TintaSiyasi.id -- Menurut Liputan6.com (20/08/24) , harga minyak goreng Minyakita, juga dikenal sebagai minyakita, telah naik dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 per liter. Dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengumumkan kenaikan ini.
Kemenag harus menyesuaikan harga eceran minyak goreng dengan kenaikan biaya produksi dan perubahan nilai tukar rupiah, menurut ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat. Achmad mengatakan, "Dua alasan ini sebenarnya aneh, karena minyak goreng dihasilkan dari minyak sawit di mana Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia."
Tidak diragukan lagi, kenaikan harga MinyaKita memicu spekulasi. Untuk alasan apa negara penghasil sawit terbesar di dunia memutuskan untuk menaikkan harga minyak goreng? Seperti yang diketahui, sawit adalah sumber minyak goreng. Produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton, naik 7,15% dari tahun 2022, yang membuat kebijakan ini sangat tidak masuk akal. Meskipun namanya "MinyaKita", apakah itu benar-benar milik kita?
MinyaKita Bukan Milik Kita
Kenaikan HET MinyaKita pasti akan memengaruhi ekonomi rakyat, karena kenaikan harga minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga kondisi ekonomi masyarakat akan tertekan, meskipun pemerintah mengklaim ada timbal balik ekonomi.
Saat beban ekonomi menjadi lebih berat, haruskah rakyat terus mengalami kesulitan lagi untuk mengikuti kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan mereka? Para pelaku usaha kuliner mikro dan makro jelas merupakan kelompok masyarakat yang paling terdampak kebijakan ini. Akibatnya, harga makanan harus naik, yang mengakibatkan pengeluaran rumah tangga makin besar. Masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk sekadar membeli makanan ringan.
Pemerintahan kapitalis selalu berhitung untung dan rugi kepada rakyat. Indikasinya ada pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan pengaruh nilai tukar rupiah.
Pemerintah seakan telah bersiap jika terjadi kemungkinan naiknya biaya produksi dan nilai tukar rupiah melemah yang akan memengaruhi harga distribusi minyak goreng. Seakan tidak mau rugi, semua hitungan kerugian tersebut sudah disiapkan dan dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan HET minyak goreng.
Pada tingkat distribusi, dominasi perusahaan swasta dalam produksi minyak sawit berdampak pada rantai distribusi minyak goreng. Penguasaan perusahaan swasta membuat perjalanan distribusi lebih lama, yang menyebabkan harga minyak menjadi lebih mahal.
Didistribusikan dari produsen ke distributor, yang kemudian didistribusikan melalui agen-agen lokal, dan akhirnya sampai ke reseller hingga mencapai pembeli tingkat akhir, yaitu konsumen. Berapa biaya operasional dan pengiriman yang diperlukan untuk mendistribusikan minyak goreng kemasan ke pasar kontemporer dan konvensional? tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar.
Jika negara mengambil alih pengelolaan sawit, hal itu akan berbeda. Negara akan mendistribusikan pasokan minyak goreng kemasan dengan biaya yang minimal dan tidak akan membebankan biaya operasional distribusi kepada rakyat. Sementara itu, jika pengelolaan sawit diserahkan kepada swasta, mereka tidak akan mau rugi dengan menanggung biaya distribusi secara cuma-cuma. "Tidak ada makan siang gratis" adalah ciri khas kapitalisme.
Hanya Solusi Islam
Di dalam Islam negara harus memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan cara yang mudah dan murah. Negara akan menetapkan kebijakan untuk produksi, distribusi, dan konsumsi dalam pengelolaan sawit. Tanah yang tidak dikelola atau dibiarkan tanpa pengawasan selama tiga tahun dianggap mati oleh pemerintah.
Sehingga memberi peluang bagi pencari nafkah untuk menanami atau mengelolanya menjadi kebun sawit atau lahan pertanian lainnya. Membantu petani memenuhi kebutuhan pertanian mereka, termasuk petani sawit, negara menyediakan sarana pertanian. Petani sawit sangat dirugikan oleh penguasaan lahan sawit oleh swasta saat ini.
Tiap individu dapat memiliki tanah asalkan tanah tersebut bukan milik umum. Namun, sistem kapitalisme telah membiarkan pengalihgunaan lahan hutan menjadi perkebunan sawit secara membabi buta.
Selain itu, Islam melarang tindakan yang dapat merusak alam. Ini termasuk mengalihfungsikan tanah milik umum menjadi kebun milik swasta atau orang-orang yang mengganggu keseimbangan lingkungan. “Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, dan memburu kambing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya,” kata Tsauban, seorang khadim Rasulullah صلى الله عليه وسلم.(HR. Ahmad)
Negara akan memastikan harga TBS (tandan buah sawit) stabil dan korporasi tidak akan mempermainkan petani jika negara berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sawit. Memastikan bahwa stok makanan yang dibutuhkan masyarakat tersedia di setiap pasar. Negara juga dapat menunjuk hakim pasar, yang dikenal sebagai hakim hisbah, untuk mengawasi perekonomian pasar dan menegakkan hukum bagi organisasi yang melanggar hukum, seperti pedagang curang, mafia, dan kartel pangan, dan lainnya.
Dengan demikian, penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan memungkinkan akses ke makanan yang mudah dan murah serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena negara akan bertanggung jawab atas distribusi kebutuhan pangan rakyat, termasuk minyak goreng.
Oleh: Hilya Qurrata
Aktivis Dakwah