Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pemberian HGU 190 Tahun kepada Investor di IKN Berbahaya Terhadap Kedaulatan Negara

Selasa, 30 Juli 2024 | 18:59 WIB Last Updated 2024-07-30T12:00:12Z
TintaSiyasi.id -- Menanggapi pemberian HGU SAMPAI 190 tahun kepada investor di lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2024, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai aturan tersebut bernahaya terhadap kedaulatan negara dan tidak adil untuk rakyat.

"Betapa bahayanya Perpres ini terhadap kedaulatan negara dan betapa tidak adilnya untuk rakyat Indonesia," tuturnya dalam Lawan Arus HGU 190, Niat Dijajah? di kanal YouTube Media Umat, Rabu (24/7/2024).

Menurutnya, dilihat dari lamannya (190 tahun), izin tersebut seakan memberikan karpet merah bagi penjajah untuk menguasai seluruh sumber daya yang ada. Dari sisi kedaulatan, memang pemerintah mengatakan bahwa lahan ini tetap milik negara. 

"Tetapi kemudian yang berkuasa di situ bukan negara, melainkan hak guna usahanya mutlak milik yang mengontrak, yaitu para investor asing," terangnya.

Ia melanjutkan, jika kemudian terjadi hal-hal yang dipandang merugikan negara, negara tidak akan bisa berbuat apa-apa karena terikat dengan undang-undang. Kalaupun undang-undangnya diganti, juga akan bermasalah secara internasional.

Bercokolnya investor asing hampir dua abad, akan mempengaruhi status tanah di sana. Sumber daya yang ada di sana hanya akan dipegang dan dikuasai oleh segelintir orang (investor). Padahal, bisa jadi di atas lahan itu banyak kepentingan rakyat, banyak hajat rakyat yang seharusnya bisa diberikan kepada rakyat, seperti ada sumber air, tambang, dan lain-lain.

"Apakah Perpres ini memberikan garansi bahwa pemerintah bisa mencabut HGU ini dengan klausul yang kemudian berpihak kepada negara? Dan apakah pengadilan juga bisa? Kita kan tidak tahu," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, HGU 190 tahun itu juga merupakan bentuk ketidakadilan kepada rakyat karena: pertama, dari sisi kepemilikan lahan, di sana ada beberapa suku dan di sana bukan lahan kosong begitu saja. Di sana banyak warga yang sudah tidak boleh lagi mengelola lahannya, karena sudah dikuasai bank tanah.

Dengan begitu, masyarakat di sana tidak boleh lagi mengelola maupun menjualnya. "Kalau lahan sudah masuk bank tanah, berarti sudah menjadi PSN (proyek strategi nasional), maka orang tidak boleh lagi menjual dan mengelolanya. Sementara banyak di antara warga yang menggantungkan hidupnya dari pengelolaan lahan di sana," cetusnya.

Kedua, izin 190 tahun diberikan begitu mudah ditambah dengan potongan pajak yang luar biasa (kepada investor). Sementara ada 80 juta warga yang tidak punya sertifikat lahan karena memang sulit mengurus SHM (sertifikat hak milik).

"Ketika swasta ataupun pemerintah akan membangun lahan tersebut dan warga tidak punya sertifikat, pemerintah menggunakan klausul 'tanah Anda tidak punya sertifikat', maka tanah ini menjadi milik negara. Seperti kasus yang terjadi di Rempang," tegasnya.

Ketiga, pembangunan IKN sudah mengancam habitat makhluk hidup dan mengancam penghidupan banyak warga. Ada lebih dari sepuluh ribu nelayan yang terancam penghasilan dan penghidupannya karena laut tempat mereka mencari ikan akan terkena dampak kerusakan, hancur, dan lain-lain.

"Sementara, sekarang digelar karpet merah untuk investor asing yang mereka belum tentu akan memberikan keuntungan besar untuk rakyat Indonesia. Yang jelas, hanya mereka yang untung," pungkasnya.[] Faizah

Opini

×
Berita Terbaru Update