TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum Prof. Suteki menilai sejumlah ketentuan baru dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Pori) membahayakan.
"Ini berbahaya," tuturnya dalam diskusi Revisi UU (Kementerian, Polri, TNI, Penyiaran, MK, Wantimpres) di Akhir Jabatan, Ada Apa? Ahad, 14 Juli 2024 di kanal YouTube Media Umat.
Bahaya yang dimaksudnya dalam RUU Polri itu adalah karena adanya tambahan kewenangan penegak hukum (Polisi), yaitu bisa melakukan operasi intelejen sehingga bisa menangkap orang yang belum melakukan pelanggaran hukum sekalipun.
"Wah, itu bisa menangkap orang yang belum melakukan pelanggaran hukum. Tetapi oleh intelejen dikatakan bahwa ini kemungkinan potensi besarnya akan melakukan pelanggaran hukum. Nah, ini bisa. Maka ini berbahaya," tegasnya.
Ia mencatat, dalam RUU tersebut terdapat tambahan pada Pasal 1 no. (17) tentang Ketentuan Umum, yaitu Intelejen dan Keamanan Polri yang selanjutnya disebut Intelkam Polri adalah intelejen yang diimplementasikan dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Menurutnya tambahan ini tidak boleh dianggap sepele karena berpotensi membuat penegak hukum dapat melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang belum melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
"Ini jangan dikira sepele ini. Analisis lebih jauh, maka dalam hal ini demi keamanan dalam negeri, polisi dapat melakukan operasi intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri. Nah, Anda tahu sendiri, ketika dilakukan operasi itu, apa yang bisa dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi? Itu bisa melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang belum melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum," terangnya.
Hal itu menurutnya berbeda dengan tugas pokok Polri yang sudah ada sebelumnya yaitu harkamtibmas (pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat), memberikan perlindungan pengayoman dan melakukan penegakan hukum. "Kalau tiga (tugas pokok) ini, sesuai dengan Pasal 3 undang-undang nomor 2 tahun 2002 itu, maka tidak bisa orang itu ditangkap tanpa pernah melakukan pelanggaran hukum," ujarnya.
Karena itu ia mengingatkan agar publik kritis sehingga tidak ada penegak hukum yang bertindak bar-bar. "Nah kalau ini tidak ada yang mengkritisi, ya, bubar itu. Jadi, ya, kita nanti akan menyaksikan lagi penegak hukum yang bar-bar, yang barbarian. Jadi penegakan hukum yang semau penegak hukum, tanpa memperhatikan tadi persoalan bagaimana undang-undang itu harus menghormati perasaan kemanusiaan," pungkasnya.[] Saptaningtyas