Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam Ustaz K.H. Muhammad Siddiq Al-Jawi menyatakan bahwa menerapkan kaidah Fikih untuk melegitimasi kebijakan pemimpin dalam sistem sekuler (yakni sistem republik) adalah sebuah kekeliruan.
"Melegitimasi kebijakan pemerintah pindah IKN (ibu kota
negara) dengan dua kaidah Fikih (qawâ’id fiqhiyyah), yaitu: pertama,
kaidah Fikih yang berbunyi :
تَصَرُّفُ
الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,”
ungkapnya di akun Telegram Ngaji Shubuh, bertajuk Penyalahgunaan Kaidah
Fikih untuk Melegitimasi Pindah IKN (Ibu Kota Negara), Kamis (18/07/2024).
Ia menuturkan bahwa berdasar kaidah ini, ketika presiden dan
DPR memutuskan pindah IKN, maka kebijakan itu patut didukung, karena pasti
sudah dipertimbangkan masak-masak aspek kemaslahatannya.
"Kedua, kaidah Fikih yang berbunyi :
أَمْرُ الْإِمَامِ
يَرْفَعُ الْخِلَافَ
“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat,” kutipnya.
Berdasar dua kaidah Fikih ini, ia katakan, ketika Presiden
dan DPR memutuskan pindah IKN, maka katanya rakyat perlu mendukungnya. Hal itu
karena konon kebijakan yang sudah diputuskan dalam bentuk UU itu seharusnya
menghilangkan pro kontra di antara masyarakat seputar pindahnya IKN.
Menurutnya, penggunaan dua kaidah Fikih (qawa’id fiqhiyyah)
tersebut untuk melegitimasi pindah IKN tersebut, sungguh tidak dapat diterima,
dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
"Pertama, kedua Fikih tersebut hanya dapat
diberlakukan dalam konteks kebijakan seorang pemimpin dalam arti Imam atau khalifah,
yakni kepala negara dalam negara khilafah, tidak dapat diberlakukan secara umum
untuk semua pemimpin sehingga mencakup Presiden dalam sistem sekuler
(republik)," jelasnya.
Lanjut ia katakan, mengapa kata “Imam” dalam kedua kaidah Fikih
(qawa’id fiqhiyyah) hanya berarti imam atau khalifah dalam arti kepala
negara dalam negara khilafah? Sebab kata “imam” tersebut tidak dapat dimaknai
menurut makna lughawi (makna etimologis), yaitu setiap pemimpin,
melainkan wajib dimaknai secara makna syar’i (makna terminologis) yang
khusus dalam hukum Islam, yang kemungkinannya:
"Pertama,
imam dalam salat jamaah, yang keimamannya disebut “al-imamah
al-shughra,”; kedua, imam dalam negara Khilafah, yang keimamannya disebut “al-imamah
al-kubra,” terangnya.
Kiai Siddiq menyebutkan, dalam hal ini, kata “imam” dalam
kaidah Fikih tersebut, lebih tepat dimaknai “imam” dalam makna “al-imamah
al-kubra” (keimaman besar), bukan “al-imamah al-shughra” (keimaman salat)
karena menyebut kata “al-ra’iyah” (rakyat) dalam redaksi kaidah Fikihnya.
"Perhatikan bunyi kaidahnya:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ
عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan Imam terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,” sambungnya.
Dengan demikian, tegas ia katakan, menerapkan kaidah Fikih
tersebut untuk melegitimasi kebijakan pemimpin dalam sistem sekuler (yakni
sistem republik), jelas sebuah kekeliruan.
Lalu Kiai Siddiq menyitat penjelasan dari Syekh Muhammad
Mushthofa Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî
Al-Madzâhib Al-Arba’ah:
وَهَذِهِ
الْقَاعِدَةُ تَرْسُمُ حُدُوْدَ الإدَارَاتِ الْعَامَّةِ وَالسِّيَاسَةِ
الشَّرْعِيَّةِ فِي سُلْطَانِ الْوُلَاةِ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ عَلَى الرَّعِيَّةِ ،
فَتُفِيْدُ أَنَّ أَعْمَالَ الْوُلَاةِ النَّافِذَةِ عَلَى الرَّعِيَّةِ يَجِبُ
أَنْ تُبْنَى عَلَى الْمَصْلَحَةِ لِلْجَمَاعَة وَخَيْرِهَا ، لِأَنّ الْوُلَاةَ
مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم ،
وَإِنَّمَا هُمْ وُكَلَاءُ عَنْ الْأُمَّةِ فِي الْقِيَامِ بِأصْلَحِ
التَّدَابِيْرِ...
“Kaidah ini menggariskan batas-batas pengaturan umum dan
politik syariah dalam kekuasaan para penguasa dan kebijakan mereka terhadap
rakyat. Maka kaidah ini memberikan makna bahwa kebijakan para penguasa atas
rakyat wajib dibangun atas dasar kemaslahatan bagi masyarakat dan kebaikan
masyarakat, karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di bawahnya
bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri, melainkan para wakil dari umat untuk
menyelenggarakan pengaturan [urusan rakyat] yang terbaik ...” (Syekh Muhammad
Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib
Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 193).
"Dari kutipan tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan kata “imam” dalam kaidah yang berbunyi :
تَصَرُّفُ
الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan,” jelasnya.
Maknanya tiada lain ia katakan, adalah “khalifah” sebagaimana
penjelasan dari Syekh Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, dalam kitabnya Al-Qawâ’id
Al-Fiqhiyyah wa Tathbîqâtuhâ fî Al-Madzâhib Al-Arba’ah (Juz I, hlm. 193).
"Perhatikan syarah (penjelasan) Syekh Muhammad Mushthofa
Az-Zuhaili khususnya pada kalimat berikut ini, yang menafsirkan kata “imam”
dalam kaidah Fikih tersebut maknanya tiada lain adalah “khalifah” (pemimpin
negara khilafah), bukan pemimpin dalam sistem sekuler seperti presiden dalam
sistem republik yang ada saat ini, perhatikan penjelasannya berikut ini :
لِأَنّ
الْوُلَاةَ مِنْ الْخَلِيْفَةِ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسُوْا عُمَّالاً لِأَنْفُسِهِم
“...karena para penguasa, yaitu Khalifah dan para penguasa di
bawahnya bukanlah pegawai bagi diri mereka sendiri...”," sebutnya.
Ia tegaskan lagi, maka dari itu, mengartikan “imam” dalam
kaidah Fikih itu secara umum dalam arti “pemimpin” sehingga dapat berlaku untuk
presiden dalam sistem sekuler, adalah suatu kekeliruan yang tak dapat diterima.
“Kedua, andaikata kata “imam” dalam kaidah Fikih
tersebut katakanlah dapat berlaku umum untuk presiden dalam sistem sekuler,
yang patut dipertanyakan secara kritis adalah: benarkah kebijakan pindah IKN
ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan?," tanyanya.
Ia heran, kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini
ternyata di-back up oleh para oligark yang merupakan korporat-korporat
pemodal raksasa pendukung rezim anti-Islam dengan modal-modal mereka.
"Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini
dilakukan dalam kondisi ketika negara dililit utang luar biasa besar yang
mencapai Rp 6771,52 triliun per September 2021," ujarnya.
"Kemaslahatan macam manakah ketika pindah IKN ini diduga
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dahsyat? Contohnya seperti: pertama,
ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim; kedua, ancaman
keberlangsungan hidup flora dan fauna; ketiga, ancaman pencemaran dan
kerusakan lingkungan seperti meningkatnya resiko kebakaran hutan, pencemaran
minyak, penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak
ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik
masyarakat?," sambungnya.
Ketiga, ia katakan, juga tidak dapat diterima penggunaan kaidah Fikih yang
berbunyi :
أَمْرُ
الْإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ
“Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat.”
"Alasannya adalah: pertama, yang dimaksud “imam”
dalam kaidah tersebut adalah juga khalifah dalam negara khilafah, bukan
presiden dalam sistem sekuler (republik); kedua, kaidah Fikih ini hanya
dapat diterapkan untuk hukum syarak yang sifatnya khilafiah (ada perbedaan
pendapat), jadi kaidah ini tidak dapat diterapkan untuk UU produk sistem
demokrasi yang jelas bukan hukum syarak," paparnya.
Lalu Kiai Siddiq menyimpulkan, berdasarkan tiga alasan di
atas, jelaslah penggunaan dua kaidah Fikih tersebut di atas untuk melegitimasi
pindah IKN (Ibu Kota Negara), tidak dapat diterima. "Maka dari itu,
kepindahan IKN sebenarnya tidak mendapat legitimasi apa pun dari syariah Islam.
Wallahualam," pungkasnya.[] Lanhy Hafa