TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto membeberkan tiga hal yang bisa dilakukan umat Islam agar hijrah bisa diterapkan.
"Jika kita bisa melakukan tiga ini maka apa yang diteorikan, atau yang kita pahami sebagai hijrah itu, itu bisa diterapkan. Baik itu hijrah dalam pengertian maknawi (makna) sebagaimana Nabi mengatakan al hajiru man hajaro, maupun hijrah makani (tempat) huruj min daril kufri ilal daril Islam," tuturnya dalam Muharram Islamic Hardtalk 1446 di saluran YouTube One Ummah TV, Ahad (7/7/2024).
Pertama, edukasi atau tasqif. Ia menerangkan, harus dilakukan penyadaran yang bukan sekadar penyadaran, tetapi penyadaran yang mengarah pada perubahan. Penyadaran tersebut lanjutnya, mestilah dilakukan pada level grassroots (akar rumput/umat) dan level tokoh yang memiliki pengaruh, baik pengaruh kekuasaan maupun kekuatan.
"Perubahan itu kekuatannya kan ada dua. Ada di katakanlah kalau bahasa kita itu umat atau grassroots. Kemudian yang kedua ada di influencer people atau influence person, mereka yang punya pengaruh baik pengaruh kekuasaan maupun kekuatan. Karena itulah, dua itu memang harus digarap. Edukasi harus terus sampai kepada mereka, kesadaran harus sampai pada mereka," terangnya.
Kedua, ada kelompok politik sebagai motor penggerak. Partai politik mestinya berfungsi sebagai agen perubahan. Tetapi ia menyayangkan hal itu tidak terjadi di sistem politik hari ini. Tetapi ini hari partai politik itu lebih sekadar sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan dan kekuatan dan keuangan, bukan sebagai agen dari perubahan. Di samping itu, mesti ada pula figur pemimpin yang lahir dari kelompok politik itu.
Ketiga, tokoh. Tokohnya itu harus datang silih berganti. Tidak boleh bergantung pada satu. Begitu satu enggak ada, harus diganti oleh yang lain. Begitu seterusnya," ujar UIY.
Hijrah Meninggalkan Kemaksiatan
Sementara itu, UIY menjelaskan, selain memiliki makna intiqal makani (berpindah dari satu tempat ke tempat lain), yaitu berpindah dari darul kufur ke darul Islam, hijrah juga memiliki arti secara maknawi, yaitu meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Kedua adalah hijratul maknawi. Hijrotul itsmi wal udwan. Yaitu, hijrah meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat.
Lebih lanjut ia menerangkan, ada kemungkaran kultural dan ada pula kemungkaran struktural. Selain itu, kemungkaran tersebut ada yang bersifat personal yang dampaknya pun personal, ada pula kemungkaran komunal yang dampaknya juga pasti komunal, bahkan dunia. Kapitalisme sekularisme kapitalisme oligarki itu kemaksiatan, kemungkaran yang besar, struktural komunal sehingga dampaknya pun komunal, bahkan dunia.
"Ini (sekularisme kapitalisme oligarkik) kemungkaran yang besar. Kemungkaran ini harus ditinggalkan. Melalui apa? Melalui kekuatan perjuangan hijrah tadi itu. Tetapi untuk bisa hijrah, dorongannya tadi sudah disebut, (yaitu) keimanan. Sebab kalau tanpa iman, itu orang enggak ngerti juga kenapa harus hijrah, kemudian nanti bakal seperti apa," pungkasnya.[] Saptaningtyas