TintaSiyasi.com -- Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar mengatakan ada indikasi kuat bahwa 5 orang kader Nahdlatul Ulama (NU) yang bertemu dengan Presiden Israel Isaac Herzog itu mereka memang ada didalam bagian propaganda Hasbara.
“Kita melihat ada beberapa indikasi kuat bahwa 5 orang kader NU itu ada kemungkinan kuat mereka memang ada didalam bagian program hasbara itu,” ujarnya di acara Lawan Arus: Ke Israhell demi Program Hasbara? Di Kanal YouTube Media Umat, Jum’at (19/07/2024).
Iwan mengkhawatirkan bahwa kedatangan mereka ke Israel, memang ada sebuah keinginan kuat dari mereka, bahwa harus bertemu dengan tokoh-tokoh zionis, kemudian memberikan pandangan kepada dunia dari hasil dialog mereka dengan Presiden Herzog.
“Ini yang kemudian kita sudah lama kenal dengan yang namanya satu program yang dibuat oleh entitas Yahudi itu program Hasbara. Nah ini sudah digadang-gadang oleh banyak orang diduga kuat ini bahwa Hasbara ini yang merupakan program dari entitas Yahudi,” jelasnya.
Menurutnya, propaganda Hasbara sudah disuarakan, bukan hanya orang-orang Zionis Yahudi, tetapi ada sebagian mereka non Yahudi yaitu influencer, artis, termasuk tokoh-tokoh agama, intelektual yang mereka menjadi corong dan bagian dari proyek Hasbara.
Selain itu menurut Iwan, ke 5 orang tersebut tidak mempunyai kekuatan politik, tidak memiliki bargaining position. Alih-alih mau mereka tawarkan kepada Herzog, agar dia menghentikan genosida di Gaza, justru mereka diundang dan dibiayai oleh Israel.
“Artinya memang mereka datang kesana bukan untuk melakukan lobi politik, bukan untuk melakukan tekanan politik terhadap presiden Herzog,” ujarnya.
Bahkan menurutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja diacuhkan, Mahkamah Internasional dianggap sebelah mata, kemudian dunia-dunia Arab sudah tidak dipandang lagi. Apa lagi menurutnya ke lima orang tersebut yang tidak mempunyai kekuatan politik dan bukan datang dari negara super power.
“Artinya memang apa yang mereka sampaikan itu saya pikir hanya sekedar kamuflase dari sebetulnya ada tujuan yang lebih utama. Ada kekhawatiran bahwa mereka sebetulnya menjadi bagian dari propaganda untuk citra entitas Yahudi di mata dunai khususnya di tengah-tengah umat Islam di Indonesia,” terangnya.
Program Hasbara
Pengamat Sosial Politik itu menerangkan bahwa negara Yahudi memiliki program Hasbara, yang dalam beberapa penelitian disebutkan awalnya gerakan tersebut bersifat informal. Namun semenjak tahun 2013 kemudian dijadikan gerakan formal. Secara bahasa Hasbara dalam bahasa Ibrani artinya menjelaskan.
Ia menjelaskan, bahwa Hasbara dijadikan sebagai sebuah operasi yang bersifat opini. Tujuannya yang pertama, untuk mendistorsi setiap kejadian peristiwa politik, pembantaian, pembunuhan, pengusiran, penggusuran yang dilakukan oleh Yahudi.
“Kedua, dibuat penyesatan opini, dan yang ketiga, membangun citra atau image positif tentang negara Yahudi. Mereka sampai mengeluarkan uang yang sangat besar untuk mengundang influencer,” jelasnya.
“Ini bagian dari program Hasbara, tetapi yang lebih serius itu adalah program hasbara ini untuk membuat opini agar menetralisir pandangan tentang Zionis Yahudi,” tambahnya.
Menurutnya, ada upaya membangun sebuah normalisasi, namun dibangun dulu dengan opini-opini yang memberikan citra positif tentang Zionis Yahudi dan kemudian memberikan citra negatif tentang Hamas dan Palestina. Dengan begitu nantinya akan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh negara melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan negara Yahudi.
“Bisa jadi setelah nanti kemudian katakanlah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan negara Yahudi, ada kucuran dana dari misalnya Amerika Serikat sebagai induk Israel hari ini, atau mungkin ada pemutihan hutang atau mungkin ada proyek-proyek apa yang diberikan,” jelasnya.
Oleh karena itu lanjutnya, dalam dunia politik hal yang sangat sering terjadi, ada kompensasi atas setiap kebijakan politik yang dianggap strategis untuk kepentingan negara besar dalam hal ini adalah Yahudi dengan Amerika Serikat.
“Karena kita tahu bahwa di Amerika Serikat itu hampir semua presiden atau capres ketika mereka berkompetisi, mereka punya bargaining power yang bisa menyenangkan tim lobi Yahudi di Amerika Serikat,” tutupnya. []Aslan La Asamu