Tintasiyasi.id.com -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 tak masuk akal. Pasalnya, dia menyebut Indonesia merupakan eksportir minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng.
Minyak goreng, menurut Tulus, telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Karena itu, negara seharusnya mengintervensi keadaan melalui kebijakan agar harga bisa turun. Salah satunya, dia menyarankan dengan membereskan jalur distribusi (bisnis.tempo.co, 20/7/2024).
Banyak masyarakat mengeluhkan kenaikan minyak goreng merk Minyakita, khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mulai dari pedagang, konsumen, dan pelaku UKM. Bagi konsumen rumah tangga, pengeluaran mereka akan bertambah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kondisi ini tentu makin menyulitkan, mengingat masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
Bagi pedagang dan pelaku UMKM, mereka bisa kehilangan konsumen, dan pendapatan menurun akibat makin tingginya modal dagang dan biaya produksi. Keadaan ini tentu perlu dievaluasi, mengapa sebagian besar rakyat negeri ini sulit menjangkau minyak goreng, padahal negeri ini termasuk penghasil sawit sebagai bahan baku minyak goreng terbesar di dunia.
Tak bisa dipungkiri, ada kesalahan tata kelola pangan di negeri ini. Selama ini, negara menggunakan sistem ekonomi kapitalisme dalam mengatur urusan negara dan rakyat. Segala kebijakan pangan yang dikeluarkan penguasa, seluruhnya lahir dari sistem ekonomi kapitalisme.
Sistem kapitalisme menjadikan negara lepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya, termasuk minyak goreng. Negara menyerahkan pengurusannya mulai dari sektor hulu (produksi), hingga sektor hilir (distribusi) kepada pihak korporasi. Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang menjamin bisnis yang kondusif bagi para korporat.
Ketika negara tidak berperan, maka pihak swasta dengan orientasi bisnis leluasa menguasai rantai produksi hingga distribusi. Buktinya, sebagian besar lahan sawit sudah dikuasai oleh pihak swasta dengan izin pengelolaan yang semakin dipermudah oleh negara.
Begitu pula perusahaan minyak goreng bertebaran di negeri ini. Alhasil, negara sangat bergantung pada pihak swasta dalam hal pemenuhan stok minyak goreng dalam negeri.
Kondisi ini dengan mudah dimanfaatkan pihak swasta untuk menyetir harga pasar demi mendapatkan keuntungan. Apalagi negara dipandang gagal memberantas pelaku kartel hingga penimbun dirantai distribusi, sehingga menyebabkan harga minyak goreng makin mahal.
Sungguh, kestabilan harga minyak goreng dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas tidak akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah, sebab pemimpin adalah raa'in yang mengatur urusan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus. Sementara paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan bukan bisnis atau keuntungan.
Islam memandang pemenuhan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Oleh karena itu, minyak goreng sebagai kebutuhan pangan rakyat akan dipenuhi negara. Negara tidak boleh menyerahkan pengurusan pemenuhan kebutuhan minyak goreng ini kepada pihak swasta.
Ada beberapa langkah yang akan dilakukan negara, antara lain:
Pertama, negara akan menjaga pasokan produksi dalam negeri dengan memberi support bagi para petani sawit dalam mengelola lahan. Dengan prinsip pemilikan lahan dalam Islam, negara akan memudahkan petani sawit mendapat lahan.
Selain itu, negara menunjang sarana dan infrastruktur pertanian. Bahkan, negara menjadikan sektor pertanian produktif dengan kemudahan petani mengakses modal bertani.
Kedua, negara akan menciptakan pasar yang sehat sehingga terwujud kestabilan harga. Negara akan mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Dalam Islam, penimbunan minyak goreng oleh perusahaan maupun pedagang akan mendapat sanksi tegas dari negara.
Ketiga, negara tidak menetapkan HET untuk produk pangan apa pun, tetapi menyerahkan harga pada mekanisme pasar, namun tetap dalam pengawasan negara.
Keempat, negara membolehkan pihak swasta mendirikan perusahaan produksi minyak goreng, namun tidak membiarkan perusahaan menguasai rantai produksi pangan rakyat untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit akan menjadikan minyak goreng mudah diperoleh rakyat dengan harga murah.
Sungguh, penerapan Islam secara keseluruhan di bawah institusi Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan rakyat karena negara benar-benar diposisikan sebagai pengurus rakyat (raa'in).Wallahu a'lam bishshawwab.[]
Oleh: Sumariya
(Aktivis Muslimah)