Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ironi Sampah Makanan di Tengah Kemiskinan dan Kelaparan

Kamis, 18 Juli 2024 | 07:55 WIB Last Updated 2024-07-18T00:55:56Z
TintaSiyasi.id -- Indonesia menempati urutan pertama se-ASEAN dalam jumlah makanan yang terbuang atau menjadi sampah makanan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengutip hasil penelitiannya bahwa nilai kerugian sisa dan susut makanan di Indonesia mencapai 213 trilyun - hingga 551 trilyun rupiah per tahun atau setara 4-5 persen PDB per tahun (tirto.id, 03/07/2024). 

Menurut penelitian Bappenas makanan yang terbuang itu sebesar 23 juta ton hingga 48 juta ton per tahun dari 2000 hingga 2019.

Susut makanan atau loss food adalah terbuangnya makanan dalam proses produksi dan distribusi. Sedangkan sisa makanan adalah makanan yang terbuang ketika tersaji. 

Jika terbuangnya makanan bisa dihindari maka potensi ekonomi akan terselamatkan. Ada energi yang dihemat dan lepasan emisi karbon yang berkurang. Ini karena produksi makanan memerlukan energi dan pemakaian energi melepaskan karbon. Demikian juga sampah makanan akan melepaskan karbon di udara. 

Bappenas pun mengambil ancang-ancang untuk mengatasi loss and food dengan menetapkan roadmap (peta jalan). Pemerintah juga akan menggandeng Norwegia untuk aksi nasional pengurangan sampah makanan ini. Akankah langkah pemerintah berhasil? 

Fenomena Global

Loss and waste food adalah fenomena global, tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut FAO, 13 persen produksi pangan dunia mengalami susut (lost) pada saat panen dan distribusi/retail dan 17 persen pangan terbuang di rumah tangga dan layanan publik. 

Fakta nasional dan global tersebut memang sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari. Sering didapati kebiasaan orang yang tidak menghabiskan makanan yang tersaji sehingga makanan berakhir di tempat sampah. Ada pula makanan yang basi, kadaluarsa atau buah dan sayur yang tidak terbeli dan dibiarkan layu dan membusuk. Dalam skala yang lebih besar, kerap ada pembuangan beras misalnya di gudang-gudang seperti di gudang Bulog atau pembuangan kelebihan produksi dan panen untuk menstabilkan harga. 

Loss dan waste food sangat berkaitan dengan sistem dan peradaban sekuler kapitalisme hari ini yang berorientasi pada produksi namun gagal dalam konsep distribusi kekayaan. Produksi dan pertumbuhan ekonomi tinggi diharapkan menggerakkan ekonomi. Masyarakat lalu didorong menjadi hedonis, konsumtif dan konsumeris. 

Di sisi lain kebebasan kepemilikan menyebabkan kesenjangan ekonomi dimana yang kaya sangat berkelebihan dan si miskin sangat lemah daya belinya meskipun sangat membutuhkan. Distribusi tidak berjalan dengan baik. Hidden hunger atau kekurangan gizi mikro, stunting dan famine (kelaparan) terjadi dalam keberlimpahan produksi. Inilah ironi yang mengiringi sampah makanan. 

Realita sampah makanan akan terminimalisir dalam sistem Islam. Islam tidak mengarahkan kehidupan individu dan masyarakat kepada hedonisme dan materialisme sebagai kebahagiaan. Masyarakat didorong memenuhi kebutuhan hidup untuk bisa menjadi hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Masyarakat cenderung qana'ah, merasa cukup dan menjauhi gaya hidup mudbazir, kesia-siaan, dan rakus dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dan kebutuhan sekunder dan tersier. 

Keimanan dan keterikatan pada syariat adalah sumber kebahagiaan. Masyarakat akan lebih tamak, rakus dalam hal ilmu pengetahuan. Masyarakat juga didorong saling berbagi dan menolong dalam kebiasaan sedekah sunnah. 

Sikap hidup ini akan berpadu dengan tata ekonomi Islam yang memperhatikan distribusi kekayaan. Pembagian 3 kepemilikan; kepemilikan individu, umum dan negara berjalan dengan hak pengelolaan dan distribusi kepemilikan tersebut. Pengelolaan kepemilikan mendorong produksi yang wajar. Individu terkhusus para laki-laki akan bekerja untuk nafkah. Lapangan usaha dalam pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, industri serta perdagangan jasa akan tumbuh. 

Namun tidak hanya berproduksi, tata kelola dalam sistem Islam juga mewajibkan distribusi. Tidak hanya mengandalkan kekuatan individu untuk mengakses, negara juga hadir untuk menyeimbangkan ekonomi dan menjamin pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik. 
Masyarakat akan memiliki daya beli yang baik khususnya makanan. Fenomena kesenjangan dengan kemiskinan dan kelaparan tidak akan terjadi. Begitu pula over produksi yang bisa menghancurkan manusia dan alam akan tercegah. 

Hukum-hukum syariat Islam yang rinci dan kaffah akan menjadi solusi sahih. Selain itu negara hadir sebagai ra'in, pengurus rakyat dengan menerapkan seluruh hukum syariat dan membina keterikatan masyarakat dengan ketaatan pada syariat. World view, arah pandang kehidupan yang benar akan tertanam pada benak masyarakat dan generasi. Islam kaffah dibawah naungan Khilafah membawa berkah. Wallahu alam bis shawab


Oleh: Harmiyani Moidady
Pemerhati Generasi

Opini

×
Berita Terbaru Update