Tintasiyasi.id -- Tak hanya warga biasa praktik judi online pun kini sudah merambah ke kalangan wakil rakyat yang duduk di kursi DPR maupun DPRD. Pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan menyebut ada seribu orang wakil rakyat baik di pusat dan daerah yang terseret di pusaran judi online.
Hal tersebut diungkapkan kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dalam rapat kerja bersama Komisi tiga DPR di kompleks parlemen Jakarta. Ivan menyebutkan, angka yang dipotret PPATK itu terdiri dari legislator maupun mereka yang bekerja di lingkungan sekretariat jenderal DPR maupun DPRD. Jumlah uang dan transaksi judi daring di lingkungan DPR dan DPRD tersebut sangat fantastis, yaitu mencapai lebih dari 63.000 transaksi dengan nominal perputaran hingga Rp. 25 miliar rupiah. (tvonenews.com, 27/6/2024)
Sungguh memalukan, fakta wakil rakyat justru terlibat judi online. Padahal sebagian masyarakat berharap wakil rakyat bisa menghentikan judi online, namun nyatanya mereka sendiri menjadi pelaku.
Realitas tersebut, jelas mencerminkan betapa buruknya kualitas wakil rakyat, mulai dari integritas yang lemah, tidak amanah dan kredibilitas yang rendah. Di sisi lain, banyaknya wakil rakyat yang terjebak judi online juga menggambarkan bahwa masalah ini bukan masalah individu, melainkan sistem.
Masyarakat harus sadar bahwa mereka sedang diatur oleh sistem rusak bernama kapitalisme. Sistem dari Barat ini meniscayakan orang-orang yang memiliki kekuasaan di pimpin oleh hawa nafsunya. Sehingga menjadi manusia-manusia yang serakah dan merasa kurang berapapun penghasilannya. Karena orientasi sistem kapitalisme adalah mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Oleh karena itu, selama ada kesempatan meraup keuntungan besar, maka kesempatan tersebut harus digunakan tidak peduli lagi halal dan haram. Jadi, tidak mengherankan sekalipun para pejabat sudah digaji sangat tinggi dari uang rakyat, mendapatkan tunjangan disana sini, bahkan mendapatkan proyek besar, mereka tetap terlibat judi online.
Ditambah lagi, sistem demokrasi yang digunakan sebagai sistem pemerintahan oleh kapitalisme menjadikan anggota dewan hari ini lebih banyak melegalisasikan kepentingan penguasa dan oligarki. Hal tersebut terbukti dengan ditetapkannya berbagai undang-undang yang mereka rancang, mereka bahas dan mereka sahkan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat. Jadi, slogan "Wakil rakyat bekerja untuk rakyat" hanyalah slogan omong kosong.
Seperti inilah, wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme. Mereka direkrut tidak mengutamakan kredibilitas dan juga representasi masyarakat. Alhasil, para wakil rakyat tidak bekerja untuk mewakili rakyat, namun untuk kesenangan pribadi dan para korporat.
Keberadaan Wakil Rakyat dalam Islam
Dalam sistem Islam anggota wakil rakyat disebut Majelis Umat. Mereka adalah orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah. Adapun Orang-orang yang mewakili penduduk wilayah disebut Majelis Wilayah. Orang-orang non-Muslim diizinkan menjadi anggota Majelis Umat guna menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol) dan mengoreksi para pejabat pemerintahan (al-Hukam). Setiap orang yang memiliki hak kewarganegaraan Islam boleh untuk menjadi anggota Majelis Umat, selama ia berakal, balig, dan merdeka.
Majelis Umat dipilih melalui pemilu bukan penunjukan. Hal ini dimaksudkan agar khalifah dapat mengetahui kebutuhan suatu daerah melalui Majelis Umat. Di mana keberadaan mereka adalah wakil individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat secara representatif di daerah tersebut. Kebutuhan yang demikian hanya bisa direalisasikan melalui pemilu dan pastinya orang-orang yang menjadi Majelis Umat diketahui oleh masyarakat daerahnya sebagai orang yang amanah bertanggung jawab dan peduli terhadap kondisi masyarakat.
Perlu dipahami bahwa menyampaikan pendapat, aspirasi, muhasabah dan usulan kepada pemerintahan khilafah adalah hak setiap warga negara. Mereka berhak menggunakan hak itu secara langsung, atau mewakilkannya kepada orang lain.
Dulu, penduduk Yaman pernah melaporkan bacaan yang dibaca Muadz bin Jabal karena dinilai terlalu panjang ketika menjadi imam shalat. Nabi segera menegur dia.
"Ada seseorang melapor (kepada Rasul), “Wahai Rasulullah, saya hampir tidak pernah mengikuti shalat (berjamaah) karena panjangnya (bacaan) fulan yang menjadi imam kami.” Lalu saya tidak melihat Nabi saw. dalam memberikan nasihat dengan sangat marah melebihi hari itu. Beliau lalu bersabda, “Wahai manusia, kalian harus bergegas (bersama untuk shalat). Siapa yang menjadi imam shalat orang lain hendaknya memperpendek sebab di situ juga ada yang sakit, lemah dan orang yang mempunyai hajat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat (bermusyawarah). Bahwasanya Rasulullah saw. telah meminta kaum Muslim untuk memilih 14 orang pemimpin dari kalangan Ansor dan Muhajirin untuk menjadi tempat meminta masukan dalam berbagai persoalan.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah SAW terhadap orang-orang tertentu di antara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. Hanya saja, ada beberapa sahabat yang sering diajak bermusyawarah dan dimintai pendapat oleh Rasulullah SAW. Mereka adalah Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, Hudzaifah al Yaman, dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW adalah pemimpin yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahlul ra’yi (para pemikir) serta orang yang beliau pandang mempunyai kecemerlangan dan kelebihan dalam berpikir. Mereka selalu memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman dan ketakwaan mereka dalam rangka menegakkan hukum Islam dalam kehidupan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ali yang mengatakan, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tak seorang nabi pun sebelumku kecuali diberi tujuh pemimpin (kaum), pembantu yang mulia. Aku telah diberi empat belas pembantu, pemimpin yang mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin.”
Dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, dari jalur Ali, disebutkan nama-namanya, “…Hamzah, Ja’far, ‘Ali, Hasan, Husain, Abu Bakar, ‘Umar, Miqdad, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzar, Hudzaifah, Salman, ‘Ammar, dan Bilal.”
Dengan demikian, keberadaan Majelis Umat sebagai wakil rakyat bukan untuk melakukan legalisasi seperti perwakilan dalam sistem demokrasi Namun sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif khalifah. Sebab, Allah Ta'ala membolehkan untuk bersyuro (diskusi) terkait perkara yang bisa didiskusikan, bukan diskusi terhadap hukum syariat.
Allah Ta'ala berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.“ (QS Ali Imran: 159).
Ini berkaitan dengan kaum Muslim, adapun bila dikaitkan dengan nonmuslim, yaitu firman Allah Ta'ala,
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada ahla adz-dzikir (orang-orang yang berilmu), jika kamu tiada mengetahui.”
(QS Al-Anbiya: 7).
Pengertian ahli dzikr di sini mencakup ahli kitab.
Dalam kitab At Thariq, Syaikh Ahmad Athiyat menjelaskan, beberapa wewenang utama Majelis Syura, yaitu
1. Memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, sebagaimana juga usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. Dalam hal ini pendapat majelis bersifat mengikat.
2. Mengoreksi khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mengikat pula. Bila terjadi perbedaan dengan khalifah, maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.
3. Menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu’awin, yang melanggar hukum syara' dan menyulitkan rakyat dan khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan itu.
4. Memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.
Dari sini sangat jelas bahwa keberadaan Majelis Umat adalah representasi umat, berperan penting dalam menjaga penerapan hukum syara' oleh pejabat negara dan menyalurkan aspirasi rakyat. Demikianlah rincian, wewenang dan kriteria anggota perwakilan rakyat dalam sistem Islam yang diterapkan secara praktis dalam Daulah Khilafah.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis