TintaSiyasi.id -- Masyarakat Suku Awyu dan Moi berbondong-bondong menempuh jarak dari tanah asal mereka Papua, menuju Jakarta untuk membela hak tanah mereka di depan Mahkamah Agung. Hutan lindung yang menjadi tempat tinggal mereka terancam rusak dan mereka akan terusir akibat izin alih fungsi yang diberikan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari. Tanah seluas 36.000 hektar atau hampir setengah lebih luasnya Jakarta itu rencananya akan dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut dapat merusak ekosistem kehidupan masyarakat adat setempat.
Hendrikus Woro, Ketua Marga Woro Suku Awyu menyatakan ia bersama sekelompok warga setempat rela jauh-jauh datang ke Mahkamah Agung untuk membela hak mereka. Setelah berbagai usaha dilakukan, jalur hukum melalui Mahkamah Agung menjadi harapan terakhir mereka. Namun amat disayangkan, respon pemerintah tidak dapat diharapkan. Hendri beserta warga mengaku sedih dan kecewa, namun tidak akan menyerah begitu saja dengan keadaan. (projectmultatuli.org, 5/6)
Tidak hanya kasus hutan lindung Suku Awyu, sebelumnya sudah banyak kasus konflik agraria antara pemerintah dengan rakyatnya langsung. Bukan berpihak pada masyarakat, justru negara memilih satu kubu dengan para pengusaha. Dengan dalih penanaman investasi, pengembangan potensi alam secara legal dan struktural, dan dalih-dalih lainnya menghalalkan perampasan tanah dan menyerahkan pada swasta. Tercatat Indonesia menjadi negara dengan konflik agraria tertinggi dari enam negara Asia yang merampas 135.608 hektar tanah dan mengorbankan 608 aktivis pejuang hak tanah. (kpa.or.id, 27/2)
Menyalahi UUD 1945
Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 dinyatakan bahwa bumi beserta segala kekayaannya dikelola oleh negara untuk dikembalikan kebermanfaatannya bagi masyarakat. Faktanya, ayat tersebut hanya menjadi tulisan lusuh dalam lembaran-lembaran UUD.
Pemerintah tidak pernah menunaikan amanatnya. Dalam permasalahan agraria, pemerintah tidak memberi kemudahan pada masyarakatnya sendiri untuk memiliki tanah dan mengelola serta memanfaatkannya. Rakyat diharuskan memiliki sertifikat tanah sebagai bukti sah kepemilikan. Namun dalam prakteknya, proses pengajuan sertifikat tanah memakan banyak biaya dan cukup rumit. Belum lagi dengan adanya sertifikat tanah meniscayakan adanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang besarannya juga mencekik warga.
Namun ketika berhadapan dengan swasta maupun asing pemerintah memberi lampu hijau bagi mereka menggarap dan mengalihfungsikan tanah demi kepentingan korporat dan bagi hasil.
Fenomena demikian terjadi dalam paradigma kapitalisme yang menjadikan asas utama bangunan peradaban adalah materi. Interaksi yang terjadi antara pemerintah dan rakyat nya adalah interaksi bisnis. “Pemerintah adalah perwakilan rakyat” hanyalah omong kosong yang diteriakan setiap pemilihan. Kenyataannya orang-orang berlomba mengejar kekuasaan dengan sokongan modal dari pengusaha untuk naik dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Masyarakat bukan menjadi objek pengayoman, melainkan ladang keuntungan yang menggiurkan.
Hukum Agraria Versi Islam
Dalam Islam, harta termasuk ciptaan Allah yang kepengurusannya diberikan pada manusia. Allah memberi izin bagi manusia untuk memiliki harta dengan jalan-jalan yang diatur oleh syara’. Termasuk tanah, sudah diatur oleh syariat yang tertulis dalam kitab-kitab fikih para ulama. Kesimpulan hukum yang tertulis tersebut didapat dari pemahaman nash-nash syar’i dan sumber hukum yang empat.
Tanah boleh dimiliki oleh individu dengan menempuh jalan-jalan kepemilikan yang halal. Seperti dengan usaha yaitu membeli atau ihyaul mawat (menghidupkan tanah yang mati). Atau dengan tanpa usaha seperti warisan, hibah, pemberian dari pemerintah, dll.
Selanjutnya, wajib dikelola sebagai tempat tinggal ataupun tempat beternak dan bercocok tanam. Tanah tidak boleh dianggurkan begitu saja tanpa pengelolaan. Apabila tanah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, maka pemerintah berhak menarik dari orang itu dan dialihkan pada orang lain yang membutuhkan. Sehingga tidak ada tuan tanah dalam Islam yang menguasai beribu hektar tanah nganggur.
Pemerintah dilarang keras merampas tanah dari warganya yang telah memiliki tanah tersebut dengan cara yang sah. Bahkan untuk keperluan proyek negara pun tidak boleh. Di masa Umar bin Khattab, terjadi perampasan tanah dari seorang yahudi yang dilakukan oleh Gubernur Mesir Amr bin Ash. Saat itu, Amr bin Ash akan membangun masjid di depan istana megahnya. Namun terhalang gubuk reyot milik yahudi.
Singkat cerita, Amr bin Ash meminta yahudi tersebut untuk menjual tanahnya. Namun Yahudi itu enggan. Amr bin Ash tetap memerintahkan untuk menghancurkan gubuk milik Yahudi. Sang Yahudi yang tidak terima mengadukan pada Umar bin Khattab dan Umar mengirimkan ancaman keras bagi Amr bin Ash. Bukan mengutamakan proyek masjid, akan tetapi Umar membela hak tanah Yahudi tersebut.
Demikian yang terjadi dalam sistem Islam. Karena politik dimaknai ri’ayatu syu’uunil ummah (kepengurusan urusan umat). Bukan sekadar mengurus sumber daya dan bagi-bagi keuntungan dengan para konglomerat pemegang modal. Hanya Islam yang memiliki aturan agraria yang sempurna.
Oleh: Qathratun
Member Sketsa