.
Namun, Rusia lewat Rosatom mampu menawarkan pembiayaan hingga
90 persen untuk
proyek nuklir dengan pembayaran yang dicicil selama beberapa dekade dengan suku
bunga minimal. “Pembiayaan yang lebih menarik membantu Rosatom Rusia memenangkan
kesepakatan tersebut. Sementara Amerika lewat Perusahaan Listrik Westinghouse
tidak dapat menandingi persyaratan yang ditawarkan oleh Rosatom Rusia,”
ulasnya.
“Wajar jika Rusia dimenangkan bagi Bangladesh. Persyaratan yang menguntungkan dari
Rusia sangat penting bagi negara-negara miskin seperti Bangladesh dengan
peringkat kredit rendah. Pembiayaan semacam itu sulit ditemukan di tempat
lain,” tegasnya.
Faisal menilai, proyek reaktor nuklir PLTN Rooppur Bangladesh
telah memberi Moskow pijakan yang tak ternilai untuk mengendalikan geopolitik di kawasan Asia Selatan.
Amerika dan sekutu Barat cemas serta khawatir proyek reaktor nuklir Rusia di
Bangladesh adalah ancaman bagi kelangsungan geopolitik, geokonomi, dan
geostrategis mereka di
kawasan.
“Bahkan, mantan sekretaris energi
nuklir di Departemen Energi Amerika, Kathryn Huff, mengatakan, proyek Rusia di
Bangladesh adalah bentuk awal kesuksesan perluasan wilayahnya ke belahan bumi
selatan,” imbuhnya.
Lewat proyek ini, Rusia sukses mengikat Bangladesh selama
beberapa dekade. Memanfaatkan Bangladesh untuk memperluas pengaruh Kremlin di
Bumi Selatan seperti yang telah dilakukannya terhadap negara lain yang tidak
memiliki kapasitas nuklir sendiri.
Ia menambahkan, sangat penting bagi Amerika dan
sekutunya untuk memutus perluasan tersebut. Amerika harus membangun kembali
rantai pasokan nuklir yang stabil untuk
menggeser Rusia dari kepemimpinan di sektor nuklir global di wilayah ini.
“Namun dirinya pesimis, Amerika mampu menggeser pengaruh
Rusia secara profesional dalam waktu singkat meskipun Amerika masih menjadi sumber investasi ekonomi terbesar dan
pasar ekspor utama Bangladesh. Kathryn Huff melihat kenyataan industri nuklir Amerika dan sekutu yang masih
perlu waktu satu dekade untuk mewujudkannya,” cermatnya
Ia menyebut, memanfaatkan kekuatan intelijennya, Amerika menunggangi oposisi
dan militer lewat tangan pesaing Hasina, ketua partai oposisi utama Bangladesh
National Party, Khaleda Zia, untuk mendorong proses kudeta dari atas.
“Kemudian dari bawah, Amerika berupaya
menghasut masyarakat, kritikus, dan mahasiswa. Selain menggunakan isu kegagalan demokrasi,
otoritarianisme, pengangguran, kemiskinan, dll, Amerika juga menebarkan isu bencana masa
depan ekonomi, korupsi, jebakan utang menggunung, jebolnya devisa untuk
pengembalian pinjaman proyek, kenaikan harga listrik yang tinggi dan kemiskinan
masa depan,” ujarnya.
“Menurut perhitungan oposisi berbaju akademis, Mahmud
Titumir, ekonom Universitas Dhaka, jika dihitung berdasarkan perkiraan biaya
konstruksi pembangkit, harga untuk PLTN Rooppur capai 9,36 sen per
kilowatt/jam. Kenaikan harga sangat tinggi hampir 100 persen dibandingkan dengan 5,34 sen untuk
jumlah energi yang sama dari proyek tetangga India,” kutipnya.
Menurutnya, Bangladesh akan lebih baik jika menghabiskan uang
untuk tenaga surya dan angin yang dihasilkan di dalam negeri yang biayanya
telah turun tajam dalam beberapa tahun terakhir. Daripada menciptakan
ketergantungan pada Rusia untuk energi nuklir yang mahal dan berpotensi berbahaya. Hal
itu adalah bencana.
“Rencana dan keterlibatan Amerika
dalam proses kudeta Hasina, bukanlah hal baru. Ia bahkan sudah 19 kali menjadi
target pembunuhan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diungkapkan sendiri
olehnya dalam sesi wawancara bersama Time dengan judul Hard Power:
Prime Minister Sheikh Hasena and the Fate of Democracy in Bangladesh,” sitatnya.
"Saya mengatakan kepada parlemen, Amerika berusaha menghilangkan
demokrasi Bangladesh dengan merekayasa penggulingan saya," kutipnya
perkataan Hasina.
“Sebagai tanggapannya, selain
mendiskresikan proyek Nuklir Rusia, Hasina juga dituding Washington sebagai
pemimpin Bangladesh yang mengarah pada despotisme. Itulah kenapa, Hasina tidak diundang
ke dua pertemuan KTT Demokrasi berturut yang diselenggarakan Amerika. Kemudian
pada Mei 2023 Amerika mengumumkan pembatasan visa bagi warga Bangladesh
pendukung rezim Hasina,” jelas Faisal lebih lanjut.
Kini, Hasina melarikan diri berlindung di India. “Karena India adalah sekutu sekaligus
mitra yang disertakan Rusia dan Bangladesh ke dalam proyek Reaktor Nuklir Rooppur.
India turut menyediakan perusahaan-perusahaannya yang terlibat dalam mengerjakan
pembangunan PLTN sebagai kontraktor. Selain itu, spesialis Bangladesh dilatih
di Rusia dan India.
Faisal
menganalisis, “Pada
akhirnya, hasil perubahan pemerintahan Bangladesh dengan jatuhnya Hasina tidak akan
menghasilkan perubahan berarti untuk kebaikan masyarakat. Perubahan rezim hanya
upaya pergeseran dominasi dari pencuri yang lama ke perampok yang baru. Dari
rezim tiran Hasina ke calon rezim jongos besutan Amerika dan sekutu.”
Fitnah
“Mirisnya, saat ini, Amerika menggeser opini terkait akar
konflik ke arah fundamentalisme Islam. Judulnya Minoritas Hindu Jadi Korban
Kerusuhan. Terminologi yang menyeret Islam sebagai agama mayoritas. Islam pelaku
kekerasan,” sesal Faisal
Selain itu, pergeseran opini dan tindakan manipulatif
tersebut sejalan dengan pernyataan yang dimuat di Portal Time pada 02 November 2023. “Bangladesh adalah tempat yang sulit, karena penduduk Muslimnya lebih
banyak daripada negara Timur Tengah mana pun,” katanya.
“Di sana, Muslim yang mayoritas
bercampur dengan minoritas yang signifikan sekitar 10 persen penganut Hindu, Buddha, Kristen, dan
lainnya. Meskipun secara konstitusional, Bangladesh sekuler, seorang diktator
militer pada tahun 1988 dan kini dilanjutkan Hasina, menjadikan Islam sebagai
agama negara, menciptakan paradoks yang terbukti menjadi lahan subur bagi
fundamentalis radikal,” ungkapnya.
“Begitulah watak licik dan keji Amerika dan Barat. Mereka yang
berbuat, Islam yang dituduh, difitnah,” pungkasnya.[] Titin Hanggasari