TintaSiyasi.id -- Dihebohkan lalu dibatalkan. Begitulah pola produksi kebijakan di negeri ini. Begitu banyak peraturan kontroversial yang bikin publik heboh hingga akhirnya ditarik atau batal. Kebijakan test the water, sesuatu yang lazim di negara demokrasi.
Terakhir, Kemendikbudristek menarik buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum pada Rabu (22/5/2024) dan sekarang tengah direvisi. Menyusul kritikan pedas berbagai elemen masyarakat yang menilai kontennya cabul. Padahal buku ini sebagai bacaan sastra untuk guru dan anak-anak di seluruh sekolah di Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle) Ahmad Rizali, buku panduan ini dinilai mempromosikan pornografi, kecabulan, pedofilia, dan LGBT. Dia mencontohkan novel "Puya ke Puya" karya Faisal Oddang yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2021. Di halaman 208, ada narasi kekerasan seksual berbunyi “Saya merogoh selangkangannya, Memasukkan gagang parang berkali-kali, sebelum saya setubuhi. Malena hanya mampu menangis.” Di halaman 45, terdapat adegan pedofilia (kekerasan seksual terhadap anak). Di halaman 76 dan 79, terdapat adegan dan teks promosi LGBT.
Ahmad Rizali menegaskan, contoh-contoh karya sastra dalam Buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum menjadi bukti tragedi intelektual. Sebab seharusnya para kurator Kemendikbudristek itu bertugas meleksi buku sastra yang memiliki nilai sastra tinggi dan memenuhi norma-norma dalam masyarakat (rmol.id, 30/5/2024).
Ironis! Buku yang seharusnya menunjang proses pendidikan tapi jauh dari kata mendidik. Diduga liberalisasi pendidikan tengah terjadi. Bagaimana nasib generasi enggak tambah buruk lagi? Sementara hari ini mereka masih berkubang dalam problematika; tawuran, gaul bebas, narkoba, pinjol, judol, dan sebagainya.
Penyebab Muatan Cabul Masuk Kurikulum Merdeka Sekolah
Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek, Anindito Utomo, karena kondisi literasi di Indonesia lemah, maka dalam Program Merdeka Belajar, pihaknya mengupayakan berbagai cara peningkatan dan budaya literasi di sekolah. Salah satunya program sastra masuk sekolah.
Tujuan program sastra yaitu mengenalkan karya sastra pada anak, melatih empati dan cara berpikir. Program ini sebagai alat bantu guru untuk mengimplementasikan pelajaran yang cocok. Melibatkan pengarang atau sastrawan sebagai kurator yang juga merekomendasikan karya sastra yang memiliki nilai untuk pelajar. Namun karena buku panduannya menuai banyak kritik lantaran kontennya mengandung hal vulgar, maka Kemendikbudristek kemudian menariknya (kumparan.com, 31/5/2024).
Sementara sastrawan sekaligus Anggota Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum, Okky Madasari memastikan pilihan buku sastra yang akan digunakan sebagai bahan ajar telah menyesuaikan dan mematuhi kriteria Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Menurutnya, konten-konten tersebut perlu dibaca secara utuh, karena jika dibaca hanya per baris atau kalimat, tidak bisa mewakili makna buku secara keseluruhan (republika.co.id, 31/5/2024).
Bila menyelisik akar permasalahannya, kita akan mendapati bahwa Program Sastra Masuk Kurikulum tidak lepas dari kurikulum Merdeka Belajar yang diterapkan saat ini. Realitasnya, asas sekularisme telah menjadikan kurikulum ini jauh dari nilai agama (Islam). Padahal sejatinya ia berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Dengan demikian, target peningkatan minat baca dan literasi dalam program ini justru didominasi oleh muatan bacaan sekuler.
Pun sastra merupakan ranting dari pohon sistem yang memiliki asas tertentu. Saat ini sistem yang diterapkan adalah kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Adapun cabang-cabangnya adalah kebebasan (liberalisme) di berbagai bidang kehidupan. Sastra kemudian menjadi ranting dari cabang kebebasan berpendapat dan berpikir.
Pada akhirnya, keuntungan materi (atau kesenangan) lebih mendominasi tujuan penulisan karya sastra, meski sebagian sastrawan masih konsisten mencerdaskan bangsa. Akibatnya, di dalam sistem sekuler tumbuh subur karya sastra yang menuruti selera pembaca, yaitu seputar pergaulan bebas, perselingkuhan, horor, dan sejenisnya. Jauh dari tujuan mencerdaskan bangsa. Selera pembaca ini terbentuk karena alam kehidupan kita yang memang didominasi sekularisme. Jadi supply maupun demand sastra sama-sama sekuler.
Diduga, program ini sarat bermuatan liberalisasi. Sebagai upaya meliberalkan atau membebaskan peserta didik dari keterikatan pada agama. Bayangkan bila konten pergaulan bebas, pedofil, dan LGBT merasuk di benak pelajar hingga membuat mereka merasa tidak ada yang salah dengan perilaku amoral tersebut, apa yang akan terjadi?
Dengan realitas seperti ini, bagaimana mungkin tujuan pendidikan demi mewujudkan generasi cerdas, bertakwa, dan berkarakter mulia mampu dicapai? Di satu sisi, bercita-cita mewujudkan generasi berwawasan luas karena gemar membaca, tetapi pelajar justru disuguhi buku bacaan yang didominasi pemikiran sekuler, liberal, dan kapitalis.
Potensi Dampak Muatan cabul dalam Kurikulum Merdeka Sekolah terhadap Moralitas Anak
Pelajar (anak didik) secara umum masuk usia remaja, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Rentang usia 12–22 tahun dan tengah terjadi proses pematangan baik fisik, maupun psikologis.
Pada masa ini juga terjadi perubahan (perkembangan) emosional, kognitif, dan psikis. Salah satunya ialah motivasi serta rasa keingintahuan yang tinggi termasuk aspek seksualitas. Di era internet saat ini, sangat mudah bagi mereka mengakses konten vulgar (cabul) atau yang bermuatan pornografi.
Kondisi ini diperburuk dengan lifestyle dan kurangnya pengawasan orang tua, tidak terdapat komunikasi keluarga, tuntutan terlalu tinggi, kekerasan pada anak, serta diskriminasi dari orang tua dan lingkungan, dan seterusnya hingga bisa memicu remaja terpapar pornografi.
Pornografi sendiri merupakan sketsa, gambaran, foto, goresan pena, bunyi, suara, animasi, kartun, percakapan, motilitas tubuh, atau bentuk pesan lain melalui aneka macam bentuk media komunikasi serta atau pertunjukan pada muka umum , yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar tata cara kesusilaan (UU No. 44 Th 2008 ihwal pornografi).
Bila demikian, keberadaan buku sastra cabul dalam Program Sastra Masuk Kurikulum akan menambah dampak buruk, khususnya aspek moral bagi anak didik (remaja). Potensi dampak buruknya antara lain:
Pertama, kecanduan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa pornografi dengan segala bentuk dan media, bisa mengakibatkan kecanduan. Ketika hal ini berlangsung terus-menerus, level vulgar yang ingin diakses pun meningkat.
Kedua, enggan belajar dan sulit konsentrasi. Efek domino dari kecanduan adalah rasa malas. Malas mengerjakan tugas sebagai pelajar karena tersibukkan oleh melihat konten vulgar atau melakukan fantasi terkaitnya.
Ketiga, enggan bersosialisasi. Efek lain juga membuat remaja enggan berinteraksi. Lebih memilih mengurung diri untuk menikmati konten vulgar yang memberinya kepuasan.
Keempat, menganggap konten vulgar sebagai "kebenaran." Apalagi ketika konten ini disajikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah, anak didik merasa itu sebagai sarana belajar yang layak dan benar. Sehingga tak masalah bila diikuti. Apalagi bila sang guru tak menjelaskan keburukan dan bahaya dari kalimat-kalimat vulgar tersebut.
Kelima, memicu munculnya nafsu seksual. Mengkonsumsi konten-konten vulgar atau cabul akan memunculkan gairah seksual. Bila sampai pada batas yang tak bisa dikendalikan, akan membuat remaja melampiaskannya dengan cara asusila. Bisa jadi akan mencabuli teman atau orang di sekitarnya.
Keenam, merusak otak. Bagian otak yang diserang oleh pornografi adalah pre frontal korteks (PFC), yaitu bagian otak paling krusial yang hanya dimiliki insan. Inilah yang membedakannya dengan hewan. Fungsi bagian otak ini adalah menata emosi, membedakan benar dan salah, mengendalikan diri, berpikir kritis, berperilaku sosial, dan lain-lain.
Oleh karena itu, bila konten cabul (vulgar) masuk dalam kurikulum merdeka sekolah, akan berpotensi dampak buruk terhadap moralitas anak. Semoga tidak terulang lagi kasus lolosnya konten asusila tersebut dalam program belajar di negeri ini.
Strategi agar Kasus Konten Cabul Masuk Kurikulum Sekolah Tidak Terulang
Semangat meningkatkan literasi dan membudayakan minat baca bagi anak didik memang harus dibangun. Namun tentunya dengan tujuan dan cara benar. Bukan sekadar agar anak senang membaca atau target lainnya, lalu tidak mempedulikan konten bacaan apakah bermuatan negatif seperti beraroma liberal, sekuler, syirik, porno, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, langkah Kemendikbud menarik buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum yang berkonten vulgar sudah tepat. Selanjutnya perlu dibuat strategi agar kasus ini tak terulang lagi. Berikut langkah yang bisa dilakukan negara saat ini dengan merujuk pada penerapan penguasa Muslim di masa kejayaannya.
Pertama, menetapkan kembali target program peningkatan daya literasi. Target ini harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan secara umum. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah mencetak anak didik yang berkepribadian Islam mumpuni. Sehingga target peningkatan minat baca sangat cocok dengan sistem pendidikan Islam.
Kedua, menyeleksi bahan pembelajaran (bacaan) secara ketat. Tidak diperbolehkan bermuatan negatif sendiri mengandung kesyirikan, beraroma sekularisme, liberalisme, pornografi, LGBT, dan lain sebagainya.
Ketiga, memilih tenaga pengajar secara selektif. Seluruh sumber daya manusia yang terkait proses pendidikan, baik di ranah strategis (kebijakan) hingga secara praktis seperti guru pengajar, dipastikan memiliki akidah yang bersih dan lurus. Selain itu, tak hanya memiliki teknik mengajar yang baik tapi juga mampu membina iman dan moral peserta didik.
Keempat, memfasilitasi budaya literasi dengan menyediakan perpustakaan yang koleksinya lengkap dan bermuatan positif. Murid boleh meminjam buku sebanyak apa pun asalkan masih dalam batas kemampuannya untuk membaca. Perpustakaan Baitul Hikmah menjadi salah satu contoh di peradaban Islam masa lalu.
Secara finansial, negara menyiapkan dana besar untuk membangun perpustakaan yang menyediakan koleksi buku yang lengkap. Perpustakaan ini tersedia merata di berbagai wilayah sehingga setiap warga negara bisa mengaksesnya.
Kelima, negara mengapresiasi para penulis untuk membuat karya yang bermanfaat bagi umat. Bagi mereka ada penghargaan finansial, misalnya hadiah berupa emas seberat bukunya, sehingga mereka makin semangat membuat karya yang mencerdaskan umat. Setiap warga bisa membaca karya yang bermanfaat tersebut karena negara yang mencetak dan mendistribusikannya ke berbagai penjuru negeri secara cuma-cuma.
Namun, jika ada buku yang merusak pemikiran umat, negara akan melarang peredarannya.
Inilah strategi yang bisa dilakukan negara. Untuk mewujudkan kecerdasan literasi pada generasi Muslim khususnya, sekaligus membentengi mereka dari muatan negatif dalam karya literasi.
PUSTAKA
Alkhair, Nida, Sastra Masuk Kurikulum, demi Apa? muslimahnews.net, 31 Mei 2024
Dampak Pornografi Bagi Kesehatan pada Remaja, Apakah Berbahaya? sardjito.co.id, 30 Oktober 2019
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati