Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ahli Fikih Islam: Ada Kekeliruan Penggunaan Kaidah Fikih untuk Melegitimasi Pindah IKN

Senin, 22 Juli 2024 | 18:05 WIB Last Updated 2024-07-22T11:05:54Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam Ustaz K.H. Muhammad Siddiq Al-Jawi menyatakan bahwa menerapkan kaidah Fikih untuk melegitimasi kebijakan pemimpin dalam sistem sekuler (yakni sistem republik) adalah sebuah kekeliruan.

 

"Melegitimasi kebijakan pemerintah pindah IKN (ibu kota negara) dengan dua kaidah Fikih (qawâ’id fiqhiyyah), yaitu: pertama, kaidah Fikih yang berbunyi :

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,” ungkapnya di akun Telegram Ngaji Shubuh, bertajuk Penyalahgunaan Kaidah Fikih untuk Melegitimasi Pindah IKN (Ibu Kota Negara), Kamis (18/07/2024).

 

Ia menuturkan bahwa berdasar kaidah ini, ketika presiden dan DPR memutuskan pindah IKN, maka kebijakan itu patut didukung, karena pasti sudah dipertimbangkan masak-masak aspek kemaslahatannya.

 

"Kedua, kaidah Fikih yang berbunyi :

 

أَمْرُ الْإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ

 

“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat,” kutipnya.

 

Berdasar dua kaidah Fikih ini, ia katakan, ketika Presiden dan DPR memutuskan pindah IKN, maka katanya rakyat perlu mendukungnya. Hal itu karena konon kebijakan yang sudah diputuskan dalam bentuk UU itu seharusnya menghilangkan pro kontra di antara masyarakat seputar pindahnya IKN.

 

Menurutnya, penggunaan dua kaidah Fikih (qawa’id fiqhiyyah) tersebut untuk melegitimasi pindah IKN tersebut, sungguh tidak dapat diterima, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:

 

"Pertama, kedua Fikih tersebut hanya dapat diberlakukan dalam konteks kebijakan seorang pemimpin dalam arti Imam atau khalifah, yakni kepala negara dalam negara khilafah, tidak dapat diberlakukan secara umum untuk semua pemimpin sehingga mencakup Presiden dalam sistem sekuler (republik)," jelasnya.

 

Lanjut ia katakan, mengapa kata “Imam” dalam kedua kaidah Fikih (qawa’id fiqhiyyah) hanya berarti imam atau khalifah dalam arti kepala negara dalam negara khilafah? Sebab kata “imam” tersebut tidak dapat dimaknai menurut makna lughawi (makna etimologis), yaitu setiap pemimpin, melainkan wajib dimaknai secara makna syar’i (makna terminologis) yang khusus dalam hukum Islam, yang kemungkinannya:

 

"Pertama,  imam dalam salat jamaah, yang keimamannya disebut “al-imamah al-shughra,”; kedua, imam dalam negara Khilafah, yang keimamannya disebut “al-imamah al-kubra,” terangnya.

 

Kiai Siddiq menyebutkan, dalam hal ini, kata “imam” dalam kaidah Fikih tersebut, lebih tepat dimaknai “imam” dalam makna “al-imamah al-kubra” (keimaman besar), bukan “al-imamah al-shughra” (keimaman salat) karena menyebut kata “al-ra’iyah” (rakyat) dalam redaksi kaidah Fikihnya. "Perhatikan bunyi kaidahnya:

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,” sambungnya.

 

Dengan demikian, tegas ia katakan, menerapkan kaidah Fikih tersebut untuk melegitimasi kebijakan pemimpin dalam sistem sekuler (yakni sistem republik), jelas sebuah kekeliruan.

 

Lalu Kiai Siddiq menyitat penjelasan dari Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah:

 

وَهَذِهِ الْقَاعِدَةُ تَرْسُمُ حُدُوْدَ الإدَارَاتِ الْعَامَّةِ وَالسِّيَاسَةِ الشَّرْعِيَّةِ فِي سُلْطَانِ الْوُلَاةِ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ عَلَى الرَّعِيَّةِ ، فَتُفِيْدُ أَنَّ أَعْمَالَ الْوُلَاةِ النَّافِذَةِ عَلَى الرَّعِيَّةِ يَجِبُ أَنْ تُبْنَى عَلَى الْمَصْلَحَةِ لِلْجَمَاعَة وَخَيْرِهَا ، لِأَنّ الْوُلَاةَ مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم ، وَإِنَّمَا هُمْ وُكَلَاءُ عَنْ الْأُمَّةِ فِي الْقِيَامِ بِأصْلَحِ التَّدَابِيْرِ...

 

“Kaidah ini menggariskan batas-batas pengaturan umum dan politik syariah dalam kekuasaan para penguasa dan kebijakan mereka terhadap rakyat. Maka kaidah ini memberikan makna bahwa kebijakan para penguasa atas rakyat wajib dibangun atas dasar kemaslahatan bagi masyarakat dan kebaikan masyarakat, karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri, melainkan para wakil dari umat untuk menyelenggarakan pengaturan [urusan rakyat] yang terbaik ...” (Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 193).

 

"Dari kutipan tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata “imam” dalam kaidah yang berbunyi :

 

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,” jelasnya.

 

Maknanya tiada lain ia katakan, adalah “khalifah” sebagaimana penjelasan dari Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, dalam kitabnya Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah (Juz I, hlm. 193).

 

"Perhatikan syarah (penjelasan) Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili khususnya pada kalimat berikut ini, yang menafsirkan kata “imam” dalam kaidah Fikih tersebut maknanya tiada lain adalah “khalifah” (pemimpin negara khilafah), bukan pemimpin dalam sistem sekuler seperti presiden dalam sistem republik yang ada saat ini, perhatikan penjelasannya berikut ini : 

 

لِأَنّ الْوُلَاةَ مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم

 

“...karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri...”," sebutnya.

 

Ia tegaskan lagi, maka dari itu, mengartikan “imam” dalam kaidah Fikih itu secara umum dalam arti “pemimpin” sehingga dapat berlaku untuk presiden dalam sistem sekuler, adalah suatu kekeliruan yang tak dapat diterima.

Kedua, andaikata kata “imam” dalam kaidah Fikih tersebut katakanlah dapat berlaku umum untuk presiden dalam sistem sekuler, yang patut dipertanyakan secara kritis adalah: benarkah kebijakan pindah IKN ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan?," tanyanya.

 

Ia heran, kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini ternyata di-back up oleh para oligark yang merupakan korporat-korporat pemodal raksasa pendukung rezim anti-Islam dengan modal-modal mereka.

 

"Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini dilakukan dalam kondisi ketika negara dililit utang luar biasa besar yang mencapai Rp 6771,52 triliun per September 2021," ujarnya.

 

"Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini diduga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dahsyat? Contohnya seperti: pertama, ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim; kedua, ancaman keberlangsungan hidup flora dan fauna; ketiga, ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti meningkatnya resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik masyarakat?," sambungnya.

 

Ketiga, ia katakan, juga tidak dapat diterima penggunaan kaidah Fikih yang berbunyi :

 

أَمْرُ الْإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ

 

“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”

 

"Alasannya adalah: pertama, yang dimaksud “imam” dalam kaidah tersebut adalah juga khalifah dalam negara khilafah, bukan presiden dalam sistem sekuler (republik); kedua, kaidah Fikih ini hanya dapat diterapkan untuk hukum syarak yang sifatnya khilafiah (ada perbedaan pendapat), jadi kaidah ini tidak dapat diterapkan untuk UU produk sistem demokrasi yang jelas bukan hukum syarak," paparnya.

 

Lalu Kiai Siddiq menyimpulkan, berdasarkan tiga alasan di atas, jelaslah penggunaan dua kaidah Fikih tersebut di atas untuk melegitimasi pindah IKN (Ibu Kota Negara), tidak dapat diterima. "Maka dari itu, kepindahan IKN sebenarnya tidak mendapat legitimasi apa pun dari syariah Islam. Wallahualam," pungkasnya.[] Lanhy Hafa

Opini

×
Berita Terbaru Update