TintaSiyasi.id -- Tolak Tapera! Gelombang penolakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dari berbagai kalangan meluas. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani bersama Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita mendesak pemerintah, untuk mereview atau mengkaji kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 dan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Bila perlu, mereka akan melakukan judicial review (cnbcindonesia.com, 31/5/2024).
Bahkan sekitar 60 serikat buruh nasional bakal menggelar demo besar-besaran pada Kamis (6/6/2024) di Istana Kepresidenan, menolak wacana pemotongan gaji 3 persen untuk Tapera. Pun meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Sementara itu, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan Tapera wujud kehadiran pemerintah dalam menyelesaikan kebutuhan papan bagi rakyat. Dan sebagai tugas konstitusi ada UU-nya, dasar hukum UU 1/2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman, serta UU 4/2016 tentang Tapera (tribunnews.com, 1/6/2024).
Sebagai wujud penyelesaian kebutuhan papan rakyat, namun justru bikin rakyat menjerit karena dipaksa dipotong gaji bulanannya. Tentu ini menimbulkan gejolak tersendiri. Pun menyisakan sebuah pertanyaan, benarkah menjadi solusi bermaslahat bagi rakyat. Atau sejatinya Tapera menguntungkan siapa. Tak bisa dipungkiri, nuansa kapitalistik sangat kental dalam program ini.
Penyebab Masyarakat Masif Menolak Tapera
Masyarakat ramai-ramai menolak Tapera karena dianggap membebani buruh dan rakyat. Hingga muncul berbagai istilah sindiran seperti; Tambahan Penderitaan Rakyat, Tagihan Peras Rakyat, Tabungan Pemalakan Rakyat, dan Tabungan Pejabat dari Rakyat.
Tapera merugikan rakyat nampak dari enam alasan yang disampaikan oleh Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal agar mendesak pemerintah mencabut PP Tapera dalam keterangan tertulis, Ahad (2/6/2024).
Pertama, ketidakpastian memiliki rumah. Dengan iuran tiga persen dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan untuk uang muka saja tidak mencukupi.
Kedua, pemerintah lepas tanggung jawab. Tidak ada satu klausul pun dalam regulasi yang menjelaskan pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk peserta Tapera. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha, tanpa dana APBN dan APBD. Maka pemerintah lepas dari tanggungjawabnya memastikan setiap warga negara memiliki rumah, kebutuhan pokok selain sandang dan pangan.
Ketiga, membebani biaya hidup buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, Tapera akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Total potongan kepada buruh hampir mendekati 12 persen dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera 2,5 persen. Belum lagi jika buruh berutang di koperasi atau perusahaan, ini kian membebani biaya hidupnya.
Keempat, rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar disalahgunakan. Mengapa? Di dunia ini hanya ada dua; sistem jaminan sosial (social security) dan bantuan sosial (social assistance). Dana jaminan sosial berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara independen, bukan pemerintah. Sedangkan dana bantuan sosial dari APBN dan APBD dengan penyelenggara pemerintah. Dan Tapera bukanlah keduanya, karena dana dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.
Kelima, pemaksaan. Karena pemerintah menyebut dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela.
Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Bagi PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi. Ini mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera (medcom.id, 2/6/2024).
Dengan demikian, bila pemerintah memaksa Tapera tetap berjalan, bukankah ini bentuk kezaliman? Realitasnya Tapera justru menambah derita rakyat.
Wajar bila kebijakan tak bijak ini memunculkan spekulasi liar publik. Masyarakat menilai Tapera berpotensi sebagai ladang korupsi sebagaimana kasus Asabri dan Jiwasraya. Pun dianggap jadi sumber penghasilan sampingan pejabat, karena pengurus Tapera bergaji 30-40-an juta serta berbagai tunjangan dan insentif. Atau demi membayar utang negara yang tembus 8000 triliun rupiah di rezim saat ini?
Inilah wajah pengelolaan negara berbingkai kapitalistik sekuler. Bukan melayani rakyat. Tapi penguasa menjadikan dirinya tuan yang tak segan menjadikan rakyat sebagai sapi perah demi meraih keuntungan. Bagi dirinya, keluarga, dan sirkelnya.
Relasi penguasa dan rakyat pun tak ubahnya aktivitas bisnis. Penguasa sebagai pedagang. Rakyat pembelinya. Kebijakan politik bukan demi mengatur sekaligus memberi kemaslahatan bagi rakyat. Tapi sarana meraih jabatan dan cuan.
Selain itu, program Tapera menjadi bukti berlepas tangannya penguasa dari kewajiban memenuhi salah satu kebutuhan pokok rakyat yaitu papan. Tidakkah mereka mengingat bahwa semuanya itu kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Penguasa Alam Semesta dan Kehidupan?
Dampak Pemungutan Tapera terhadap Kehidupan Pekerja
Di tengah kondisi perekonomian serba sulit saat ini; sempitnya lowongan pekerjaan, rendahnya daya beli karena harga kebutuhan pokok melejit, wajar bila masyarakat mempertanyakan urgensi pemotongan gaji sebesar tiga persen untuk Tapera hingga menolaknya.
Terlebih kebanyakan pekerja adalah kelas sandwich, posisinya di tengah. Tidak dapat Bansos, tapi tidak berkantong tebal juga. Sehingga merekalah kaum yang paling menjerit bila Tapera diberlakukan.
Berikut dampak pemungutan iuran wajib Tapera terhadap kehidupan pekerja. Pertama, berpotensi memicu PHK. Pembayaran potongan Tapera sebesar 3 persen adalah 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja. Penambahan beban ini bisa jadi memicu pengusaha untuk melakukan pengurangan pekerja (PHK) karena tidak sanggup atau mengurangi pengeluaran.
Kedua, beban potongan gaji. Tapera menambah potongan gaji setiap bulan. Bagi pekerja berpenghasilan rendah, potongan ini terasa cukup signifikan dan bisa menjadi beban tambahan.
Ketiga, upah kian tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata kenaikan UMR hanya sekitar 3 persen per tahun, namun potongan iuran Tapera mencapai 2,5 persen. Dengan perhitungan ini, pekerja makin tidak bisa memenuhi kebutuhan terlebih bagi yang telah berkeluarga.
Keempat, ketidakpastian kepemilikan rumah dan ketidakjelasan pencairan dana Tapera. Meski gaji pekerja telah dipotong bulanan, dalam jangka waktu tertentu belum tentu bisa untuk memiliki rumah yang layak. Belum pengaruh inflasi hingga kenaikan harga properti. Pun belum tentu saat dibutuhkan, dana Tapera mudah dicairkan.
Demikian beberapa dampak negatif pemungutan Tapera terhadap kehidupan pekerja. Jelas bahwa program tersebut membuat buntung masyarakat khususnya kaum pekerja. Dan hanya menguntungkan penguasa.
Strategi Pemerintah dalam Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Tanpa Menambah Derita Rakyat
Pembiayaan Tapera yang mengutip uang rakyat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai pembodohan (penipuan). Sebab bagaimana pun, pemerintah bertanggung jawab menyediakan rumah bagi warga, bukan rakyat. Kewajiban ini terkait Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 di mana bumi (dapat diartikan tanah) semestinya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini telah memberikan arahan bahwa pemimpin (penguasa) hadir dalam rangka mengatur urusan rakyat dan memenuhi kebutuhan pokok/dasar mereka baik secara individual (sandang, pangan, papan) dan secara komunal (pendidikan, kesehatan, keamanan). Bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Maka negara seharusnya menyelenggarakan perumahan rakyat terlebih bagi kaum papa. Tanpa kompensasi dan tanpa iuran wajib. Karena negara bukan pengumpul dana masyarakat. Berikut strategi pemerintah berbasis Islam dalam pemenuhan kebutuhan perumahan tanpa menambah derita rakyat.
Pertama, menerapkan politik perumahan berbasis Islam. Yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini, sebagai bagian integral pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Penguasa bukan sekadar regulator, melainkan peri'ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya
Rasulullah SAW telah mencontohkan saat awal hijrah dari Makkah ke Madinah. Dibantu para mu’awin-nya, beliau mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta. Pun pada masa kekhalifahan Islam, para khalifah mengatur tata kota sebaik-baiknya termasuk lahan perumahan.
Kedua, penguasa memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam mengajarkan agar orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka baligh. Ajaran lainnya adalah meminta anggota keluarga untuk mengetuk kamar orang tua saat ingin masuk pada tiga waktu; setelah isya, sebelum subuh, dan saat istirahat pada siang hari (QS. An-Nur: 58). Artinya, rumah syar’i harus memiliki kamar untuk orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan, serta satu kamar untuk tamu karena Islam sangat memuliakan tamu.
Ketiga, memastikan harga rumah terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Rumah merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung kewajiban individu tersebut. Masyarakat berpenghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga, dan lain-lain. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang tidak mampu membeli rumah. Hingga setiap individu merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.
Keempat, penguasa mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (baitulmal). Saat kas negara kosong dan banyak rakyat tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Negara tidak mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, juga menyebabkan kemudaratan. Karena utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara kaya terhadap negara miskin.
Kelima, pemerintah memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik di masa khilafah berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.
Demikian strategi pemerintah dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan perumahan tanpa menambah derita rakyat. Peradaban Islam pernah mencatat Kota Cordova dikenal dunia sebagai kota ideal di bawah kepemimpinan Khalifah Abdurahman III. Di Cordova saat itu terdapat 273.377 unit rumah tinggal, pertokoan dan sejenisnya 80.455 unit, 900 kamar mandi umum, 3.837 masjid, serta 28 lapangan umum. Tentunya, rumah tinggal rakyatnya adalah rumah layak huni. Penulis Barat, Stanley Lane-Poole memuji keindahan Cordova di mana ia memiliki seluruh keindahan, ornamen-ornamennya begitu indah dipandang, dan mengagumkan penglihatan.
Bila pengaturan sistem Islam terbukti lebih baik, termasuk dalam mengatur masalah perumahan rakyat, mengapa kita tak menjadikannya sebagai alternatif di tengah karut-marut pengelolaan urusan rakyat di negeri ini? []
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati
Pustaka
Noer, Halima, Sistem Islam Menjamin Terwujudnya Lingkungan Perumahan yang Aman, Nyaman, dan Syar'i bagi Generasi, muslimahnews.net, 17 Desember 2023