TintaSiyasi -- Penghapusan penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam rangka penerapan Kurikulum Merdeka Belajar merupakan langkah signifikan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk memperbarui sistem pendidikan. Kurikulum Merdeka Belajar diharapkan dapat memberikan kebebasan lebih besar kepada siswa dalam memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan rencana masa depan mereka. Berikut beberapa poin penting terkait kebijakan ini:
1. Kebebasan Memilih Mata Pelajaran:
o Siswa tidak lagi terikat pada jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Mereka dapat memilih mata pelajaran lintas bidang studi sesuai minat mereka. Misalnya, siswa yang tertarik pada biologi tetapi juga memiliki minat dalam sejarah dapat mengambil keduanya.
2. Pengembangan Potensi Individu:
o Dengan memberikan kebebasan memilih mata pelajaran, Kurikulum Merdeka Belajar berusaha mengembangkan potensi setiap individu secara lebih maksimal. Siswa didorong untuk mengeksplorasi minat mereka dan mendalami bidang yang mereka sukai.
3. Pembelajaran yang Fleksibel dan Kontekstual:
o Kurikulum Merdeka Belajar menekankan pada pembelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Siswa diajak untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif dalam menyelesaikan masalah nyata.
4. Guru Sebagai Fasilitator:
o Peran guru berubah dari pengajar utama menjadi fasilitator yang membantu siswa dalam proses belajar mandiri. Guru memberikan bimbingan dan dukungan agar siswa dapat mencapai tujuan belajar mereka.
5. Evaluasi yang Berbasis Kompetensi:
o Penilaian tidak hanya berdasarkan hasil ujian, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain seperti proyek, portofolio, dan partisipasi aktif dalam kegiatan belajar. Evaluasi lebih berfokus pada penguasaan kompetensi daripada hafalan.
6. Persiapan untuk Dunia Kerja dan Perguruan Tinggi:
o Dengan menghapus penjurusan dan memberikan kebebasan dalam memilih mata pelajaran, siswa diharapkan lebih siap menghadapi dunia kerja atau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan bekal pengetahuan yang lebih relevan dan beragam.
Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar ini memerlukan perubahan paradigma dalam dunia pendidikan, baik dari sisi pengajar, siswa, maupun orang tua. Dukungan dan kerja sama semua pihak sangat diperlukan agar tujuan dari kebijakan ini dapat tercapai dengan baik dan membawa perubahan positif bagi pendidikan di Indonesia.
Paradigma Kurikulum Merdeka Belajar
Paradigma Kurikulum Merdeka Belajar merupakan pendekatan baru dalam sistem pendidikan Indonesia yang berfokus pada pemberdayaan siswa, fleksibilitas pembelajaran, dan relevansi dengan kebutuhan dunia nyata. Berikut adalah beberapa aspek utama dari paradigma ini:
1. Fleksibilitas dalam Pembelajaran
• Pemilihan Mata Pelajaran: Siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan tujuan masa depan mereka. Ini memungkinkan siswa untuk merancang jalur pendidikan mereka sendiri tanpa terikat oleh penjurusan yang kaku.
• Metode Pembelajaran: Metode pembelajaran menjadi lebih bervariasi dan adaptif. Guru dapat menggunakan berbagai pendekatan seperti pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
2. Pemberdayaan Siswa
• Siswa sebagai Pusat Pembelajaran: Siswa dipandang sebagai individu yang memiliki potensi unik dan beragam. Kurikulum Merdeka Belajar menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran, mendorong mereka untuk aktif dan mandiri dalam belajar.
• Pengembangan Kompetensi: Fokus pembelajaran beralih dari sekadar menghafal fakta ke pengembangan kompetensi seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi.
3. Guru sebagai Fasilitator
• Peran Guru: Guru berperan sebagai fasilitator yang mendampingi dan membimbing siswa dalam proses pembelajaran. Guru membantu siswa menemukan cara belajar yang paling efektif dan relevan bagi mereka.
• Pengembangan Profesional: Guru juga didorong untuk terus mengembangkan kompetensi profesional mereka melalui pelatihan dan pengembangan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung penerapan Kurikulum Merdeka Belajar secara efektif.
4. Pembelajaran yang Kontekstual dan Relevan
• Kontekstualisasi Materi: Materi pembelajaran disesuaikan dengan konteks kehidupan sehari-hari dan perkembangan dunia kerja. Hal ini bertujuan agar siswa dapat melihat langsung relevansi dari apa yang mereka pelajari dengan kehidupan nyata.
• Pembelajaran Berbasis Proyek dan Masalah: Siswa diajak untuk mengerjakan proyek atau memecahkan masalah nyata, sehingga mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam situasi praktis.
5. Evaluasi Berbasis Kompetensi
• Penilaian Holistik: Penilaian tidak hanya berdasarkan hasil ujian, tetapi juga mencakup aspek lain seperti proyek, portofolio, dan keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara holistik untuk mengukur penguasaan kompetensi.
• Umpan Balik yang Konstruktif: Penilaian diberikan dalam bentuk umpan balik yang konstruktif untuk membantu siswa memahami kekuatan dan area yang perlu ditingkatkan.
6. Penguatan Karakter
• Nilai-nilai Pancasila: Kurikulum Merdeka Belajar juga menekankan pada penguatan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran karakter ini diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran dan kegiatan sekolah.
7. Kolaborasi dan Keterlibatan Komunitas
• Peran Orang Tua dan Masyarakat: Orang tua dan masyarakat diajak untuk berperan aktif dalam proses pendidikan. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih holistik dan suportif.
• Kerjasama dengan Industri: Kolaborasi dengan dunia industri juga diupayakan untuk memastikan bahwa pendidikan yang diberikan relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Paradigma Kurikulum Merdeka Belajar ini bertujuan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan relevan dengan perkembangan zaman. Transformasi ini diharapkan dapat menghasilkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan global dengan keterampilan dan karakter yang kuat.
Kritik Islam terhadap Kurikulum Merdeka Belajar
Kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia mendapat perhatian dari berbagai kelompok, termasuk komunitas Islam. Berikut adalah beberapa kritik yang sering muncul dari perspektif Islam terhadap Kurikulum Merdeka Belajar:
1. Kekhawatiran tentang Nilai-Nilai Moral dan Agama
• Pengurangan Konten Agama: Beberapa kelompok mengkhawatirkan bahwa Kurikulum Merdeka Belajar mungkin mengurangi porsi pendidikan agama dalam kurikulum. Mereka berpendapat bahwa pendidikan agama adalah dasar penting dalam membentuk karakter dan moral siswa.
• Integrasi Nilai Agama: Ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai agama kurang diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Mereka menginginkan pendekatan yang lebih holistik di mana nilai-nilai Islam diintegrasikan ke dalam setiap aspek pembelajaran.
• Tsaqafah Islam sama sekali tidak tampak diposisikan sebagai materi esensial. Total jam pelajaran per tahun yang dialokasikan untuk mata pelajaran Agama Islam hanya 13%, itu pun yang diajarkan adalah Islam sebagaimana perspektif Barat. Sedangkan begitu nyata urgensi tsaqafah Islam sebagai pencerdasan akal/pikiran siswa. Tsaqafah Islam adalah semua pengetahuan yang akidah Islam menjadi sebab pembahasannya. Sebaliknya, tsaqafah Barat justru bersifat perusak potensi kecerdasan.
• Selain itu, juga tampak dari kedudukan proyek penguatan profil Pancasila yang sejatinya adalah proyek penguatan profil sekuler sebagai kegiatan utama kurikulum. Begitu besarnya alokasi total jam pelajaran per tahun yang diberikan, yaitu SD (20%), dan SMP/MTs (25%), serta SMA (30%). Entah melalui muatan lokal, tambahan, maupun mata pelajaran intrakurikuler. Tema-tema proyek penguatan profil pelajar Pancasila dan arah pembahasannya yang sekuler mempertegas hakikat proyek Pancasila itu.
• Lalu juga terlihat dari materi pendidikan inklusif-adaptif-inklusif, serta konten-konten yang menyerang Islam. Misalnya, agenda gender equality dan kesehatan reproduksi yang sarat muatan paham kebebasan berperilaku, ditambah moderasi beragama. Itu semua hanyalah untuk tujuan pendidikan sekuler.
2. Perubahan Paradigma Pembelajaran
• Pembelajaran Berbasis Proyek dan Masalah: Meskipun pembelajaran berbasis proyek dan masalah dianggap inovatif, beberapa kritikus menyatakan bahwa metode ini mungkin tidak selalu sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam tradisional yang menekankan hafalan dan pemahaman mendalam tentang teks-teks agama.
• Peran Guru: Dalam tradisi pendidikan Islam, guru (ustadz) memiliki peran yang sangat sentral dan dihormati. Perubahan peran guru dari pengajar utama menjadi fasilitator mungkin dilihat sebagai pengurangan otoritas dan peran penting guru dalam membentuk karakter siswa.
3. Kekhawatiran Terhadap Liberalisasi Pendidikan
• Pengaruh Nilai-Nilai Barat: Ada kekhawatiran bahwa Kurikulum Merdeka Belajar terlalu terpengaruh oleh nilai-nilai pendidikan Barat yang lebih sekuler dan liberal. Beberapa kritikus merasa bahwa ini bisa mengikis nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
• Kebebasan Memilih Mata Pelajaran: Meskipun kebebasan memilih mata pelajaran dianggap positif, ada kekhawatiran bahwa ini dapat membuat siswa kurang mendalami mata pelajaran yang dianggap penting dalam Islam, seperti pendidikan agama dan sejarah Islam.
• Di sisi lain, pada mata pelajaran ilmu pengetahuan selain tsaqafah, siswa hanya dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan agar berkemampuan literasi dan numerasi dengan spirit sekularisme, dan berketergantungan tinggi pada berbagai produk AI (kecerdasan buatan). Oleh karena itu, mereka hanya dipersiapkan sebagai buruh terdidik yang berdedikasi bagi kapitalisme.
4. Konteks Sosial dan Kultural
• Kesiapan Siswa dan Guru: Kritik lain adalah tentang kesiapan siswa dan guru dalam mengadopsi Kurikulum Merdeka Belajar. Beberapa merasa bahwa tidak semua siswa dan guru siap untuk perubahan ini, terutama di daerah-daerah yang lebih konservatif dan kurang akses terhadap sumber daya pendidikan modern.
• Penerapan di Pesantren: Kurikulum Merdeka Belajar mungkin sulit diterapkan di lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren, yang memiliki kurikulum sendiri dan metode pengajaran yang berbeda.
5. Evaluasi dan Penilaian
• Penilaian Holistik: Meskipun penilaian berbasis kompetensi dan holistik dianggap baik, beberapa kritikus merasa bahwa ini bisa menjadi subyektif dan kurang memberikan penekanan pada evaluasi berbasis hafalan dan pemahaman mendalam yang menjadi ciri khas pendidikan Islam.
6. Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas
• Peran Orang Tua dalam Pendidikan Agama: Ada kekhawatiran bahwa Kurikulum Merdeka Belajar mungkin mengurangi peran orang tua dalam memberikan pendidikan agama. Mereka menekankan pentingnya keterlibatan orang tua dalam memastikan pendidikan agama tetap menjadi prioritas.
Solusi dan Saran:
1. Integrasi Nilai Agama: Memastikan bahwa nilai-nilai Islam diintegrasikan secara holistik dalam semua mata pelajaran.
2. Pelatihan Guru: Memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar tanpa mengurangi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
3. Partisipasi Komunitas Islam: Melibatkan ulama dan komunitas Islam dalam pengembangan dan implementasi kurikulum untuk memastikan relevansi dan penerimaan yang lebih luas.
4. Penyesuaian di Pesantren: Mengembangkan model Kurikulum Merdeka Belajar yang khusus untuk pesantren yang sesuai dengan metode pengajaran dan kurikulum tradisional mereka.
Dengan mempertimbangkan kritik-kritik ini dan mencari solusi yang tepat, diharapkan Kurikulum Merdeka Belajar dapat diterima lebih luas dan memberikan manfaat yang maksimal bagi semua siswa di Indonesia, termasuk yang berasal dari komunitas Islam.
Sistem Pendidikan Islam dan Tujuan Pendidikan dalam Islam
Kurikulum pendidikan dalam sistem pendidikan dalam Khilafah Islamiyyah merupakan jantung sistem pendidikan. Ia adalah faktor penentu terwujudnya tujuan pendidikan Islam dalam sitem Khilafah, di samping keberadaan para guru yang kompeten dan pemantauan prestasi anak didik beserta upaya peningkatannya.
Sistem pendidikan Islam tersusun dari sekumpulan hukum syara’ yang terpancar dari akidah Islam. Mencakup berbagai aturan administrasi, termasuk pemanfaatan teknologi terkini bagi pencapaian tujuan pendidikan yang efektif.
Akidah Islam wajib dijadikan sebagai landasan sehingga tujuan pendidikan, metode pengajaran, dan metode berpikir, tidak boleh menyimpang sedikit pun dari landasan tersebut. Demikian juga mata pelajaran, susunan, dan jam pelajaran beserta kompetensi dan standar yang harus dicapai.
Sobat. ada dua tujuan pokok sistem pendidikan Islam.
Pertama, membangun kepribadian islami, pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) bagi anak-anak umat. Keharusan ini disebabkan akidah Islam adalah asas kehidupan setiap muslim sehingga harus menjadi asas berpikir dan berkecenderungan.
Terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis penggugah berpikir sebagai buah keimanan kepada Allah Taala. Misalnya, QS Ali Imran ayat 191, “Dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi.” Rasulullah saw. bersabda, “Berpikir sesaat lebih baik dari pada beribadah setahun.” Juga banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis pengingat agar seorang muslim cenderung dengan landasan akidah Islam, seperti QS At-Taubah ayat 24.
Strategi pendidikan wajib dirancang untuk perwujudan identitas keislaman yang kuat, baik dari aspek pola pikir maupun sikap. Metodenya dengan penanaman tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islam ke dalam akal dan jiwa siswa. Oleh karenanya, kurikulum pendidikan Islam dalam system Khilafah harus disusun dan dilaksanakan demi merealisasikan semua tujuan tersebut.
Kedua, mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar di antara mereka menjadi para ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, dan peradilan); maupun berbagai bidang sains, (teknik, kimia, fisika, dan kedokteran), yakni para ilmuwan, pakar, dan ahli.
Oleh. Dr. N. Faqih Syarif H., M.Si.
Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa