TintaSiyasi.id -- Pernyataan "Syariat adalah inti hikmah dan hakikat adalah inti hukum" mengandung konsep yang mendalam dalam ajaran Islam, menggabungkan aspek syariat (hukum Islam) dan hakikat (kebenaran spiritual) dengan hikmah (kebijaksanaan) dan hukum. Mari kita rinci maknanya:
1. Syariat sebagai Inti Hikmah:
Syariat mengacu pada hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan diajarkan oleh Rasulullah SAW, mencakup segala aspek kehidupan seorang Muslim, dari ibadah hingga muamalah (hubungan sosial).
Hikmah berarti kebijaksanaan atau kearifan. Dalam konteks ini, syariat dianggap sebagai inti dari hikmah karena mengikuti hukum-hukum Allah membawa kepada kehidupan yang penuh kebijaksanaan. Syariat mengajarkan kita cara hidup yang benar, yang pada akhirnya membentuk kebijaksanaan dalam tindakan dan keputusan kita.
Dengan mengikuti syariat, seorang Muslim mendapatkan hikmah dalam menjalani hidupnya, karena syariat adalah panduan yang dirancang untuk membawa kebaikan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
2. Hakikat sebagai Inti Hukum:
Hakikat merujuk pada kebenaran batin atau esensi spiritual yang mendalam dari suatu ajaran atau tindakan. Ini melibatkan pemahaman yang lebih dalam tentang makna dan tujuan di balik perintah dan larangan Allah.
Hukum dalam hal ini mengacu pada peraturan atau ketetapan yang harus diikuti. Hakikat adalah inti dari hukum karena memahami esensi atau tujuan di balik hukum memungkinkan seseorang untuk menjalankannya dengan ikhlas dan penuh penghayatan.
Hukum yang dijalankan tanpa memahami hakikatnya bisa menjadi kering dan formalistik. Sebaliknya, memahami hakikat membawa kita kepada pemahaman yang lebih mendalam dan penghargaan yang lebih besar terhadap hukum tersebut.
Integrasi Syariat, Hikmah, Hukum, dan Hakikat
• Syariat dan Hikmah: Dengan menjalankan syariat, kita tidak hanya mengikuti aturan, tetapi juga menggali kebijaksanaan di baliknya. Syariat membimbing kita menuju kehidupan yang bijaksana dan seimbang.
• Hukum dan Hakikat: Dengan memahami hakikat, kita menjalankan hukum dengan kesadaran penuh tentang makna dan tujuan di baliknya. Ini membuat pelaksanaan hukum menjadi lebih bermakna dan tidak sekadar rutinitas formalistik.
Dalam keseluruhan ajaran Islam, ada kesatuan antara syariat dan hakikat. Keduanya tidak terpisah tetapi saling melengkapi. Syariat memberikan kerangka dan panduan yang jelas, sementara hakikat memberikan kedalaman makna dan spiritualitas. Dengan memadukan keduanya, seorang Muslim dapat mencapai kehidupan yang seimbang antara aspek lahiriah dan batiniah, antara hukum dan kebijaksanaan.
Allah SWT berfirman:
فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-An’am (6): 125)
Jika ada orang yang berjiwa besar dan terbuka hatinya untuk menerima kebenaran agama Islam, maka yang demikian itu disebabkan karena Allah hendak memberikan petunjuk kepadanya.
Oleh karena itu, dadanya menjadi lapang untuk menerima semua ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang "kelapangan dada" yang dimaksud dalam ayat ini, lalu beliau menjawab, "Itulah gambaran cahaya Ilahi yang menyinari hati orang mukmin, sehingga menjadi lapanglah dadanya." Para sahabat bertanya lagi, "Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya?" Nabi saw menjawab, "Ada tanda-tandanya, yaitu selalu condong kepada akhirat, selalu menjauhkan diri dari tipu daya dunia dan selalu bersiap-siap untuk menghadapi kematian." (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Mas'ud)
Jika demikian sifat-sifat orang mukmin yang berlapang dada disebabkan oleh cahaya iman yang masuk ke dalam hatinya, maka sebaliknya orang yang dikehendaki Allah untuk hidup dalam kesesatan, dadanya dijadikan sesak dan sempit seolah-olah ia sedang naik ke langit yang hampa udara. Apabila ia diajak untuk berfikir tentang kebenaran dan tafakur tentang tanda-tanda keesaan Allah, maka disebabkan oleh kesombongan dalam hatinya, ia menolak karena perbuatan itu tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Hasrat untuk mengikuti kebenaran melemah, dan setiap anjuran agama dirasakannya sebagai suatu beban yang berat yang tidak dapat dipikulnya. Gambaran orang serupa itu adalah seperti orang yang sedang naik ke langit. Semakin tinggi ia naik, semakin sesak nafasnya karena kehabisan oksigen, sehingga ia terpaksa turun kembali untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.
Dalam ayat ini, Allah memberikan sebuah perumpamaan, agar benar-benar diresapi dengan perasaan yang jernih. Demikianlah Allah menjadikan kesempitan dalam hati orang-orang yang tidak beriman, karena kekafiran itu seperti kotoran yang menutup hati mereka, sehingga ia tidak menerima kebenaran. Keadaan ini dapat disaksikan pada tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari yang selalu menjurus kepada kejahatan.
Allah menjadikan rahmat sebagai hamparan bagi kebaikan, karena kebaikan muncul dari rahmat. Maka raihlah Rahmat-Nya dengan ketaatan kepada-Nya
Pernyataan "Allah menjadikan rahmat sebagai hamparan bagi kebaikan, karena kebaikan muncul dari rahmat. Maka raihlah Rahmat-Nya dengan ketaatan kepada-Nya" mengandung makna yang dalam mengenai hubungan antara rahmat Allah, kebaikan, dan ketaatan. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai konsep ini:
1. Rahmat sebagai Hamparan bagi Kebaikan:
Rahmat Allah: Rahmat (kasih sayang) Allah SWT adalah karunia yang meliputi segala sesuatu. Rahmat-Nya adalah sumber segala kebaikan di dunia ini. Allah dengan rahmat-Nya menciptakan, memelihara, dan memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya.
Hamparan bagi Kebaikan: Rahmat Allah merupakan landasan dan sumber dari segala bentuk kebaikan. Semua kebaikan yang kita lakukan dan alami pada dasarnya berasal dari rahmat-Nya. Tanpa rahmat Allah, kebaikan tidak akan ada.
2. Kebaikan Muncul dari Rahmat:
Segala bentuk kebaikan, baik yang dilakukan oleh manusia maupun yang diberikan kepada manusia, pada dasarnya bersumber dari rahmat Allah. Ketika kita melakukan kebaikan, itu adalah karena Allah telah memberikan kita rahmat berupa kemampuan, kesempatan, dan hidayah untuk melakukannya.
Oleh karena itu, kebaikan yang kita lakukan seharusnya selalu diiringi dengan kesadaran bahwa itu adalah anugerah dari Allah, dan kita harus bersyukur atas rahmat-Nya.
3. Meraih Rahmat Allah dengan Ketaatan:
Ketaatan kepada Allah: Salah satu cara utama untuk meraih rahmat Allah adalah melalui ketaatan. Ketaatan berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta berusaha untuk selalu berada dalam jalan yang diridhai-Nya.
Ketika kita taat kepada Allah, kita menunjukkan rasa syukur dan penghormatan kita kepada-Nya. Ketaatan ini membuka pintu rahmat-Nya dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Dengan ketaatan, kita berharap mendapatkan rahmat yang lebih besar dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan
Dengan memahami bahwa rahmat Allah adalah sumber segala kebaikan, kita diajak untuk selalu bersyukur dan berusaha meraih rahmat tersebut melalui ketaatan. Ketaatan bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga jalan untuk mendapatkan lebih banyak rahmat dan kebaikan dalam hidup kita. Kesadaran ini membawa kita kepada hubungan yang lebih mendalam dengan Allah SWT, di mana kita menyadari bahwa segala yang baik dalam hidup kita adalah karena rahmat-Nya, dan kita harus terus berusaha untuk meraih rahmat tersebut dengan ketaatan dan ibadah yang tulus.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo